Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 08 April 2014

Tukang Obat dan Kampanye Caleg di Sinema Kita


foto:shelf3d.com

RITUAL lima tahunan itu kembali datang. Inilah musimnya para caleg menjual mimpi dan harapan kepada massa. “Pilih saya! Pilih saya!” ujar mereka. Kita, para pemilih, tak mengenal sebagian besar dari mereka yang mukanya terpampang di surat suara dapil itu. Sebagian dari kita merasa trauma karena pengalaman pahit yang mereka alami: para caleg itu, setelah terpilih, tak menepati janji, malah tak sedikit yang korupsi.

Dan saya pun teringat sebuah profesi unik: tukang obat keliling.  Masa sekarang, profesi ini sepertinya sudah makin jarang terlihat. Tapi, di masa lalu tak jauh dari sekarang, tukang obat ini adalah orang yang sangat pandai berpidato dan mendongeng. Kata-katanya menyihir orang-orang yang tak mengenalnya. Orang-orang secara acak tak terencana berkerumun dan tersihir oleh ucapan-ucapannya, kadang ada pertunjukan  yang mempesona, di antaranya atraksi ular. Dan pada akhirnya orang-orang itu ditawarkan produk dan dirayu untuk membeli barang jualannya, tentu dengan berbagai uji coba. Dan kita umumnya mengenal jenis pekerjaan ini sebagai tukang kibul.

Dalam film nasional,  profesi tukang obat rata-rata digambarkan sebagai karakter yang  buruk. Kecuali di Untuk Rena (saya belum menonton Desa di Kaki Bukit),  karakter ini digambarkan sebagai tukanng ngibul yang pintar ngomong, obral janji, dan merebut hati orang banyak untuk kepentingannya sendiri. Kita bisa melihat jejaknya di film seperti Benyamin Tukang Ngibul (Nawi Ismail, 1975), Cinta Setaman (Harry Dagoe Suharyadi 2008), dan Tamu Agung (Usmar Ismail 1955). Sedangkan di Pasir Berbisik (Nan Achnas  2001), sosok ayah yang dukun obat itu  menghilang tanpa tanggung jawab, tapi tidak begitu jelas apakah itu ada kaitannya dengan pekerjaannya.

Dalam Benyamin Tukang Ngibul, dari judulnya kita sudah tahu arah film ini. Khusus untuk pekerjaan pedagang obat, Benyamin Sueb punya lagunya, Tukang Obat:

Ayo cepet kalau mau beli
Saye dateng setahun sekali
Obat ini manjur sekali
Kalau bohong uang kembali
Tidak beli pasti rugi.

Ayo cepet-cepet jangan sampai kehabisan
Obat sangat terbatas.

Eh yang kendor jadi kenceng
Eh yang kenceng jadi sehat
Eh yang sehat jadi kuat
Eh yang kuat jadi kenceng
Berkat minum ini obat.

Cepet cepet cepet persediaan terbatas.

 Saya kira, walau filmnya tak ada hubungannya secara langsung dengan pemilu dan janji kosong para caleg, tapi tentu bisa menjadi metafora kampanye para jurkam yang sekarang sedang hangat-hangatnya bersemangat mendapatkan suara.

Di Cinta Setaman, tukang obat hadir di ujung film, yang oleh kritikus Leila Chudori disebut sebagai adegan usus buntu alias takkan mempengaruhi cerita jika adegan itu dipotong.Kali ini, ada sedikit sentuhan politik. Dan sekilas, ia punya idealisme yang kuat untuk perbaikan ke arah yang lebih baik. Simak celotehannya:

“Bapak bapak ibu, inilah kenyataaannya negeri kita ini. Untuk anak-anak  kita sekolah saja sudah sulit. Apalagi kita harus bayar mahal. Lalu siapa mafianya di negeri ini, coba?Apalagi ngomongin soal fasilitas kesehatan masyarakat. Tak ada itu. Mal dimana-mana, jalanan macet. Untuk siapa dan untuk masyarakat yang mana? Lalu siapa mafianya? Siapa coba?…”

Kritik pedas itu pada awalnya memang terkesan berani, tajam, dan menukik.  Tapi silahkan lihat omongannya setelah itu:

“Tapi jangan pusing lagi bapak-bapak  ibu-ibu. Selama masih ada saya di sini. Saya menyiapkan obat-obatan dari lintah, ular, dan rempah-rempah. Agar bapak-bapak sehat segar bugar…..Demi manfaat orang banyak, saya pantang takut dari mafia yang membuat negeri kita yang kaya raya gemah ripah loh jinawi ini menjadi bangkrut…”

Akhirnya ketahuan juga ujung muaranya: “beli obat saya!”. Dan, setelah monolog itu, polisi pun datang menggerebek, dan si pedagang obat, yang diperankan oleh Johny Iskandar (dedengkot Orkes Moral Pengantar Minum Racun)  pun kabur, lantaran ia tak punya izin praktik.

Tapi, film yang benar-benar menyandingkan profesi tukang obat dengan politikus adalah Tamu Agung. Di menjelang Pemilu 1955, Usmar muncul dengan genre yang baru dia eksplorasi: komedi! Diadaptasi dari karya The Inspector General karya Nikolay Gogol, film ini mengkritik dengan pedas namun dikemas dengan gaya menghibur-terkadang slapstick-dan membuat penonton mentertawai diri sendiri. Ia tak bicara soal pemilu dan caleg secara langsung, memang.  Lebih dari itu, Ia bicara, dengan penuh satir,  tentang orang nomor satu negeri ini pada masa itu: Bung Karno. Ya, Usmar tengah mengejek Sukarno, tapi dengan lelucon yang cerdas, yang bahkan—menurut kesaksian anak buah Usmar; Djadug Djayakusuma yang diceritakan kepada akademisi Monash University David Hanan—sang obyek olok-olok pun menyukainya, walau pun ada yang bilang tak sedikit dari pejabat pemerintah yang tak suka. William Van der Heide, penulis buku Malaysian Cinema, Asian Film, menyatakan bahwa film ini sarat dengan kritik anti-korupsi di kalangan pemerintah dan partai politik. Dan tukang obat adalah salah satu elemen metafora yang sempurna.

Film Komedi Terbaik di Festival Film Asia 1956 ini  berkisah tentang penduduk Desa Sukaslamet, mereka menanti-nanti sang pemimpin, sang Tamu Agung, untuk menyambangi dusun mereka dan pada akhirnya mendapat perhatian Pusat dan dapat kucuran bantuan. Sang Tamu Agung itu sudah berkunjung ke banyak tempat, kecuali ke kampung mereka. Akhirnya, ada orang yang separtai dengannya yang sukarela hendak mendatanginya. Akhirnya, pergilah sang warga ini ke kota, namun rupanya sulit juga Istana ia dekati, dan ia pun, sebagai seseorang dari desa terpencil, agak bingung dan kikuk dengan budaya perkotaan. Kala itulah ia bertemu dengan tukang obat—yang sedang menjajakan tonik penumbuh rambut “manjur”, yang belakangan diketahui palsu–yang sedang sial, karena kerumunan yang sedang ia kibuli bubar karena hendak mengelu-elukan sang pemimpin yang melewati jalan itu. Mengingat dandanan dan cara berpidatonya mirip, serta tak ingin mengecewakan penduduk di desanya, maka ia pun meminta sang tukang obat menjadi Tamu Agung.

Maka, orang-orang, dengan berbagai kepentingan mendatangi sang “Ratu Adil” gadungan itu. Awalnya si dukun obat begitu menikmati permainan itu, karena ia berada di puncak kekuasaan, didengar, dilayani. Ia tak lagi hidup sengsara sebagai tukang obat yang acap diusir. Dan kepiawaiannya mendongeng dan berbohong mendukung sandiwara itu. Namun, lama kelamaan ia pun keteteran.

Film yang bisa ditonton di Sinematek Indonesia ini sebenarnya gagal dari segi komersil, namun disukai kritikus film saat itu. Dan agaknya, jadwal edar di tahun yang sama– dirilis  21 Mei 1955, 4 bulan sebelum pemilu untuk memilih anggota MPR—ia bisa bisa menjadi amunisi kritik politik yang jitu. Namun, dengan pendekatan komedi, obyek kritik tak terlalu merasa ditonjok, mungkin lebih seperti tersentil dan tergelitik. Dan, karakter “tukang obat” tentu adalah tokoh yang bisa dieksplorasi dengan komedi satir.

 

*) Ekky Imanjaya adalah dosen tetap School of Media and Communication, BINUS Internasional, Universitas Bina Nusantara, Jakarta. Salah satu pendiri  sekaligus redaktur rumahfilm.org  itu kini sedang menempuh studi S3 di bidang Kajian Film di University of East Anglia, Norwich, Inggris

Sumber: Islam Indonesia

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *