Satu Islam Untuk Semua

Monday, 13 October 2014

Turki dan Problematika Kurdi


Demonstran Turki

Hari-hari ini Turki mirip negara dalam perang saudara. Tentara berpatroli di jalan-jalan, jam malam diberlakukan untuk pertama kalinya dalam 22 tahun, aksi protes berlangsung di hampir 30 kota dan berbagai gedung pemerintah diamuk massa—situasinya memang berbahaya dan memanas dengan cepat.

Meski bentrokan paling utama dan paling keras terjadi antara massa dan pemerintah, tapi di sebagian daerah ada juga bentrok internal etnik Kurdi sendiri, yaitu di antara kelompok Islam yang mendukung ISIS dan para pendukung PKK. Para pendemo Kurdi berang atas perilaku pasukan Turki yang memblok warga Kurdi yang ingin melintasi perbatasan Suriah untuk bergabung bersama militan Kurdi, YPG, yang sedang mempertahankan kota Kobane atau yang disebut oleh kalangan Arab dengan Ain Al-Arab.

Sebagian besar warga percaya bahwa Turki senang melihat kejatuhan Kobane. Alasannya, keadaan itu akan mengubur impian mereka untuk memiliki wilayah otonom di Suriah.

Sampai saat ini, Turki menolak untuk berkompromi. Presiden Recep Tayyip Erdogan berulang menyatakan bahwa negaranya mau terlibat lebih jauh di Suriah jika koalisi pimpinan AS tidak hanya menyasar ISIS, melainkan juga rezim Presiden Assad. Dan dia mengatakan bahwa zona larangan terbang harus diterapkan untuk menahan serangan udara rezim.

Kemenlu AS menegaskan bahwa untuk saat ini pasukan koalisi akan fokus pada ISIS saja. Dan karena itu, pasukan Turki tampaknya tetap tidak akan terlibat.

Turki berpaling dari Presiden Assad sejak awal meletus krisis politik di Suriah, dengan harapan bahwa rezimnya akan segera jatuh. Untuk merealisasikan taruhannya, Ankara memakai politik “siapa saja selain Assad”, dan mendukung sebagian besar kelompok bersenjata yang kemudian menjadi semakin ekstrem. Sebagai rezim yang ingin terlihat mendukung militan Islam Suni yang sedang bertempur merebut kekuasaan di Suriah, Ankara telah memperlonggar perbatasannya bagi peredaran dan penyelundupan orang-orang yang melintas untuk berjihad di Suriah beserta persenjataan dan logistik mereka.

Pemerintah Turki mulai menyadari bumerang kelompok-kelompok ekstremis seperti ISIS setelah mereka menyandera 46 warga Turki di awal Juni lalu selama lebih dari 100 hari.

Tapi kalangan kritikus percaya bahwa Ankara masih tidak serius menangani para ekstremis.”Bagi kita, PKK (kelompok pemberontak Kurdi) dan ISIS sama saja,” tandas Presiden Erdogan.”Salah jika kita membedakan keduanya.”

Warisan panjang konflik negara Turki dan minoritas Kurdi dapat menjelaskan ketiadaan tindakan tegas dari Turki terhadap situasi Kobane. Sekitar 40,000 orang tewas dalam gelombang pemberontakan Kurdi sejak 1980an.Meski beberapa bulan lalu proses perdamaian dengan pemerintah Turki telah ditandatangani tapi semuanya masih rapuh.

Abdullah Ocalan, pemimpin pemberontah PKK, telah menyatakan bahwa jika Kobane jatuh ke tangan ISIS, maka itu artinya proses damai berhenti.

Presiden Erdogan telah menginvestasikan modal politik besar dalam usaha penyelesaian kasus Kurdi. Pemilu legislatif tahun depan dapat menjadi pukulan balik bagi pemerintah jika proses perdamaian dengan Kurdi gagal.

Turki saat ini berada dalam persimpangan yang kritis dalam kebijakannya ihwal Suriah yang menuai banyak kritik. Dilema masuk Kobane dengan risiko diserang balik oleh militan ISIS atau berdiam diri dengan risiko menghadapi protes keras dari Kurdi adalah konsekuensi dari kesalahan kebijakannya terkait Suriah. Selain dilema itu, Turki juga harus mengadapi masalah 180,000 pengungsi yang melarikan diri dari Kobane. Semua kombinasi mematikan itu dapat lepas kendali dan menjadi kobaran api yang sulit dipadamkan oleh wibawa Erdogan.

(MK/BBC)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *