Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 29 January 2014

Welas Asih Sebagai Iman


foto:youtube.com

“Saya bermimpi tentang sebuah dunia dimana ulama, buruh, dan pemuda bangkit dan berkata, “stop semua kemunafikan ! Stop semua pembunuhan atas nama apapun.. Dan para politisi di PBB, sibuk mengatur pengangkatan gandum, susu, dan beras buat anak-anak yang lapar di tiga benua, dan lupa akan diplomasi. Tak ada lagi rasa benci pada siapapun, agama apapun, ras apapun, dan bangsa apapun..dan melupakan perang dan kebencian, dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik… (Soe Hok Gie)

 

Beberapa waktu yang lalu, Karen Armstrong datang ke Jakarta. Pakar sejarah agama-agama ini menceritakan bagaimana orang-orang di Barat begitu kecewa terhadap agama. Menurutnya, salah satu tugas utama zaman kita hari ini tak lain adalah membangun sebuah komunitas global yang di dalamnya semua orang dapat hidup bersama dalam sikap saling menghormati.  Namun sayang, agama yang seharusnya memberi kontribusi besar untuk keharmonisan dan perdamaian, justru dianggap bagian dari masalah. “Orang menjadi tidak peduli lagi terhadap orang lain dan cenderung memikirkan diri sendiri secara berlebihan,”katanya.

Namun tidak benar juga jika kekecewaan itu harus ditujukan kepada agama. Sebetulnya tidak ada yang salah dengan agama. Karen menegaskan bahwa semua agama pada esensinya mengajarkan bahwa sikap welas asih (compassion) merupakan penguji spiritualitas sejati dan itu membawa kita ke dalam hubungan dengan zat transenden yang orang-orang di dunia menyebutnya dengan nama Allah, Brahman, Nirwana atau Dao. Masing-masing telah merumuskan versinya sendiri dari apa yang kadang-kadang disebut sebagai Kaidah Emas: Jangan perlakukan orang lain dengan cara yang tidak Anda inginkan untuk diri Anda sendiri.

Situasi itu akan berubah menjadi sulit ketika manusia memaknai agama hanya sebagai identitas sempit. Alih-alih menjadi universal dan adil terhadap semua orang, malah yang terjadi agama ditarik paksa masuk dalam wilayah ego berlebihan. Akibatnya semangat welas asih terpinggirkan, diganti dengan ekspresi kepentingan politis yang lebih kental dan tak jarang tampil dalam bahasa dan praktek penuh kekerasan. Parahnya, kekerasan ini lantas diakbarkan menjadi sesuatu yang seolah paling penting. Perbedaan diharamkan dan penindasan dihalalkan.

Beberapa waktu lalu saya diberi kesempatan untuk mendengar secara langsung bagaimana agama yang tampil dalam wajah egois nan dipenuhi jargon kekerasan, bisa memisahkan dua orang yang saling   mencintai. Di Dusun Nangkernang, masuk dalam wilayah Omben, Sampang seorang ibu menceritakan kesedihannya harus terpisah dengan salah seorang putrinya hanya karena mereka berbeda mazhab. “Bagaimana bisa saya menghentikan memikirkan dia? Dia itu anak yang baik dan sebelum ada kejadian ini, kami begitu akrab dan dekat,”kata sang Ibu yang seorang Suni tersebut.

Iklil Almilal, koordinator para pengungsi Syiah yang sekarang terdampar di Sidoarjo bercerita kepada saya, sesungguhnya mereka tak akan terusir dari kampung halamannya jika “orang-orang yang penuh amarah” itu tidak datang ke desanya. Mereka yang tidak tahu asalnya dari mana, tiba-tiba bak banjir bandang memenuhi desa mereka seraya berteriak, menebas dan membakar. “Tidak sempat terjadi pembunuhan besar-besaran karena kami dilindungi oleh saudara-saudara kami yang Suni,”kenangnya.

Cerita Iklil mengingatkan saya kepada orang-orang Yahudi yang dilindungi para Muslim dari kekejaman NAZI di Albania. Juga hal yang sama terjadi juga di Poso, Ambon, Sambas, Palestina  ketika di tengah ternafikannya hati nurani, orang-orang yang berbeda keyaknan saling melindungi atas nama welas asih yang diajarkan agamanya. Terakhir saya begitu terkesan dengan cerita  dari Burma, saat ribuan Muslim Rohingya mengungsi ke sebuah kuil dan dilindungi secara ketat oleh para bikhsu-nya dari incaran para penganut Buddha ekstrem. Inilah bukti agama sebagai sumber welas asih belum benar-benar mati.

Hari ini kita banyak diperdengarkan dan diperlihatkan oleh sikap kekerasan di mana-mana. Kebencian atas dasar agama seolah menjadi sesuatu yang lebih wajib diamalkan dibanding sikap welas asih yang sesungguhnya menjadi semangat utama dalam beragama. Hiruk pikuk itu terjadi di hampir di sebagian antero planet ini.Egoisme bertemu egoisme, ekstremisme melawan ekstremisme. Demi mencapai sorga apapun pasti mereka lalui, kendati harus menciptakan neraka dunia sekalipun. Lalu kapan pekik “Allahu Akbar” itu terlontar pada saat kita tengah mengasihi sesama, bukan saat kita menghancurkan dan membunuh sesama kita? Allah Maha Tahu, siapa yang tengah melakukan kerusakan dan siapa yang sedang membangun sikap welas asih-Nya.

 

Sumber: Islam Indonesia

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *