Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 16 November 2022

Harmoni Ajaran Islam dan Nilai-nilai Budaya di Kalimantan


islamindonesia.id – Proses akomodasi kultural dapat dilihat pada kemampuan Islam beradaptasi dengan tradisi dan adat lokal serta pada kemampuannya mempertahankan nilai-nilai pokok keislaman.

Menurut Irwan Abdullah dan Azyumardi Azra dalam Islam dan Akomodasi Kultural, selama proses penyesuaian diri tersebut, tampak bahwa Islam tidak hanya melakukan penjinakan (domestikasi) terhadap dirinya sehingga lebur dalam tradisi dan adat lokal, tetapi juga mengeksploitasi sejauh mungkin unsur-unsur tradisi lokal yang dapat disesuaikan ke dalam keharusan nilai Islam yang ortodoks.

Dalam proses ini, para penyebar Islam memanfaatkan pranata lokal sebagai infrastruktur bagi pertumbuhan tradisi Islam.

Proses Islamisasi dan akomodasi kultural berhubungan dengan tiga kondisi penting.

Pertama, proses Islamisasi dalam hubungannya dengan pembentukan kebudayaan Islam berhadapan dengan aneka warna kebudayaan lokal, tradisi, dan adat lokal.

Interaksi Islam dengan sistem nilai lokal ini pada gilirannya melahirkan berbagai bentuk respons dan reaksi.

Kedua, Islam merupakan pendatang baru di dalam masyarakat di Kepulauan Indonesia. Sebelum Islam masuk, telah ada sistem keyakinan, kepercayaan, keagamaan, atau setidaknya tradisi spiritualitas yang dianut komunitas lokal.

Ketiga, Islam bukan merupakan satu-satunya sumber pengetahuan atau sistem nilai yang ada dalam masyarakat Indonesia karena selain kepercayaan lokal dan Hindu-Buddha, belakangan muncul pula pengaruh budaya Eropa (Barat) yang mulai berkembang dalam waktu bersamaan dengan kedatangan dan penjajahan bangsa Eropa di Asia Tenggara.

Di Kalimantan, upacara Tiwah, yaitu upacara pemujaan pada roh nenek moyang dan tenaga alam, masih dilakukan hingga saat ini. Praktik tersebut menunjukkan masih kuatnya pengaruh kepercayaan lokal di berbagai tempat yang tidak begitu saja hilang setelah masuknya pengaruh asing yang datang kemudian.

Interaksi Islam dengan budaya, terutama budaya lokal Kalimantan, khususnya Dayak, memberikan warna tersendiri yang khas. Kekhasan ini tecermin dari budaya oloh salam sebagai manusia pendukungnya di tanah Dayak, Kalimantan Tengah.

Beberapa aspek budaya oloh salam yang khas tersebut meliputi upacara kehidupan disebut juga gawi belum dan upacara kematian atau gawi matei serta aspek seni.

Misrita S Kalang dalam Oloh Salam: Rona Kehidupan Dayak Islam di Kalimantan Tengah menjelaskan, tidak ada petunjuk yang jelas kapan munculnya istilah oloh salam dalam budaya Dayak, tetapi dari berbagai sumber data dapat diduga bahwa munculnya istilah oloh salam dapat dilacak sejak awal masuknya Islam di Kalimantan atau setelah kedatangan para kolonial di Kalimantan.

Melalui politik pecah-belahnya membedakan antara satu suku dan yang lainnya, sebagaimana pembentukan Kampung Lemu Melayu yang didiami oleh orang Dayak yang telah masuk Islam, sedangkan kampung yang didiami oleh orang Kristen atau yang beragama helo disebut Kampung Lemu Dayak. Inilah salah satu bentuk polarisasi sistemik yang dilakukan oleh kolonial di bumi Kalimantan.

Meski oloh salam sebagai orang Dayak sudah memilih jalan Islam, masih terdapat sisa-sisa kepercayaan primitif tercampur dengan unsur-unsur agama yang dahulu kala dianutnya.

Dalam upacara kelahiran, misalnya, upacara kelahiran dalam budaya oloh salam merupakan salah satu upacara yang penting. Oleh karena itu, jika seorang ibu telah mengandung tiga bulan, sejak itu dia sudah dihinggapi penyakit pantang.

Pantangan tersebut, di antaranya, dilarang keluar waktu senja, mandi waktu matahari terbenam, dan duduk di ambang pintu. Ketika kandungan menginjak enam bulan, pantangan menjadi tambah banyak. Misalnya, tidak boleh berurai rambut, dilarang memaku, makanannya terbatas, tidak boleh makan yang pedas-pedas atau sayuran yang mengandung getah, makan kepiting, dan lain-lain.

Sang suami pun berpantang, tidak boleh menebang pohon, menghunjam tiang, apalagi membunuh binatang. Pantangan ini dilakukan semata-mata karena percaya takhayul bahwa di luar alam nyata ini, ada alam gaib yang berkeliaran roh-roh baik dan jahat.

Roh-roh jahat selalu mencari mangsa, termasuk seorang ibu yang sedang mengandung. Dengan berpantang ini, dapat melindungi sang bayi, baik yang masih dalam kandungan maupun yang baru lahir, karena masih lemah agar tidak dapat diganggu oleh roh jahat.

Kelahiran dan Kematian

Bila perempuan oloh salam hendak melahirkan, seorang dukun perempuan tua membantunya melahirkan bayinya. Karena, dukun beranak dianggap punya kekuatan gaib.

Pembacaan doa secara Islam dilakukan dengan membakar kemenyan dan menabur-nabur beras kuning sebagai penjagaan diri untuk menolak roh-roh jahat yang akan mengganggu kelahiran bayi.

Selama dan setelah masa persalinan itu, sang suami membuat api di halaman rumah dan menjaga agar api yang berkobar-kobar tetap menyala setiap menjelang waktu Maghrib selama tujuh hari berturut-turut. Hal ini dimaksudkan agar tidak diganggu roh-roh jahat (kuyang) yang suka memakan darah orang yang baru melahirkan.

Menjelang umur bayi tujuh hari, atau 40 hari bagi orang Dayak yang beragama helo, diadakan upacara tasmiyah (Arab: tasmia “pemberian nama si bayi”) yang dilakukan menurut kemampuan keluarga saja.

Nama yang umumnya diberikan kepada bayi oloh salam merupakan gabungan nama Islam dan Dayak, seperti Hidayatullah S Kurik, Fatah F Nahan, Komarudin Usop, Wahyudin Usop, Durtje Durasit, Asriansyah S Mawung, Rahmadi Lentam, dan sebagainya.

Dalam upacara tasmiyah, rambut bayi yang dipotong ditempatkan dalam buah kelapa, selanjutnya anak diciprati air kembang yang dicampur wewangian agar nama yang diberikan dapat memberikan keharuman laksana bunga sambil didoakan agar sehat dan menjadi anak yang bertakwa.

Sementara, suatu tradisi dalam masyarakat Dayak jika mendengar berita kematian warganya, mereka akan segera menghentikan pekerjaan yang sedang mereka lakukan dan mendatangi rumah duka untuk memberikan dukungan moral bagi keluarga yang ditinggalkan.

Mereka datang dengan membawa sumbangan duka berupa hasil bumi mereka sendiri. Setelah datang di rumah duka, mereka mendekati dan melihat wajah jenazah untuk terakhir kali karena melakukan hal ini diyakini akan mendapat pahala.

Jenazah diletakkan di tengah-tengah rumah dan dikelilingi kaum kerabat dan keluarga sebelum dimandikan. Karena, setelah dimandikan secara Islam dan dikafani, jenazah sudah tidak boleh dibuka-buka lagi untuk dilihat oleh para pelayat.

Pada saat jenazah dimandikan, di atasnya dibentangkan kelambu putih. Ini dimaksudkan agar roh-roh jahat tidak dapat mengganggu upacara pemandian jenazah.

Pujian untuk Rasulullah s.a.w dalam Hadrah dan Rudat

Sinoman hadrah dan rudat bersumber dari budaya yang dibawa oleh pedagang dan pendakwah Islam dari Arab dan Parsi dan berkembang campur menjadi kebudayaan pada masyarakat pantai pesisir Kalimantan Selatan hingga Timur.

Ahmad Ananda Alim Pratama dalam Budaya di Kalimantan Selatan menjelaskan, sebagai salah satu kesenian Islam yang sudah berusia puluhan tahun, kesenian hadrah masih sering ditampilkan pada beberapa daerah di Kalimantan Selatan. Pembinaan dan kegiatan lomba menjadi salah satu cara agar hadrah tetap lestari dalam kesenian tradisional religius Banjar.

Hadrah ditampilkan dalam berbagai acara bernuansa keagamaan, seperti sunatan, perayaan perkawinan, atau menyambut tamu kehormatan. Dalam perkembangannya, kesenian hadrah ada pula di luar Kalsel, yaitu di daerah yang terdapat perantauan orang Banjar.

Menurut Ali Djamali bin Gr Taha Tokoh Muda Asli Alalak, seniman pelaku hadrah lebih menikmati hadrah sebagai puja dan puji untuk Tuhan serta Nabi Muhammad s.a.w.

Puja dan puji dalam bentuk syair dan pantun tersebut menjadi kasidah yang pengiring dari gerakan dinamis hadrah.

Merdu kasidah diikuti gerakan tari yang menggunakan putaran payung ubur-ubur (lambang keagungan dalam kehidupan tradisional) dan umbul-umbul di antara ritmis pukulan musik tarbang.

Seniman pelaku hadrah lebih banyak ada di Martapura. Dalam penampilannya, memadukan antara generasi tua dan anak muda. Untuk di Banjarmasin, seniman hadrah banyak terdapat di Taluk Tiram dan kawasan Alalak Utara dan Tengah. Namun, di sini generasi mudanya lebih sedikit, malah lebih banyak didominasi seniman hadrah perempuan.

Di luar Kalimantan Selatan, hadrah turut hidup bersama orang-orang Banjar yang menetap di sana. Seperti, Kalimantan Tengah di daerah Saruyan hingga Pulau Jawa. Di mana ada komunitas orang Banjar, hadrah masih ditampilkan dalam beragam perayaan.

EH/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *