Satu Islam Untuk Semua

Friday, 21 March 2014

Wawancara Prof.Aiko Kurasawa (1): Secara Nurani, Jepang Dukung Kemerdekaan Indonesia


foto:hendijo

Paparan menarik mengenai peran Jepang di Indonesia (1910-1967) dari seorang indonesianis asal negeri matahari terbit tersebut

Mulai hari ini, Islam Indonesia akan mengetengahkan wawancara khusus dengan Profesor Aiko Kurasawa, salah satu sejarawan ternama Jepang yang sangat menguasai materi perkembangan hubungan antara Jepang dengan Indonesia sepanjang waktu. Hasil wawancara panjang ini akan kami muat dalam 2 bagian tulisan. Selamat membaca.

 

KENDATI lahir dan tumbuh sebagai orang Jepang, Aiko Kurasawa (67) berpendapat bahwa apa yang pernah dilakukan oleh bala tentara Jepang pada 1942-1945  tetap namanya sebagai suatu kejahatan kemanusiaan. Alih-alih mencari pembenaran atas luka sejarah yang pernah ditimbulkan oleh negaranya kepada sesama bangsa Asia (termasuk Indonesia), ia justru menyayangkan hingga kini tak ada ketegasan dari pemerintah Jepang terkait  soal tersebut.

“Permintaan maaf memang pernah ada, tapi selalu tak jelas. Artinya ketika itu dinyatakan oleh satu pemerintahan di Jepang, maka kekuasaan berikutnya yang dipegang oleh partai yang berbeda  selalu akan menganulirnya. Ini kan namanya abu-abu, sangat samar,” ujar Professor Emertus dari Keio University tersebut.

Bagaimana  pandangan lebih lengkap  indonesianis asal Jepang itu mengenai  kiprah bangsanya terkait hubungan dengan Indonesia sepanjang sejarah? Termasuk soal nasib tragis “Sang Jepang pendukung Indonesia merdeka” Laksamana Maeda pasca perang? Dalam lingkungan asri rumahnya di tepi Kali Ciliwung, kawasan Lenteng Agung Jakarta Timur, beberapa hari lalu, kepada Hendi Jo dari Islam Indonesia, Aiko menyampaikan pendapatnya mengenai hal-hal tersebut.

Anda memiliki pendapat sebenarnya sejak kapan terjadi persinggungan yang intens antara bangsa Jepang dengan bangsa Indonesia?

 Tepatnya sejak 1910. Saat itu banyak orang-orang Jepang yang miskin bermigrasi ke negara-negara Asia lainnya termasuk Indonesia (saat itu masih bernama Hindia Belanda). Mereka betul-betul merasa di tanah kelahirannya, masa depan sangat suram. Makanya mereka mencari penghidupan di negara orang lain.

Mereka pergi ke Jawa?

Oh tidak hanya ke Jawa. Mereka pun mendatangi kota-kota di Sumatera dan Kalimantan. Saat melakukan riset mengenai soal ini, saya pernah menemukan satu komunitas orang Jepang yang hidup di Sintang, Kalimantan Barat. Mereka tinggal di dekat Sungai Kapuas.

Secara umum apa yang orang-orang Jepang perantauan lakukan di Indonesia saat itu?

Mereka berdagang atau menjajakan jasa. Untuk yang berdagang, pada awalnya mereka rata-rata akan bergabung dahulu dengan orang Jepang yang sudah lumayan berhasil. Mereka ambil barang lalu menjajakan secara langsung ke jalan-jalan. Bahkan sampai ke pelosok kampung. Jumlah mereka lumayan banyak. Pokoknya menjelang kedatangan tentara Jepang ke Hindia Belanda mereka ada sekitar 6.000 orang.

(Menjelang kedatangan bala tentara negara tersebut ke wilayah Hindia Belanda, kehadiran orang-orang Jepang memang bukan hal yang aneh bagi orang-orang Indonesia. Odoy Soedarja (89), penduduk Sumedang, Jawa Barat, mengenang orang-orang Jepang itu sebagai para pedagang keliling yang ulet. Bahkan Otih (92) warga Cianjur menjadi saksi tentang seorang pedagang peralatan rumah tangga bernama Mang Siro (nama aslinya Ichiro) yang rajin berkeliling sampai ke gang-gang sempit dan perkampungan terpencil sekalipun. Pada akhirnya, mereka  percaya orang-orang Jepang itu bukan pedagang sembarangan)

Di Indonesia, banyak yang percaya orang-orang Jepang itu sesungguhnya mata-mata bala tentara Dai Nippon…

Itu bohong. Cerita itu tidak benar dan hanya dikarang oleh Belanda sebagai bahan propaganda saja. Meskipun mungkin saja ada dari mereka yang bekerja untuk intelijen tentara Jepang. Jumlahnya mungkin hanya satu-dua saja. Artinya bisa dihitung.

Anda yakin?

Yakin sekali. Saya pernah mewawancarai kurang lebih 100 orang dari mereka dan semua mengatakan tidak ada praktek intelijen

Saya juga pernah wawancara beberapa saksi sejarah orang Indonesia yang menyatakan bahwa orang-orang Jepang yang sudah tinggal di Hindia Belanda mendadak berpakaian militer dan memiliki pangkat saat bala tentara Dai Nippon datang…

Memang benar. Menjelang bala tentara Jepang datang, mengingat penguasaan mereka terhadap situasi medan setempat, orang-orang Jepang perantauan itu direkrut untuk kepentingan tentara Jepang dan diberi seragam serta pangkat militer. Tapi itu direkrut spontan saja. Tiga tahun mereka hidup enak hingga sampai Jepang kalah perang. Selanjutnya mereka mengalami  hidup susah kembali karena dipaksa harus meninggalkan Indonesia oleh Sekutu

Ok sekarang terkait kebijakan bala tentara Dai Nippon menjelang detik-detik terakhir kekuasan mereka pada 1945. Mengapa tidak ada kekompakan sikap menghapi Proklamasi bangsa Indonesia antara Rikugun (Angkatan Darat) dengan Kaigun (Angkatan Laut)?

Tentu saja karena Jakarta terletak di Jawa yang merupakan wilayah-nya Rikugun. Kaigun sendiri membawahi Indonesia bagian timur. Karena itu, dapat dimengerti ketika Laksamana Maeda memberi dukungan kepada Sukarno-Hatta dan kawan-kawannya menjelang dilakukan proklamasi kemerdekaan Indonesia, pihak Rikugun marah besar sekali karena  menurut mereka sebagai tentara seharusnya Maeda dan pihak Kaigun harus patuh kepada Negara yang sudah menyatakan menyerah kepada Sekutu dan terikat perjanjian penjagaan status quo hingga kedatangan Sekutu ke Jawa.

Nyatanya Maeda tidak mengikuti Negara…

Ya karena itulah ia lantas dikecam dan mendapat perlakuan hina di Jepang. Meskipun secara hati nurani, orang-orang Jepang mendukung kemerdekaan Indonesia namun kepatuhan kepada Negara bagi mereka adalah segalanya. Ini adalah soal kehormatan  dan harga diri bangsa. Tidak aneh, ketika Maeda pulang ke Jepang, semua akses ditutup untuk Maeda dan ia mendapat kesulitan luar biasa selepas  dari dinas militer hingga ia meninggal sekitar tahun 1980-an dalam kondisi melarat.

(Aiko menegaskan saat masih hidup Laksamana Maeda adalah salah satu nara sumber sejarah yang secara pribadi cukup dekat dengannya. Perempuan yang memulai risetnya tentang Indonesia sejak 1970 itu,  bahkan menyatakan kala pasca perang dan Indonesia sepenuhnya merdeka,  ia mengetahui Maeda kerap pulang pergi Tokyo-Jakarta hanya untuk mencari biaya melangsungkan sisa-sisa hidupnya dari belas kasihan para pejabat Indonesia. Ya sebagai seorang yang pernah berjasa terhadap kelahiran Indonesia, tentunya  Maeda sangat dihormati dan memiliki hubungan yang khusus dengan para pejabat Indonesia teruatama di era Presiden Sukarno). (Bersambung)

 

Sumber: Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *