Satu Islam Untuk Semua

Saturday, 14 August 2021

Ini Tujuh Alasan Mengapa Masyarakat Adat Jawa Pantang Hajatan pada Bulan Suro


islamindonesia.id – Ini Tujuh Alasan Mengapa Masyarakat Adat Jawa Pantang Hajatan pada Bulan Suro

Masyarakat adat Jawa memiliki tradisi keyakinan bahwa pada waktu-waktu tertentu mereka dilarang untuk mengadakan hajatan, baik itu untuk kelahiran anak, khitanan, maupun pernikahan. Larangan tersebut biasanya jatuh pada bulan Suro (Muharram), Poso (Ramadan), dan Selo (Zulkaidah).

Pada waktu-waktu itu mereka meyakini jika hajatan diselenggarakan, maka mereka akan mengalami naas atau sial. Contohnya, jika ada yang menikah pada bulan Suro maka pasangan tersebut dalam pernikahannya akan mengalami ruwet, rewel, dan pada akhirnya bercerai.

Demikianlah sebagian pemaparan dari penelitian skripsi yang dibuat oleh Zainul Ula Syaifudin dari UIN Maulana Malik Ibrahim, yang berjudul Adat Menikah di Bulan Suro dalam Perspektif Urf.

Khusus mengenai bulan Suro, penelitian itu juga menjelaskan bahwa bulan ini bagi masyarakat adat Jawa sangat sakral. Adapun kesakralan tersebut disebabkan oleh tujuh hal:

1. Secara teologis bulan Muharram merupakan bulan yang dimuliakan oleh Allah swt.

2. Nabi Muhammad saw menyatakan bahwa Muharram adalah bulannya para nabi dan beliau juga memuliakan bulan ini.

3. Pada tanggal 10 Muharram Nabi Nuh bersama pengikutnya selamat turun dari perahu dan memulai kehidupan baru.

4. Pada tanggal 1 Muharram diyakini sebawai awal dari hijrahnya umat Islam ke Madinah. Para sahabat, yaitu Utsman, Hamzah, dan Zaid tercatat berangkat pada malam 1 Muharram.

5. Atas prakarsa Sultan Agung, kalender Hijriah disamakan dengan penanggalan Jawa, dan bulan Muharram adalah penanda awal kebersatuan antara Islam dan Jawa.

6. Khusus oleh masyarakat di pesisir selatan Jawa, bulan Muharram dianggap memiliki keterkaitan dengan penguasa laut selatan yang lebih dikenal sebagai Ratu Kidul.

7. Pada tanggal 10 Muharram pernah terjadi pembantaian terhadap 72 anak keturunan Nabi dan pengikutnya. Peristiwa ini ditandai dengan dibunuhnya Sayyidina Husein bin Ali oleh pasukan Yazid bin Muawiyah dengan cara-cara yang tidak manusiawi. Peristiwa ini merupakan awal dari serangkaian tindakan untuk membasmi keluarga Nabi Muhammad.

Adapun khusus mengenai poin tujuh, Ustadz Ahong, pemimpin redaksi dari situs Bincang Syariah, dalam akun Twitter-nya (10/8) menjelaskan, “Biasanya sebagian Muslim, khususnya yang masih memegang tradisi, itu gak melakukan bentuk perayaan apapun di bulan Muharram, termasuk juga menikah.”

Menurut Ustadz Ahong, ini bukan soal halal atau haram, tapi soal bentuk penghormatan kepada cucu Nabi, yaitu Sayidina Husein yang wafat secara tragis di 10 Muharam atau Asyura.

Lebih jauh beliau menjelaskan, “Ini bentuk adab atau etika Muslim agar menahan diri bersenang-senang di momen berduka karena kepergian cucu Rasulullah saw, walaupun kejadian ini sudah terlewat berabad-abad silam.”

“Jadi bukan soal haram, takut kualat, nanti celaka, atau lainnya. Tapi ini murni soal etika,” pungkasnya.

PH/IslamIndonesia/Foto utama: Google Unknown

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *