Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 19 October 2016

Filosofi Duren Mbah Liem, Pilkada Serentak dan Kampanye Politik Bernuansa SARA


IslamIndonesia.id — Filosofi Duren Mbah Liem, Pilkada Serentak dan Kampanye Politik Bernuansa SARA

Mungkin hanya di Indonesia, atau lebih khusus lagi di kalangan Nahdlatul Ulama (NU), kita mengenal segudang ulama nyentrik yang dapat dikatakan “punya kebiasaan di luar kebiasaan”. Salah satu di antara sekian banyak ulama itu, selain nama besar sekaliber Gus Dur, kita kenal sosok almarhum Mbah Liem.

Sejak kepergiannya menghadap Tuhan, terhitung hampir lima tahun sudah bangsa Indonesia, khususnya warga NU kehilangan sosok ulama panutan, keturunan Keraton Mangkunegaran bernama asli KH Muslim Rifa’ie Imampuro yang biasa dipanggil Mbah Liem. Beliau wafat pada 26 Mei 2012 silam.

Berbeda dengan kebanyakan ulama, Mbah Liem tersohor sebagai ulama nyentrik yang ‘khariqul adah’ (sering bertingkah di luar kebiasaan), diyakini memiliki kasyaf, pandangan jauh ke depan yang jarang dimiliki orang lain, juga kebijaksanaan yang pluralis dan toleran.

Berkaitan dengan kasyaf futurologis itu, terbukti benar adanya memang melekat pada diri Mbah Liem ketika diwawancarai salah seorang wartawan, saat Muktamar NU ke-29 tahun 1994 di Cipasung, Mbah Liem menceritakan silaturahminya dengan para kiai di Tambak Beras, Jombang. Ketika Mbah Liem ditanya, apakah Pak Harto akan tetap jadi presiden pada periode berikutnya (1998-2003). Mbah Liem menjawab diplomatis, “Pak Harto akan pensiun” alias berhenti jadi presiden.

Faktanya, 4 tahun kemudian Pak Harto memang betul-betul berhenti dari jabatan presiden, tepatnya pada Mei 1998. Jawaban Mbah Liem ini memang menunjukkan bahwa Mbah Liem memiliki kapasitas untuk mengetahui masa depan Indonesia. Kemampuan weruh sak durunge winarah atau mengetahui sebelum terjadi, wajar bisa dimiliki Mbah Liem, karena Nabi SAW sendiri bersabda, “Takutlah kamu terhadap firasatnya orang Mukmin karena mereka melihat dengan nur (petunjuk) Allah”. (HR. At-Tirmidzi).

Namun yang lebih penting, pengajaran Mbah Liem layak diperjuangkan di Indonesia. Gagasannya tentang Pancasila yang selaras dengan Islam wajib dibumikan di tengah derasnya radikalisme berbasis agama dan liberalisme sekuler. Mbah Liem mengajarkan bahwa Pancasila adalah sesuatu yang utuh berkait erat dengan nasionalisme Indonesia. Pancasila dan Islam menjadi gagasan terpadu yang tak boleh berkonflik dalam bingkai NKRI. Karena itulah, beliau selalu mewajibkan kepada para santrinya sebelum memulai pelajaran agar terlebih dahulu membaca Pancasila dan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Sikap Mbah Liem tentang bagaimana seharusnya kekuasaan dan kebangsaan dijalankan di Indonesia juga terlihat jelas pada waktu muktamar NU di Cipasung. Mbah Liem tak terkesan memusuhi Soeharto, presiden Indonesia saat itu yang berupaya menggulingkan Gus Dur dari jabatannya sebagai Ketua Umum PBNU melalui Abu Hasan.

Mbah Liem tak pernah mendeligitimasi Soeharto. Bahkan, Mbah Liem menyebut Soeharto dan Gus Dur sebagai tokoh yang berada di pundak kanan dan pundak kiri Mbah Liem. Maksudnya, Pak Harto yang memiliki negara dan Gus Dur yang memiliki rakyat. Pak Harto yang memimpin pemerintahan dan Gus Dur yang memimpin umat.

Kenapa Gus Dur disebut berada di pundak Mbah Liem selain Pak Harto. Logikanya sederhana saja, karena mayoritas rakyat Indonesia adalah Muslim dan mayoritas Muslim adalah nahdliyyin.

Di arena muktamar Cipasung pula, Mbah Liem bertingkah aneh. Mbah Liem membagikan “durian” (dalam bahasa Jawa disebut duren) kepada warga dan tokoh-tokoh NU saat itu. Ini artinya Mbah Liem mengajarkan filosofi duren yang dalam tatakrama Jawa berarti kepanjangan dari padu leren (berhenti berkonflik).

Filosofi duren sebenarnya bukan hanya ditujukan kepada tokoh-tokoh NU yang saling berhadapan pada Muktamar Cipasung. Namun, Filosofi Duren jauh menjangkau waktu sesuai kasyaf Mbah Liem yang futurologis.

Duren adalah buah yang banyak penggemarnya, meski bagi sebagian kalangan, rasa dan baunya terasa menusuk. Di Indonesia, duren banyak digemari namun orang asing sangat sedikit yang berupaya untuk mencicipi duren. Bentuk luar duren juga tak enak dipandang, meski isinya lezat di lidah. Duren akrab di lidah kita, namun tak akrab di lidah bangsa asing. Begitupun Filosofi Duren (padu leren). Filosofi ini akrab di kalangan kita, namun pihak luar seperti bangsa asing rasanya tak ingin melihat bangsa Indonesia akur dan damai.

Bagi internal warga NU, momentum Pilkada serentak Pebruari 2017 mendatang, serasa membutuhkan spirit duren ini agar kubu-kubu kaum nahdliyyin yang kini bersiap-siap dalam kontestasi Pilkada tetap menjaga persaudaraan satu sama lain. Spirit Padu Leren dalam pesta demokrasi itu harus menjadi ruh utama politik nahdliyyin.

Filosofi Duren Mbah Liem mengajarkan bahwa keselarasan di negeri ini adalah sesuatu yang tidak diidamkan pihak luar. Mbah Liem mengajarkan agar seluruh komponen nasional bersatu tanpa mempersoalkan agama, ras dan golongan. Namun sayang, Filosofi Duren ini dalam beberapa tahunnpasca Reformasi, tampak mulai menghilang dari negeri ini, ketika masing-masing individu dan golongan saling bersikeras hidup dengan egonya masing-masing.

Di negeri ini, tak terhitung banyaknya konflik yang telah menyeret korban jiwa banyak tokoh bahkan tokoh nasional. Karenanya, filosofi politik Mbah Liem yang ingin mendudukkan semua komponen anak bangsa pada tempatnya wajib diapresiasi.

Dalam konteks kekinian di alam demokrasi yang meniscayakan berlangsungnya ajang pemilihan pemimpin daerah sesuai waktu yang telah ditentukan, maka dengan kesadaran yang didasari oleh Filosofi Duren itu, siapapun dengan cara fair boleh berkompetisi dalam Pilkada tanpa harus khawatir bakal menjadi sasaran tembak isu-isu dan kampanye hitam menyangkut SARA.

Mbah Liem boleh wafat, namun pengajarannya yang sederhana namun bermakna jauh kedepan, tentu wajib terus kita lestarikan dan perjuangkan agar tetap membumi serta tetap dipedomani.

 

EH / Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *