Satu Islam Untuk Semua

Monday, 20 January 2014

Yasraf Amir Piliang: Sekarang Tak Ada Parpol Islam yang Ideologis


foto: fri.or.id

Pergeseran orientasi politik menjadikan parpol-parpol Islam hari ini tak memiliki perbedaan makna dengan parpol-parpol sekuler

 

Saat Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memutuskan untuk mendukung pasangan Foke-Nara dalam putaran kedua pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada 2012, banyak kalangan yang terheran-heran dan “takjub” dengan keputusan tersebut. Sebuah partai besar islam yang identik dengan kesederhanaan dan anti korupsi tiba-tiba secara cepat berbalik arah menyorongkan dukungan politiknya kepada pasangan yang selama ini memiliki citra “kurang bagus” dan kebijakan-kebijakannya agak kurang kompatibel dengan nilai-nilai yang dianut oleh partai kader dakwah tersebut.

Situasi yang sama tak lebih juga terjadi pada partai-partai Islam lainnya. Alih-alih membantu pertumbuhan politik lebih sehat di Indonesia atau memberikan solusi pada publik tentang permasalahan bangsa, partai Islam sekarang malah cenderung berprilaku “jauh dari tindakan islami”, dengan keterlibatan banyak aktivisnya dalam berbagai praktek korupsi dan tindakan-tindakan memalukan lainnya.

Pengamat sosial,Yasraf Amir Piliang melihat situasi itu terjadi karena adanya pergeseran orientasi politik di kalangan para aktivis parpol islam. Menurut pengajar di Fakultas Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (ITB) tersebut, bahasa politik yang berlaku hari ini bukan lagi ideologi tapi bahasa kekuasaan. “Jika di era Masyumi dulu para aktivisnya rela mengorbankan kekuasaan demi ideologi, maka hari ini yang terjadi sebaliknya:ideologi dipinggirkan demi kekuasaan,”ujar lelaki kelahiran Maninjau, 30 September 1956 itu.

Seperti apa pergeseran orientasi itu terjadi? Benarkah ini pertanda telah terjadinya “kematian ideologi” di kalangan parpol-parpol (terutama parpol islam)? Beberapa waktu yang lalu Hendi Jo dari Islam-Indonesia melakukan bincang-bincang sekitar soal-soal tersebut dengan  penulis buku  Sebuah Dunia yang Dilipat: Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya Posmodernisme,   tersebut. Berikut petikannya: 

 

Bung Yasraf, di Indonesia, hari ini orang banyak yang tidak bisa membedakan prilaku antara parpol islam dengan parpol sekuler, fenomena sosial politik apa sih yang sebenarnya sedang terjadi? 

Meminjam istilah dari Daniel Bell (sosiolog dari Harvard University) ada kecenderungan hari ini, ideologi sudah mati di kalangan partai politik (terutama parpol islam). Sekali lagi, hanya di kalangan partai politik islam,bukan di kalangan umat Islam. Parpol islam hari ini begerak sonder ideologi. Mereka tidak lagi mengembangkan ideologi. Kalaupun mereka selalu berkata tetap berjuang demi nilai-nilai Islam, tapi dalam kenyataannya seperti anda bilang hari ini orang sulit membedakan tingkah polah parpol islam dengan Partai Demokrat, Golkar atau PDIP misalnya.

 

PKS sekalipun?

Ya tak terkecuali. Walaupun mereka mengaku Islam dan didukung oleh massa Islam, tapi dalam mekanisme kerjanya sulit untuk melihat mereka berbeda dengan parpol-parpol sekuler.Misalnya dalam soal pencitraan, kalau mereka mengaku Islami, saya pikir tidak perlu ada upaya pencitraan. Kalau melihat dalam sejarah Islam, para khalifah itu kan menolak sebenarnya untuk masuk ke dalam kekuasaan, tapi karena dipaksa-paksa, ya masuklah mereka. Nah PKS ini kan malah membuat pencitraan untuk mendapatkan kekuasaan. Jadi sekarang saya melihat memang tidak ada parpol islam yang sama sekali ideologis

 

Memang pernah ada parpol islam yang ideologis menurut anda?

Oh pernah sekali. Masyumi misalnya. Orang-orang Masyumi itu rela “berkelahi” demi ideologinya. Ingat soal perdebatan 7 kata dalam Pancasila yang memperlihatkan mereka strike sebagai parpol islam. Walaupun akibatnya mereka tidak bisa berkuasa. Inilah jika di era Masyumi dulu para aktivisnya rela mengorbankan kekuasaan demi ideologi, maka hari ini yang terjadi sebaliknya:ideologi dipinggirkan demi kekuasaan.

 

Apa yang membuat ideologi mati di kalangan parpol islam?

Karena di Indonesia, politik itu direduksi menjadi kekuasaan. Ada dua bentuk politik. Pertama, politik ideologi = tidak mengutamakan kekuasaan asalkan keyakinan parpol tertanam di kalangan masyarakat. Kedua, politik kekuasaan = yang penting berkuasa walaupun ideologi tidak bisa tertanamkan di kalangan masyarakat. Jadi sekarang politik ideologi itu enggak ada, yang ada sekarang di benak para politisi tersebut adalah bagaimana supaya dapat kursi dan dapat uang.

 

Tapi ngomong-ngomong Bung Yasraf, menurut anda masih diperlukan tidak sih agama sebagai ideologi politik?

Sebetulnya orang-orang hari ini lebih memiliki kecenderungan memilih hal-hal yang kongkret demi kehidupan mereka. Makanya saya melihat dari sisi pengemasan, sesungguhnya PKS itu sudah benar: menawarkan kesehjateraan dan kejujuran sebagai barang dagangannya. Cuma yang terjadi  dalam perkembangannya mereka “tidak kuat” dan “terseret” dalam arus kotor politik Indonesia. Akibatnya terjadi pembalikan citra, ketika orang-orang menggugat kejujujuran dan sikap anti korupsi mereka.Kok bisa sih, parpol Islam yang dulu katanya bersih, jujur, adil dan sejahtera saat ini terlibat hal-hal yang tidak baik jika dilihat dari segi nilai-nilai Islam? Kurang lebih, begitulah anggapan orang.

 

Kalau begitu Bung Yasraf, ideologi apa sih yang sebenarnya cocok untuk menjadi platform moral bagi para pelaku politik di negeri ini?

Bagi saya semua tujuan ideologi baik. Sama sekali tidak ada yang buruk. Marxisme itu kan tujuannya ingin mensejahterakan manusia, begitu juga kapitalisme. Kalaupun terjadi hal-hal yang buruk, ini merupakan ekses. Ekses dari suatu hal yang berlebihan. Segala hal yang berlebihan itu kan menjadi tidak baik, sekalipun itu berasal dari agama. Kebebasan itu baik, tapi jika berlebihan? Malah menjadi buruk kan? Kampanye pencitraan itu baik, tapi jika dijalankan keterlaluan, malah akan menimbulkan pembalikan arah citra.

 

 

Sumber: Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *