Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 05 March 2015

Wawancara Menteri Riset Mohammad Nasir


Mohammad Nasir

Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi

 

“Riset Kampus Harus Lebih Aplikatif”

 Pemberlakuan kesepakatan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 berimplikasi pada dunia pendidikan, termasuk perguruan tinggi. Dengan tingkat persaingan yang begitu ketat sebagai akibat kebijakan liberalisasi itu, perguruan tinggi yang tidak siap akan tersingkir dari persaingan regional.

Tapi jika pernyataan Menristek Dikti, Muhammad Nasir, bisa dipegang, orang tak perlu terlampau cemas. Dalam sebuah wawancara dengan Islam Indonesia akhir Februari silam, bilang dia punya resep jitu dalam meningkatkan daya saing perguruan tinggi. Riset adalah kata kuncinya, katanya. “Riset harus lebih membumi dan bukan menara gading yang tidak implementatif,” katanya. Petikannya: 

Dengan berlakunya kesepakatan MEA 2015, sektor pendidikan tinggi harus mampu bersaing. Apa yang sudah dipersiapkan oleh Kemenristek Dikti? 

Tentunya kami harus berhasil menciptakan nasional kompetitif daya saing bangsa. Jadi kompetitif itulah yang nanti akan menjadi hal utama dalam mencapai keberhasilan.

Nasional kompetitif ukurannya apa?

Diantaranya adalah kualitas angkatan kerja dan inovasi yang nantinya akan menghilirkan dan mengkomersialisasikan hasil-hasil riset pada dunia usaha. Berarti kalau banyak inovasinya di dunia usaha maka makin banyak pula persaingan. Inovasi itu kan dasarnya riset. Riset yang baik harus didukung pada tenaga kerja yang baik atau para peneliti yang baik. Selain itu yang terpenting harus adanya layanan pendukung seperti kelembagaan dan sumber daya. Keduanya harus seimbang agara menghasilkan produk riset yang inovatif.

Kini Dikti terpisah dari Kemendikbud lalu bernaung di Kemenristek Dikti. Apakah ada kebijakan sebelumnya yang diangggap menghambat peningkatan kualitas perguruan tinggi?

Tentu ada. Dalam perguruan tinggi itu kita mengenal Tridharma Perguruan Tinggi yakni pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian pada mayarakat. Penelitian yang ada di Dikti, itu umumnya hanya sampai publikasi. Sangat jarang yang sampai pada inovasi. Sementara ristek, menghasilkan suatu hasil riset pada hal inovasi. Basis teorinya hanya terbatas. Ini harus dikomparasikan. Dengan kita mem-blanding, maka kita akan menjadi lebih baik. Hambatannya karena itu. Jadi nanti, kita akan meningkatkan riset yang berbasis pada penerapan dan riset yang berbasis pada inovasi.

Ketika ristek dan dikti digabungkan, lantas bagaimana nasib ilmu sosial. Banyak yang melihat, riset hanya terfokus pada ilmu alam atau eksakta?

Pemikiran seperti itu yang harus diubah. Seringkali orang mendikotomikan antara teknik dan non teknik. Maka penggabungan ini menjadi penting dan menjadi lengkap. Kalau teknologi makin maju dampaknya pada masyarakat. Teknologi akan berkembang dan harus diatur regulasi. Ilmu sosial sifatnya mendukung terhadap teknologi ini. Kalau dalam hal ini teknik itu berkembangnya inovasi. Nanti kalau ini dipakai, ilmu sosial mulai mengikuti. Dampak dari suatu pertumbuhan teknologi yang makin meningkat maka akan berdampak pula pada perilaku sosial. Kita ingin teknologi yang maju membuat masyarakat jadi sejahtera seperti di Eropa dan Amerika.

Apa perbedaan mendasar soal riset perguruan tinggi di Indonesia dengan asing?

Perbedaan mendasarnya, riset mereka sudah dalam bentuk produk yang inovatif atau paling tidak bisa langsung diaplikasikan. Bahkan industri di sana sudah sangat bergantung pada perguruan tinggi terhadap pengembangan produk. Nah, di kita belum. Jadi belum ada hasrat untuk mengembangkan hasil risetnya, sehingga lulusan kita masih orientasinya menjadi calon pegawai. Oleh karena itu, perkembangan ilmu pengetahuan menjadi penting sekali.

Apakah ini semacam link and match?

Iya. Kalau saya itu ingin melihat apakah hasil riset kita bisa jadi produk inovasi yang digunakan oleh industri tidak? Kalau tidak, apa yang salah? Ini harus dicari lagi jawabannya. Belum lama ini, ada riset soal pengembangbiakan tanaman dengan daun. Dari dua lembar daun menjadi 2 juta bibit. Ini penting untuk dunia pertanian.

Riset bisa maju juga karena pendanaan. Jika PTN masih dapat bantuan dari pemerintah, bagaimana nasib perguruan tinggi swasta?

Sekarang saya akan hilangkan dikotomi negeri dan swasta. Karena tidak ada bedanya. Semua sangat tergantung pada resources di dalamnya. Dalam rangka itu, Kemristek-Dikti akan menghapus Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis). Nanti saya akan ganti menjadi Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LPPT). Lembaga ini berfungsi untuk memberikan layanan kepada seluruh perguruan tinggi, tak terbatas hanya PTN atau PTS. Tujuannya supaya negeri dan swasta sama.

Apakah itu semacam lembaga koordinasi saja atau bagaimana?

Di bawah Kementerian. Tapi nanti namanya bukan lagi Dikti. Namanya LPPT itu. Posisinya di bawah koordinasi Direktur Jenderal Kelembagaan. Itu yang nanti akan menangani lembaga-lembaga di perguruan tinggi negeri maupun swasta.

Apa tanggapan Anda, terkait pernyataan Aptisi yang mengatakan beban Sistem Kredit Semester (SKS) di Indonesia akan menghambat daya saing perguruan tinggi dalam menghadapi MEA?

Sebenarnya kalau kita perhatikan tentang SKS yang ada itu bedanya hanya di tingkat Strata 1. Memang, bobot SKS di luar negeri kisaran 100-140 SKS untuk S1. Kalau di Indonesia 144 SKS. Saya ingin mengkaji itu apakah Mata Kuliah Umum (MKU) itu akan dipisahkan dari matakuliah kontennya. Kami masih membuat simulasi soal itu.

Wahyu/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *