Satu Islam Untuk Semua

Monday, 10 February 2014

Wacana Hijab bagi Non-Muslim di Aceh Menuai Kritik


Dikutip dari laman thejakartaglobe, Aktivis Hak Asasi Manusia mengkritik Polisi Syariat di Aceh pada hari Jum’at (7/2),  terkait idenya untuk menerapkan pemakaian jilbab kepada perempuan non – Muslim, di sekitar wilayah semi-otonom barat Aceh.

Polisi Syariah Banda Aceh pada hari Rabu(5/2), menahan 62 pria dan wanita non – Muslim dikarenakan memakai pakaian yang tidak tepat, namun pada akhirnya mereka semua dibebaskan di hari yang sama.

Samsuddin, Kepala Kantor Polisi Penegakan Syariah Aceh, mengatakan mereka seharusnya mengenakan jilbab sebagai tanda penghormatan, di satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan hukum Syariah.

“Non – Muslim juga diwajibkan untuk mengenakan jilbab, hal ini dimaksudkan untuk menghormati umat Islam di Aceh,” katanya, seperti dikutip laman thejakartaglobe.

Di bawah Perda Syariah tahun 2002, setiap penduduk Aceh diwajibkan untuk mengenakan pakaian muslimah dan wanita diwajibkan mengenakan jilbab, serta diwajibkan untuk tidak mengenakan pakaian yang ketat. Namun sebelum minggu ini, Polisi Syariah hanya menerapkan hukum tersebut kepada umat Muslim.

Samsuddin mengatakan bahwa mereka yang melanggar peraturan akan “diberikan pengarahan dan pengetahuan mengenai cara bersikap, tapi jika mereka melakukan kesalahan itu lagi, maka mereka akan dibawa ke kantor polisi Syariah, di mana orang tua atau kerabat mereka sendirilah yang harus menjemput.

Wakil Ketua Komisi Hak Asasi Manusia Nasional, Imdadun, mengatakan bahwa penegakan peraturan untuk non – Muslim adalah pelanggaran hak asasi manusia dan ia meminta pemerintah Aceh untuk menghentikan itu.

“Saya meminta pemerintah untuk tidak melanjutkan kebijakan seperti itu, katanya.” Ini akan menjadi masalah jika daerah lain mengikuti seperti apa yang ada di Aceh. Misalnya, bagaimana jika mayoritas wilayah Kristen seperti Papua memaksa warganya, apakah mereka Kristen atau tidak, memakai salib. Kebijakan seperti ini tidak tepat untuk diterapkan di Indonesia.” tandasnya.

Dia mengatakan bahwa status otonomi khusus Aceh harus memiliki keterbatasan.” Mereka masih perlu mematuhi konstitusi dan tidak melanggar hak asasi manusia,” katanya.

“Aparat pemerintah melakukannya hanya untuk menjaga provinsi sebagai bagian dari Indonesia,” kata Bonar. “Pemerintah Aceh, yang gagal membawa kesejahteraan kepada rakyatnya kemudian memainkan isu Syariah Islam untuk mendapatkan dukungan publik.” tutupnya.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *