Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 10 May 2020

BUDAYA – Jejak Muhammad Abduh di Kampung Arab Pekojan


Dikky Bashandid tak lagi dapat menunjukkan bangunan pertama tempat kakeknya mencetuskan Jamiatul Khair, organisasi pendidikan Islam tertua di Jakarta. Tapi Dikky tetap meyakini bangunan itu berada di sekitar Masjid An Nawier, Pekojan, Tambora, Jakarta Barat.

“Bukti sejarahnya sudah tiada karena tak terawat, tapi letaknya tak jauh dari sini,” kata Dikky di kantor pengurus Masjid An Nawier Pekojan ketika ditemui Islam Indonesia.

Kakek Dikky, Said bin Aḥmad Bashandid, menginisiasi berdirinya Al-Jamiatul Khairiyah (baca: Jamiatul Khair) di Pekojan 119 tahun yang lalu. Said tidak sendirian tapi bersama Muḥammad bin Abdullah Shahab dan beberapa tokoh masyarakat Pekojan.

Inisiatif ini bermula dari majalah-majalah Mesir yang sampai di Betawi. Majalah seperti al-Urwah al-Wusqa dan al-Manar berhasil membawa pemikiran sosok pembaharu abad 19, Muhammad Abduh, dari Negeri Piramida ke daratan Pekojan.

Pembaharu jebolan Universitas Al Azhar ini dikenal sebagai salah satu penggagas modernisme Islam. Ia wafat ketika Jamiatul Khair masih berusia lima tahun.

Sejak abad ke-18, Pekojan memang dipenuhi oleh orang-orang Arab pendatang asal Hadramaut Yaman. Pemerintah Hindia Belanda yang menempatkan mereka di sana hingga tempat ini dikenal ‘kampung Arab’.

Gagasan Abduh kemudian menginfeksi cerdik pandai Pekojan. Oleh karena itu, para pendiri Jamiatul Khair mematok lahirnya pendidikan modern Islam sebagai misi gerakan. Sekolah-sekolah modern harus dibuka. Umat Islam semestinya menguasai ilmu pengetahuan modern di samping ilmu agama.

Pada 1903, para pendiri kian giat mengorganisasir perkumpulannya. Said bin Aḥmad Basandiet terpilih sebagai nahkoda organisasi, Muḥammad bin Abdullah Shahab sebagai wakilnya, Muḥammad al-Fakhir bin Abdurrahman al-Mashur duduk di kursi sekretaris, dan Idrus bin Aḥmad Shahāb ditunjuk sebagai bendahara.

Meski Said dan rekan-rekannya menginisiasi Jamiatul Khair pada 1901, mereka baru mendapatkan izin akta pendirian dari pemerintah Hindia Belanda empat tahun kemudian. Surat izin dibuat dengan catatan Jamiatul Khair tak dibolehkan membuka cabang di luar Batavia.

Pada tahun yang sama di Solo, Jawa Tengah, Haji Samanhudi mendirikan organisasi yang mewadahi para pedangang muslim untuk menantang kebijakan ekonomi Belanda. Organisasi itu diberi nama Sarekat Dagang Islam yang kemudian dikenal sebagai Sarekat Islam (SI).

Meski bertujuan pendidikan, Jamiatul Khair juga dianggap memiliki potensi ancaman bagi kekuasaan Hindia Belanda. Inilah yang membuat kompeni waswas dan memberikan aturan serta pengawasan ketat pada Jamiatul Khair.

Di bawah bayang-bayang pemerintah Belanda, Jamiatul Khiar berupaya bergerak menjalankan misinya. Pada 1908, organisasi ini telah menjalin hubungan dengan pemuka-pemuka Islam di Timur Tengah seperti Ali Kamil pimpinan redaksi surat kabar al-Liwa, Ahmad Hasan Tabarah penerbit surat kabar Samarat al-Funun Beirut, Abdullah Qasim pimpinan redaksi surat kabar Syamsu al-Haqiqah, dan Muhammad Baqir Beik pemimpin redaksi surat kabar al-Adl.

Setahun berikutnya, Jamiatul Khair mulai meluncurkan program belajar mengajar lewat madrasah. Guru-guru Jamiatul Khair mengajar para muridnya dengan menggunakan bangku dan papan tulis, suatu fenomena anyar dalam sejarah pendidikan Islam di Nusantara.

Seorang pria dari Yogyakarta bernama Muhammad Darwis pernah mencicipi asam garam dalam organisasi ini. Kelak, pria yang kemudian dikenal Ahmad Dahlan ini mendirikan Muhammadiyah di kampung halamannya, Kauman, pada 1912. Hingga kini, lima ribu lebih sekolah di bawah naungan Muhammadiyah telah berdiri di Indonesia.

Menurut Dikky Bashandid, jebolan Jamiatul Khair yang berkontribusi bagi bangsa tak hanya Ahmad Dahlan. Pemimpin Sarekat Islam Hadji Omar Said Tjokroaminoto dan anggota Panitia 9 Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Haji Agus Salim juga pernah bertandang di Pekojan.

Kini, Pekojan menjadi salah satu kawasan padat penduduk yang dikelilingi sentra bisnis Jakarta. Jumlah orang-orang keturunan Yaman di sana pun menyusut drastis.

Dikky Bashandid memang tak lagi dapat menunjukkan bangunan awal kakeknya mencetuskan Jamiatul Khair. Tapi ia kini terlibat memimpin pengurusan Masjid An Nawier yang masih berdiri di Pekojan. Di masjid berusia dua abad lebih inilah, Mufti Batavia Habib Usman bin Yahya mengajarkan ilmu-ilmu agama dan melahirkan murid-murid yang tergabung sebagai penggerak Jamiautul Khair. []

***

Sumber:

-Wawancara, 16 Mei 2019

-Saudagar Baghdad dari Betawi, 2004. (Alwi Shahab, Republika)

-www.jamiatkheir.wordpress.com/

-www.jakarta.go.id

YS/Islamindonesia/Keterangan Foto: Makam pewakaf tanah Masjid An Nawier Syarifah Fatimah di Pekojan (Islindo)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *