Toleransi Beragama di Sulut Dibahas di Jerman
islamindonesia.id – Toleransi Beragama di Sulut Dibahas di Jerman
Dilansir dari dw.com, dalam sebuah acara diskusi yang diselenggarakan di Institut Asia-Afrika (AAI), Universitas Hamburg, Jerman (30/6), toleransi kehidupan beragama di Indonesia menjadi sorotan. Diskusi tersebut mengambil tema: Contoh Kehidupan Beragama dari Sulawesi Utara dan Peluang Kerjasama Indonesia-Jerman Dalam Bidang Pendidikan Vokasi.
Acara yang dihadiri masyarakat, ilmuwan, dan kalangan mahasiswa di Hamburg itu terlaksana atas kerjasama antara Ikatan Ahli dan Sarjana Indonesia di Jerman (IASI) dan AAI Universitas Hamburg, dengan dukungan dari Konsulat Jenderal RI di Hamburg dan Kedutaan Besar RI di Berlin.
Arif Havas Oegroseno, Duta Besar Republik Indonesia untuk Jerman, yang juga hadir di lokasi memaparkan tentang peluang dan tantangan kerjasama bilateral dalam pendidikan kejuruan/vokasi yang menjadi salah satu titik berat pemerintah Indonesia saat ini.
Sementara itu, hadir juga Rektor Universitas Kristen Indonesia Tomohon (UKIT) Dr. Richard AD Siwu Ph.D dan Prof. Dr. Margaretha Liwoso dari Universitas Samratulangi, Manado. Mereka berdua memaparkan tentang dinamika kehidupan umat beragama di Sulawesi Utara (Sulut) yang dikenal sangat rukun dengan mottonya “Torang Samua Basudara” (Kita Semua Bersaudara).
Hubungan Toleransi dengan Kesejahteraan Masyarakat
Mu’ammar Zayn Qadafy, mahasiswa Indonesia yang saat ini sedang melanjutkan studi Agama Islam di Universitas Freiburg menjelaskan perspektif Islam tentang toleransi dan kehidupan beragama. Dia menerangkan perbedaan antara pendekatan “tekstual” dan “kontekstual” atas Kitab Suci al-Quran yang sangat berperan dalam sikap toleransi maupun berkembangnya radikalisme.
“Politisasi agama yang sedang berlangsung di Indonesia memanfaatkan pendekatan tekstual yang mengabaikan konteks”, papar Mu’ammar Zayn Qadafi. Padahal “Indonesia adalah rumah bagi semua penduduk Indonesia”, ujarnya.
Rektor UKIT Dr. Richard Siwu menggaris bawahi pentingnya membangun kerukunan umat beragama pada masyarakat multikultural seperti di Indonesia dan apa saja prasyaratnya. Sementara Prof. Dr. Margaretha Liwoso menggambarkan bagaimana proyek-proyek kerjasama pada tingkat masyarakat bisa membantu memperbaiki kesejahteraan bersama, yang pada gilirannya membangun kerukunan dan toleransi.
Konsul Jenderal Indonesia Bambang Susanto menyatakan gembira dengan banyaknya kegiatan masyarakat Indonesia di Hamburg, terutama berbagai kegiatan di Universitas Hamburg. “Ini yang ingin kita galakkan”, tandasnya. Keberadaan Institut Asia-Afrika di Hamburg, yang juga memiliki jurusan Bahasa Indonesia, memang sangat strategis, tambahnya.
Sulut memang sudah sejak lama menjadi contoh keberagaman dan toleransi kehidupan beragama di Indonesia. Dilansir dari manadonews.co.id, dalam kesempatan yang berbeda, Pdt Hendry Runtuwene mengatakan, nilai kerukunan antar umat beragama di Sulut telah diakui se-Indonesia bahkan dunia internasional. Kata dia, hal ini bukanlah hanya klaim semata, karena banyak lembaga-lembaga kredibel yang telah turun langsung melakukan penilitian di Kota Manado dan sekitarnya.
“Ini menjadi kebanggaan bersama masyarakat Sulut secara keseluruhan. Dimana semua suku dan agama saling mengasihi dan menyayangi dalam kehidupan sehari-hari. Dan menurut saya jarang akan mendapati daerah yang setoleran seperti Sulut yang kita cintai ini, ” kata Runtuwene.
Sementara itu akademisi Muslim Dr. Taufik Pasiak mengungkapkan, hanya masyarakat di Sulut yang sungguh-sungguh menjunjung tinggi nilai toleransi, dan itu dapat dijadikan sebagai tolak ukur. “Mungkin tidak akan ditemukan di daerah lain yang corak masyarakatnya semajemuk disini,” ungkap Taufik.
PH/IslamIndonesia
Leave a Reply