Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 06 March 2014

Kampung Karuhun di Kaki Salak (2)


foto: maki sumawijaya

Tradisi Sunda tua yang sudah lama punah kembali dihidupkan Achmad Mikami Sumawijaya. Harapannya, generasi saat ini bisa kembali mengenal kearifan para karuhun (nenek moyang).

Sejak 2004, Maki sudah berhasil menampilkan kembali sebagian kegiatan-kegiatan tradisi lama Sunda Bogor. Namun ada satu hal yang masih mengganggu pikirannya, yakni belum adanya sebuah kampung budaya. “ Padahal menurut ketentuannya, kehadiran sebuah kampung budaya adalah salah satu prasyarat utama untuk  mengadakan berbagai kegiatan tersebut,” kata suami dari Aulia Dewi Hardjakusuma tersebut.

Lantas ia pun menghubungi para sesepuh Bogor. Diantaranya Anis Djatisunda dan Eman Sulaeman. Lewat mereka inilah, Maki bisa terhubung dengan para inohong dari Kabupaten Bogor dan Provinsi Jawa Barat. Singkat cerita, usai berembuk mereka sepakat membangun sebuah kampung budaya di Sindangbarang, tepat di atas tanah milik Maki. Hitung punya hitung, total jenderal dana yang diperlukan adalah 1,3 milyar rupiah.

“Kami pada akhirnya setuju untuk patungan, pemerintah provinsi Jawa Barat 750 juta rupiah, Pemkab Bogor 25 juta rupiah dan sisanya dari saya,”kata Maki.

Kini masyarakat Bogor bisa menikmati hasil dari patungan tersebut. Di atas tanah milik Maki, berdiri sekitar 10 bangunan adat Sunda Bogor yang mengelilingi sebidang tanah  seluas lapangan sepakbola yang disebut alun-alun. Proses dan bentuk pembuatan bangunan-bangunan itu tidak sembarangan. Selain harus mengikuti petunjuk karuhun (nenek moyang), pembangunan ini pun melalui upacara khusus pula.

“Posisi, bahan, bentuk dan arah disesuaikan dengan petunjuk yang kami dapat dari Pantun Bogor,”ujar Maki. Pantun Bogor adalah naskah tua yang berfungsi sebagai rujukan sejarah bagi orang-orang Sunda Bogor.

Tidak berarti proses pembangunan kampung budaya dan penyelenggaraan kegiatan tradisi lama ini berjalan mulus. Di Sindangbarang ada sebagian pihak masyarakat yang awalnya menolak upaya revitalisasi tersebut. Alasannya macam-macam. Salah satunya yang paling gencar adalah karena alasan agama. Untunglah Maki dan kawan-kawan cukup sabar menghadapi soal seperti ini. Setelah melalui pendekatan persuasif dan cara diskusi, pihak yang menolak itu pun akhirnya bisa menerima.

Setelah lima tahun pendiriannya, Kampung Budaya Sindangbarang ternyata mendapat sambutan yang luar biasa. Menurut  Maki, rata-tata hampir 300 orang tiap bulannya datang ke kawasan yang berada sekitar 7 km dari pusat kota Bogor itu. “Mereka kebanyakan orang yang yang ingin mengetahui seperti apa sih budaya Sunda Bogor zaman dulu itu.”

Keingintahuan khalayak yang datang ke Kampung Budaya Sindangbarang tersebut sangat diapresiasi oleh Maki. Bahkan lewat jejaring sosial, Maki tak segan-segan mengajak masyarakat untuk datang menghadiri berbagai kegiatan rutin yang diadakan di Kampung Budaya Sindangbarang.”Seperti nanti tanggal 10 Mei, kami akan mengadakan kegiatan parebut seeng yang melibatkan para pendekar pencak silat Cimande,”jelas lelaki yang memiliki nama Sunda: Rakean Heulang Kasundaan itu.

Maki pun menyatakan bahwa siapun bisa datang ke Kampung Budaya Sindangbarang. Termasuk kepada para akademisi yang ingin melakukan penelitian, ia menyilakan untuk datang kapan saja. “Sudah banyak yang datang meneliti ke sini, untuk mereka kami menyediakan fasilitas tempat tinggal dan makan secara gratis. Ya tentunya dengan kondisi seadanya,”ujarnya.

Lalu apa yang sebenarnya diharapkan oleh Maki dengan kemunculannya kembali budaya Sunda Bogor tersebut? Apakah sekadar untuk memenuhi obsesi ideal kesundaannya saja? Sambil tersenyum ia menyebut bahwa apa yang ia lakukan hanya sekadar memenuhi panggilan karuhun saja. Sebagai bentuk rasa hormat anak kepada para orangtuanya. “Banyak orang bilang saya buang-buang duit, tapi ini bukan soal duit atau kekayaan materi. Ini sesuatu yang tak bisa dihargai dengan uang.”katanya. 

Hujan mulai  berhenti menombaki kawasan  Kampung Sindangbarang. Sebagai gantinya, giliran cahaya mentari yang tengah pulang menuju barat, menyoroti lahan-lahan pesawahan yang hijau. Angin bertiup semilir, mengiringi bunyi gamelan Sunda yang terus memainkan alunan kidung-kidung tua. Ya di Sindangbarang, suasana masa lalu seolah dipanggil kembali untuk datang.

 

Sumber: Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *