Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 12 January 2014

Warisan Imam Karto


Koleksi Fadli Zon

 

“Saya hanya ingin bertemu Sang Pencipta untuk mengetahui apakah kebijakan yang selama ini saya lakukan benar atau salah.” (Sekar Maridjan Kartosoewijo, 1962)

 

Api itu memang sudah tersulut sejak lama. Saat itu sekitar tahun 1920-an, di Surabaya, di sebuah gang sempit bernama Paneleh, dua orang muda kerap beradu kata soal seperti apa kelak bentuk sistem yang cocok untuk sebuah Hindia yang merdeka. Kartosoewirjo bersikukuh bahwa Hindia akan menemui kegemilangannya saat semua sendi-sendi politik yang pernah diberlakukan Muhammad di Medinah juga diterapkan di negeri tropis ini. Sebaliknya Sukarno, anak muda yang 6 tahun lebih tua  dari Karto,punya pandangan berbeda. “Aku bergerak dengan landasan kebangsaan…”ucap Sukarno seperti dilnasir oleh Cindy Adams dalam Bung Karno Penjambung Lidah Rakyat Indonesia.

Tak dinyana, perdebatan kedua anak muda tersebut bisa menjadi api yang berkobar puluhan tahun kemudian. Kobaran api itu pula yang ikut melalap 22.895 manusia: rakyat, tentara, pengikut Karto dan Karto sendiri. Ada dikisahkan saat Sukarno menuduh kawan lamanya tersebut sudah lupa daratan. Karena kefanatikan terhadap ideologi yang ia anut, kata Sukarno, Karto tega “meludahkan api” dengan ucapannya: “Bunuh Sukarno.Dialah penghalang pembentukan Negara Islam…Sukarno bekerdja menentang kita.Sukarno menjatakan, bahwa Indonesia harus berdasarkan Pantjasila,bukan Islam. Sebagai djawaban atas tantangan ini kita harus MEMBUNUH SUKARNO! (saya kutip dari buku Cindy Adams dalam kata-kata aslinya).

Karto sendiri membantah telah mengeluarkan kata-kata yang hanya laik keluar dari seorang pembunuh berdarah dingin tersebut. Di depan pengadilan ia memang mengakui tuduhan: menyerang pemerintah yang sah. Tapi tidak untuk melawan Negara Republik Indonesia, terlebih memerintahkan pembunuhan terhadap Sukarno. Apa mau dikata, pengadilan tidak mempercayainya. Karto tetap divonis hukuman mati dan dipertegas dengan penolakan grasi oleh Sukarno sendiri beberapa waktu kemudian. Maka jadilah kepala Karto yang tertutup kain putih terkulai, dalam suatu pagi di Pulau Ubi, begitu lima peluru menembus dadanya. Apakah setelah itu, semua lantas berakhir?

Tidak sama sekali. Alih-alih dilupakan, yang terjadi  kematian Karto selalu dijadikan bensin untuk memunculkan sebuah pergerakan yang lebih baru. Dalam sebuah pengajian di kalangan anak-anak muda yang pernah saya ikuti sekitar 20 tahun yang silam, seorang ustadz dari Jamaah NII pernah mendeskripsikan begitu “syahidis” kondisi Imam Karto pasca dieksekusi: “Dari hidungnya keluar darah segar yang membentuk lafaz Allah,”ujarnya. Entah benar atau tidak cerita tersebut, belum sempat saya mengonfirmasinya ke berbagai sumber.

Namun di luar benar dan tidaknya cerita sang ustadz tersebut, bagi saya ini cukup menjadi indikasi bahwa kematian Imam Karto pada 1962 akan selalu aktual dijadikan pemicu tumbuhnya keinginan untuk berjihad atau mati syahid  demi ide-ide yang mereka anut. Mungkin situasinya tak lebih sama dengan gaya orang-orang Syiah menumbuhkan semangat perlawanan terhadap tirani dengan membacakan Hikayat Karbala.

Ada lagi cerita terkait Imam Karto. Ketika menulis surat kepada keluarga dan kawan-kawannya di Malingping, Banten (basis NII di era 1950-an), Iqbal alias Arnasan menyatakan bahwa Imam Karto membangun dan menegakan proklamasi kemerdekaan NII dengan darah dan nyawa para syuhada, bukan dengan berleha-leha atau cara  bersantai-santai. Karena itu,” Kalau kalian ingin benar-benar membangun kembali kejayaan NII yang hari ini terkubur, siramlah dengan darah-darah antum agar antum tidak malu di hadapan Allah. Padahal kalian mengaku sebagai anak DI/NII,” tulis salah satu pelaku bom bunuh diri di Bali Oktober,2002 tersebut. Ya, api itu…Rupanya tak akan lekas padam.

 

Sumber:Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *