Satu Islam Untuk Semua

Monday, 27 February 2023

Ajaran Luhur Hubbul Wathan Versi Jawa dalam Serat Tripama


islamindonesia.idSerat Tripama adalah serat karya KGPAA Mangkunagara IV yang berisi tentang nilai ajaran karakter luhur yang tersirat dalam tiga tokoh pewayangan. Adapun tiga tokoh wayang tersebut yakni Bambang Sumantri atau Patih Suwanda, Kumbakarna, dan Adipati Karna.

Karakter tiga tokoh wayang tersebut menjadi laku nilai ajaran yang patut diteladani karya KGPAA Mangkunagara IV yang berisi 7 bait tembang Dhandhanggula.

Sebagai sebuah karya sastra yang mengambil tiga tokoh kesatria pewayangan, tentu masing-masing memiliki keteladanan yang dapat diambil nilai dan laku untuk kehidupan modern saat ini.

Serat Tripama yang merupakan karya sastra berbentuk tembang Dhandhanggula ini biasa dilagukan atau dinyanyikan para siswa sekolah dan bahkan acapkali ditembangkan masyarakat zaman dulu.

Tembang Dhandhaggula ini diterbitkan pertama kali dalam kumpulan ciptaan Mangkunegara IV, jilid III pada tahun 1927.

Adapun arti dari Serat Tripama yakni berasal dari dua kata, Pertama, “serat” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ‘surat atau tulis’. Kedua, “tripama” berasal dari 2 kata “tri” yang artinya ‘tiga (3)’ dan “pama” artinya ‘contoh’.

Jadi arti “Serat Tripama” adalah ‘ajaran yang tertulis dalam tiga laku contoh’. Adapun tiga laku contoh tersebut sebagaimana penjelasan di atas yakni 3 tokoh pewayangan.

Ketiga tokoh tersebut untuk saat ini, ketika Indonesia akan mencari sosok pemimpin masih relevan untuk diambil hikmahnya. Sebab ketiga tokoh pewayangan ini digambarkan memiliki loyalitas dan integritas terhadap negara, bukan terhadap kekuasaan maupun harta.

Selain itu banyak ajaran yang dapat diambil lebih dalam jika membaca tiga tokoh wayang tersebut secara utuh. Terlebih lagi tentang ajaran moral dan etika masyarakat Jawa yang dapat diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara maupun berbangsa.

Berikut ini tiga tokoh wayang dalam Serat Tripama dan ajaran luhurnya:

1. Bambang Sumantri

Bambang Sumantri putra dari Resi Suwandagni dan permaisuri Dewi Darini, memiliki adik yang bernama Bambang Sukrasana. Sejak kecil Bambang Sumantri telah memiliki loyalitas dan bertekad untuk mengabdi kepada Prabu Harjuna Sasrabahu di Maesapati.

Tokoh sakti yang memiliki pusaka Panah Cakra ini ahli dalam ilmu tata pemerintahan dan kenegaraan. Selain itu kemampuannya mengorganisasi dan keprajuritan serta keahliannya dalam ilmu perang.

Keinginan sejak kecilnya untuk mengabdi kepada Prabu Harjuna Sasrabahu terwujud ketika ia dewasa. Sebagai ujian ia diberikan tuga untuk Dewi Citrawati, putri negara Magada yang waktu itu menjadi rebutan atau dilamar raja-raja dari seribu negara.

Dengan kesaktiannya, Bambang Sumantri manpu memindahkan taman Sriwedari atas permintaan Dewi Citrawati, ia dibantu adiknya Sukrasana yang memiliki kemampuan ilmu Candrabirawa.

Bambang Sumantri dapat menyelesaikan tugas yang diamantkan kepadannya, bertanggung jawab atas apa yang diembannya. Ia gugur ketika menghadapi Prabu Dasamuka raja raksasa dari kerajaan Alengka.

2. Kumbakarna

Kumbakarna atau Arya Kumbakarno meruapakan saudara kandung dasamuka atau Rahwana. Putra kedua Resi Wisrawa dengan Dewi Suksesi, putri dari Prabu Sumali, Raja Alengka.

Dalam kisah pewayangan Kumbakarna memiliki kedudukan yang tinggi sebagai kesatria. Ia sosok yang jujur dan berani membela kebenaran dan berjiwa kesatria. Salah satu permohonan laku hidupnya yaitu meminta untuk dijadikan orang yang jujur dan sakti.

Demi terkabulnya permohonan tersebut, Kumbakarna melakukan pertapaan, dan akhirnya ia mendapatkan anugerah berupa sifat jujur dan sakti.

Sebai sosok pemimpin, ia tokoh yang berjuang tanpa pamrih, terlebih lagi soal pangkat dan jabatan. Di dalam hatinya yakni tertanam tentang kecintaan terhadap Tanah Air (Hubbul Wathan). Kumbakarna sosok yang gugur sebagai pahlawan, ia rela mengorbankan dirinya untuk kepentingan negara dan bangsa.

3. Adipati Karna

Adipati Karna memiliki nama lain Basukarna, putra dari Dewi Kunti. Kelahiran Karna akibat kesalahan Dewi Kunti membaca mantera Aji Pameling ajaran Resi Druwasa. Atas kesaktian Bathara Surya, bayi Karna dilahirkan melalui telinga, hingga Kunti tetap perawan.

Lalu Dewi Kunti menghanyutkan Karna ke Sungai Gangga dan ditemukan Rada seorang Sais atau kusir kereta Kerajaan Astina. Dari Ibunya Karna memiliki tiga saudara laki-laki lain dari ayanya, yakni Puntadewa, Bima dan Arjuna.

Adipati Karna sosok yang sakti dengan anugerah dari Resi Parasurama yang mendapatkan ajian Aji Kalakupa serta Aji Naracabala. Selain itu sejak kelahirannya Karna telah memiliki pusaka kadewatan, yaitu rompi Kawacayuda dan Cincin Socamaningrat.

Setelah hidup sederhana di bawah asuhan Ibu Rada, Karna diangkat menjadi Adipati Karna oleh Duryudana dan dinobatkan sebagai senopati atau panglima perang di kerajaan Hastinapura.

Adipati Karna sosok yang loyal dan siap berjuang demi negara dan bangsa, meski ia harus berperang melawan saudara-saudaranya.

Itulah tiga sosok tokoh pewayangan yang dapat dijadikan inspirasi tentang sosok yang cinta terhadap Tanah Air. Meski demikian KGPAA Mangkunagara IV menyadari bahwa ketiga tokoh tersebut juga memiliki kelemahan masing-masing.

Teks Lengkap Serat Tripama

Berikut ini teks lengkap Serat Tripama dan terjemah bahasa Indonesia yang diambil dari Mas Kumitir.

SERAT TRIPAMA

Bait 1

Yogyanira kang para prajurit, lamun bisa sira anuladya, duk ing nguni caritane, andel ira Sang Prabu Sasrabahu ing Maespati, aran patih Suwanda, lalabuhanipun, kang ginelung triprakara, guna kaya purun ingkang den antepi, nuhoni trah utama.

Wahai semua prajurit, contohlah segala tingkah laku, kesetiaan dan ketaatan seorang senopati bernama Suwanda yang sangat dibanggakan, oleh sang Prabu Harjuna Sasrabahu di Maespati, yang mencakup tiga soal.

Pertama “Kepandalan (ilmu)”; Kedua “Kekayaan akan akal”, pikiran dan siasat peperangan dan Ketiga “Kebenaran” yang penuh dengan semangat patriotik; inilah yang disebut manusia utama.

Bait 2

Lire lalabuhan triprakawis, guna bisa sanes kareng karya, binudi dadya unggule, kaya sayektinipun duk bantu prang Manggada nagri, amboyong putri damas katur ratunipun, purune sampun tetela, aprang tanding lan ditya Ngaka nagri, Suwanda mati ngrana.

Adapun yang dimaksud dengan tiga contoh pengabdian tersebut, adalah guna (berarti) dapat melaksanakan segala hal, dan diusahakan menjadi keunggulannya, kaya (berarti) ketika (membantu) melakukan perang ke negara Magada, dan berhasil memboyong/merebut putri domas (Citrawati dan 800 pengiringnya) untuk dipersembahkan kepada rajanya dan purun/berani/kemauan adalah seperti tampak jelas di kala dengan gagah berani perang melawan raksasa (Rahwana) dari negri Alengka, dan Sumantri gugur dalam medan perang.

Bait 3

Wonten malih tuladan prayogi, satriya guna nagri ing Ngalengka, Sang Kumbakarna arane, tur iku warna diyu,suprandene nggayuh utami, duk wiwit prang Ngalengka, dennya darbe atur, Mring raka amrih raharja. Dasamuka tan kengguh ing aturyekti, mengsah wanara.

Ada lagi teladan yang patut dicontoh, seorang kesatria agung dari negeri Alengka, bernama Kumbakarna, walaupun ia berwujud raksasa, namun berbudi utama (luhur), sejak perang Alengka, ia selalu mengingatkan kepada kakaknya demi keselamatan negara, namun Rahwana tidak mau berubah pendiriannya untuk melawan prajurit kera.

Bait 4

Kumbakarna kinon mansah jurit, mring kang raka sira tan lenggana, nglungguhi kasatriyane, ing tekad datana sujud, amung cipta labuh nagari, lan noleh yayah rena nyang leluhuripun, wus mukti haning Ngalengka mangke, arsa rinusak ing bala kapti punagi mati ngrana.

Kumbakarna setelah, mendengar perintah dari kakaknya, untuk melawan musuh yang menyerang negaranya, berangkat tanpa mendak karena memegang teguh sifat kekesatriaannya, walaupun di dalam hatinya sesungguhnya tidak setuju akan perbuatan kakaknya yang salah, tetapi dia tetap berangkat ke medan perang dengan maksud untuk membela negara, keluhuran keluarga, leluhurnya dan bangsanya. Maka ia bersemboyan lebih baik mati dalam medan peperangan dari pada hidup mewah di Alengka tetapi (dirusak) prajurit kera.

Bait 5

Wonten malih kinarya palupi, Suryaputra narpati Ngawangga, lan Pandawa tur kadange len yayah tunggil ibu suwita mring Sri Kurupati, nagri Ngastina kinarya gul agul, manggala golonganing prang, Bratayuda ingadeken sepopati, ngalaga ing Kurawa.

Ada lagi teladan yang pantas dicontoh, Suryaputra seorang Narpati dari Awangga, dengan Pandawa yang masih bersaudara, lain ayah tetapi sekandung (sama ibu), yang dengan setia mengabdi kepada Prabu Kurupati dari negeri Astina sebagai agul-agul (benteng), panglima perang, dalam perang Bratayuda menjadi senopati (perang) untuk membela Kurawa.

Bait 6

Den mungsuhken kadange pribadi, aprang tanding lan Sang Dananjaya, Sri Karna suka manahe, dene nggenira pikantuk, marga denya arsa males sihira Sang Duryudana, marmanta kalangkung, denya ngetok kasudirane, aprang rame Karna mati jinemparing, sembaga wiratama.

Sang Karna gembira mendengar perintah rajanya yang melawan saudaranya sendiri berperang dengan Sang Arjuna, karena inilah satu-satunya jalan untuk dapat membayar budi, rajanya yang telah memberi derajat, pangkat, kenikmatan duniawi, maka berangkatlah dengan kekuatan yang ada ke medan pertempuran guna menunaikan tugas senapatinya dan akhirnya Adipati Karna gugur dalam medan pertempuran sebagai perwira utama.

Bait 7

Katri mangka sudarsaneng jawi, pantes agung kang para prawira, amirata sakadare, ing lelabuhanipun, hawya kongsi buang palupi, manawa tibeng nista, ina estinipun senadyan tekading budya, tan prabeda budi panduming dumadi, marsudi ing Kautaman.

Ketiga contoh itu merupakan teladan di Jawa, yang pantas jikalau semua/para prajurit dapat menghayati sekuasanya, dalam pengabdiannya terhadap (kerajaan), jangan sampai melalaikan contoh-contoh baik, jika jatuh ke lembah nista, hina, kemauannya; walaupun sentausanya budi tidak ada lain hendaknya berusaha sesuai dengan harkat hidupnya, berusaha dalam keutamaan.

EH/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *