Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 05 May 2015

BUDAYA – Mengintip Pesantren Khusus Waria di Yogyakarta


Keberagamaan merupakan hak seluruh manusia. Ketika gempa bumi dahsyat menimpa wilayah Yogyakarta pada tahun 2006, banyak warga apapun agamanya merasa harus meningkatkan penyerahan diri kepada yang Maha Kuasa. Namun, keinginan para waria setempat untuk meningkatkan spiritual terhalang masalah sosial kemasyarakatan. 

Pada tahun 2008, Maryani memutuskan untuk mengubah rumahnya menjadi tempat bagi para transgender untuk belajar Islam: Pondok Pesantren Khusus Waria Al-Fatah.

Keberanian Maryani melawan derasnya kritik masyarakat semakin mendapat perhatian internasional ketika masalah administrasi menggagalkan keinginannya untuk menunaikan kewajiban agama: pergi haji. Impiannya melihat Kabah secara langsung tercapai dengan umrah yang ditunaikannya pada tahun 2013, dengan memakai mukena sebagaimana wanita Muslim lainnya. Satu tahun kemudian, Maryani meninggal dunia.

Selepas wafatnya Maryani, Pesantren Al-Fatah berpindah ke rumah Shinta Ratri yang juga koordinator Ikatan Waria Yogyakarta. Sebagaimana waria lainnya, Shinta yakin bahwa waria juga makhluk Tuhan yang berhak diperlakukan sama seperti gender yang lain, termasuk dalam hal beragama. Shinta dan teman-temannya terus mencari dukungan dari berbagai kalangan untuk pengembangan pesantren tersebut, termasuk dari dua organisasi Muslim terbesar di Indonesia.

Waria yang belajar ke Al-Fatah berasal dari berbagai daerah: Wonogiri, Sragen, Bandung, hingga Medan. Banyak dari mereka yang datang karena kesulitan menemukan komunitas yang dapat memahami kondisi mereka ataupun akibat penolakan dari keluarga. Shinta mengatakan, pesantrennya mendapat dukungan akademik dari sebuah universitas sehingga dapat mengajarkan berbagai tema, seperti transgender dan Islam, membaca Quran, dan juga pelajaran tentang salat.

Selain pendidikan agama, Pesantren Al-Fatah juga memfasilitasi para waria untuk bisa berwirausaha untuk menghasilkan biaya hidup, seperti pendidikan salon kecantikan atau penyewaan baju pengantin tradisional. “Saya berharap pesantren ini bisa memberikan rasa percaya diri kepada mereka,” kata Shinta kepada The Jakarta Post.

Sejumlah aktivis dan peneliti dalam serta luar negeri telah mengunjungi pesantrennya. Belum lama, seorang fotografer asal Italia, Fulvio Bugani, menghabiskan tiga pekan tinggal di komunitas waria tersebut. Di antara karya fotonya di tempat komunitas waria tersebut mengantarkannya menerima penghargaan dalam ajang World Press Photo’s Contemporary Issues tahun 2015.

Bugani mengatakan bahwa tempat tersebut memberikan ketenangan bagi para waria yang di masyarakat mendapatkan penolakan. Jika para waria mendapatkan kesulitan atau terhalang untuk mengunjungi masjid pada umumnya, di pesantren itu Shinta menjamin para waria untuk dapat salat bersama. “Shinta ingin membantu waria-waria lain untuk menjadi seperti dirinya. Dia bangga sebagai seorang wanita dan juga sebagai seorang Muslim,” kata Bugani.

Ali Reza/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *