Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 12 January 2022

Bukan Hanya di Tanah Jawa, Tiga Contoh Akulturasi Islam dan Budaya ini pun Masih Lestari di Kalangan Suku Bugis Makassar


islamindonesia.id – Bukan rahasia lagi bila Indonesia dikenal dengan keanekaragaman budaya yang mungkin jarang ada tandingannya di seluruh dunia. Alih-alih dicap sebagai kekurangan karena negeri ini tak punya identitas adat dan budaya tunggal, keanekaragaman justru merupakan kekayaan yang patut dijaga dan disyukuri dengan cara dijaga agar tetap lestari.

Artinya, Indonesia yang tidak memiliki identitas adat dan budaya yang tunggal bukan berarti tidak memiliki jati diri, namun dengan adanya keanekaragaman itu justru membuktikan bahwa masyarakat kita memiliki kualitas produksi adat dan budaya yang luar biasa, mengacu pada pengertian kebudayaan sebagai “buah atau hasil cipta” manusia. Dengan demikian adat dan budaya maupun tradisi akan selalu dinamis dan tak menutup kemungkinan terjadinya akulturasi dari berbagai aspek, termasuk dengan ajaran Islam.

Dalam tulisan ini akan dibahas tentang 3 akulturasi Islam dan budaya suku Bugis-Makassar yang masih tetap eksis hingga kini. Apa saja?

  1. Mabbarasanji (Barzanji)
    Islam masuk di Sulawesi Selatan, dengan cara yang sangat santun terhadap kebudayaan dan tradisi masyarakat Bugis Makassar. Bukti nyata dari sikap kesantunan Islam terhadap budaya dan tradisi Bugis Makassar dapat kita lihat dalam tradisi-tradisi keislaman yang berkembang di Sulawesi Selatan hingga kini. Seperti mengganti pembacaan kitab La Galigo dengan tradisi pembacaan Barzanji, sebuah kitab yang berisi sejarah kehidupan Nabi Muhammad s.a.w, dalam setiap hajatan dan acara, doa-doa selamatan, bahkan ketika membeli kendaraan baru, dan lain sebagainya. Mabbarasanji/Barzanji/Barazanji yang biasa dikenal dalam masyarakat Bugis sebagai nilai lain yang mengandung estetika tinggi dan kesakralan.

Apabila ditelaah dengan baik, maka semua makna dari Barazanji menceritakan tentang segala macam teladan dari hal-hal keseharian kita, berupa wujud penceritaan berbagai perilaku keseharian Baginda Rasulullah Muhammad s.a.w. dan para sahabatnya. Dengan membacanya, kita akan paham makna tersirat terkait nilai-nilai yang mestinya seirama dengan realitas sosial keseharian kita, bahwa seperti inilah jalan yang semestinya dilalui agar kita tidak sesat jalan melainkan seirama dengan tuntunan perilaku Rasulullah dan para sahabatnya.

  1. Suromaca/Ma’baca
    Setiap tempat di Indonesia memiliki cara penyambutan atau perayaan tersendiri ketika bulan Ramadhan tiba. Begitu pula halnya di kota Makassar, yang menyimpan sekelumit keindahan dalam menjalani bulan penuh berkah. Tradisi-tradisi Ramadhan di kota pesisir ini mengandung sakralitas keislaman yang berpadu ke dalam entitas kebudayaan Bugis-Makassar.

Akulturasi kebudayaan dan keislaman pada masyarakat Bugis-Makassar yang mendiami kota Makassar tercermin dalam ritus-ritus Ramadhan yang melebur ke dalam sebuah tradisi.

Sebelum Ramadhan, masyarakat Bugis-Makassar biasanya akan menjalankan tradisi suromaca atau ma’baca. Tradisi tersebut dilakukan sebagai ungkapan doa keselamatan untuk leluhur setiap keluarga.

Suromaca/ma’baca dilakukan dengan kegiatan doa bersama yang dipimpin seorang anrong guru yang diamanahkan oleh pemilik hajatan. Pada pelaksanaannya, doa bersama ini mensyaratkan kehadiran berbagai makanan yang dihidangkan bagi orang-orang yang ikut berdoa.

Suromaca/ma’baca kerap pula dilakukan pada Hari Raya Idulfitri dan Iduladha. Atau, pada saat sebuah keluarga hendak mengirimkan doa kepada arwah leluhur melalui anrong guru dan orang-orang yang diundang.

Secara historis, suromaca/ma’baca telah ada jauh sebelum Islam masuk ke tanah Bugis-Makassar. Bahkan sebelum Islam diterima, masyarakat Bugis-Makassar telah terlebih dahulu mengenal dewata sewuae (Tuhan yang satu). Kesamaan pandangan ini dengan akidah Islam itulah yang konon memudahkan terjadinya akulturasi antarkedua entitas kebudayaan.

  1. Mappacci
    Upacara adat Mappacci di suku Bugis Makassar, merupakan suatu acara adat sebagai salah satu rangkaian pelaksanaan pesta perkawinan yang mengungkapkan pengertian pensucian diri, sekaligus sebagai wahana pewarisan nilai-nilai kesucian bagi sang pengantin.

Perkawinan adalah peristiwa ritual yang bermakna religius dan dalam proses pelaksanaannya memerlukan suatu tatanan, yang disebut adat istiadat sebagai warisan budaya etnis Bugis. Berbagai makna simbolik Islami pun dapat kita saksikan dalam prosesi upacara tersebut.

Mappacci sendiri memiliki arti mensucikan. Maknanya, ajaran Islam pun menghendaki adanya kesucian lahir dan batin dari kedua mempelai, yakni dengan cara menamatkan bacaan Alquran dengan maksud agar calon pengantin bisa meresapkan dalam dirinya nilai-nilai yang terkandung dalam Alquran.

Tampak bahwa nilai Islam dalam tradisi Mappacci di sini sangatlah kental karena Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai penghargaan terhadap sesama.

Peralatan Mappacci, seperti Bantal adalah simbol harapan agar nilai-nilai penghargaan terhadap sesama jangan sampai luntur dan tetap terjaga.

Sarung adalah simbol harapan untuk tetap bersatu, dan istiqamah. Dalam ajaran Islam, persatuan, tidak ada perselisihan, sangatlah dianjurkan karena menyangkut keselamatan umat manusia.

Daun Pisang digunakan sebagai tanda simbolik, karena pisang dinilai kaya manfaat. Artinya, Islam sangat memberi tempat kepada manusia yang berguna bagi sesamanya, dan manusia diharapkan menjadi produktif seperti pisang.

Daun Nangka punya arti simbolik memiliki harapan dan cita-cita. Maksudnya, Islam sangat memberi aspresiasi tinggi kepada manusia yang bercita-cita tinggi dan selalu optimis dalam hidupnya.

Nah, dari beberapa contoh akulturasi nilai-nilai Islam dan tradisi/budaya di tengah masyarakat Bugis Makassar tersebut, kita mestinya dapat belajar bahwa bukanlah hal negatif bila nilai-nilai agama dibaurkan dengan nilai-nilai budaya yang sama luhurnya.

Seperti halnya suku Bugis-Makassar yang hingga kini masih tetap mempertahankan budaya nenek moyang dan masih bisa melestarikannya tanpa bertentangan dengan syariat Islam, di daerah lain pun di Nusantara, masih banyak contoh serupa.

EH/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *