Tentang Ibu (dan Ayah)
Suatu pagi kakak saya telepon dari kampung. Ia mengeluhkan soal ibu dan ayah kami yang sering mulai bertingkah aneh dan kadang menjengkelkan. Permintaan mereka banyak, dan kalau tidak dilaksanakan mereka sering ngambek,katanya. “ Mereka bukan seperti orangtua saja…” ujar kakak saya. Sesungguhnya saya mafhum dengan apa yang dikeluhkannya. Ibu dan Ayah memang sering membuat kami kadang “frustasi” dengan segala permintaannya. Saat menyampaiakan itu semua tak jarang omongan dan tingkah mereka bikin kami merasa “senewen” sendiri.
Beberapa menit kemudian, perbincangan di hp-pun berakhir. Saya menghela nafas, meletakan hp di meja dan duduk di ruang tamu, coba memikirkan kata-kata apa yang harus saya lontarkan supaya ibu dan ayah tidak berlaku demikian kepada kami. Rasanya capek juga hati ini. Sehari-hari kami harus bekerja dan mengurusi persoalan masing-masing lalu haruskah pula dipusingkan dengan prilaku orangtua kami. Kenapa mereka enggak mau ngerti, gugat hati saya.
Tiba-tiba saya mendengar suara bocah kecil menangis di luar. Saya bergegas ke pintu dan melihat seorang bocah terjatuh dan tengah dibangunkan oleh ibunya. Sang ibu dengan rasa sayang memeluknya sambil melontarkan kata-kata bujukan yang lembut. Usai tangisan reda, ia pun kembali berjalan sambil memangku anaknya tersebut yang tak henti-hentinya ia bujuk untuk berhenti menangis seraya ia ciumi.
Saya terdiam melihat pemandangan itu. Rasanya saya pernah menjadi bocah itu. Sekitar tiga puluh tahun yang lalu secara tak sengaja saya pernah jatuh dari angkutan kota (ketika akan turun) dan merasakan sakit yang sangat hingga menjerit-jerit dalam tangis. Saya ingat, ibu lantas memangku saya, memeluk lalu mengatakan hal-hal yang manis kepada saya. “ Ayolah, jagoan. Anak pinter, sudahlah jangan menangis…”ujar ibu saya sambil tersenyum. Saya luluh dengan kata-kata dan senyuman itu, lalu diam dalam isak yang masih tertahan.
Seperti kepada Ibu, tentang Ayah sayapun mengingat hal-hal yang indah. Kendati tentunya mereka bukan Raja dan Ratu seperti yang kerap say abaca dalam dongeng-dongeng majalah Si Kuncung dan Bobo, saya menjadi saksi mereka itu adalah dua manusia terbaik pad awal-awal hidup saya. Merekalah yang mengantarkan saya sekolah untuk pertama kali, memandikan, menyuapi makan, member i uang jajan dan membelikan tiap tahun baju baru. Memang tidak berlebihan, karena kami hanya sebuah keluarga sederhana. Tapi rasanya lebih dari cukup saat itu.
Pastinya sebelum kami mengingat gambaran akan hidup sehari-hari, sebelum otak kami melek akan indah dan buramnya dunia, mereka jauh lebih sibuk lagi mengurus kami. Ibu mengandung kami, melahirkan kami, memberikan air susunya lalu merapalkan doa-doanya untuk kami di sela-sela waktunya. Begitu juga ayah, ia tanpa lelah mencari nafkah dan menghibur kami untuk menjadikan kami mengenang masa-masa kecil kami begitu indah.
Sungguh benar kata sebuah hadits, betapa tak akan pernah seorang manusia bisa membalas semua jasa ayah dan ibunya kendati ia memberikan dunia dan seisinya kepada mereka berdua. Lantas apa artinya keluhan kami hari ini? Jika mereka dulu mengikhlaskan diri untuk kami dan selalu maklum atas segala tingkah polah kami waktu itu, kenapa kami tidak bisa melakukan hal yang sama hari ini kepada mereka?
Umur manusia terus bertambah. Konon semakin tua manusia, maka ia semakin mendekati kembali masa kecilnya. Ibu dan Ayah saya sekarang sedang bergerak kembali menjadi anak kecil. Tingkah mereka menjengkelkan, kata-kata mereka kadang menyakitkan, tapi di lain pihak mereka pun sensitif dan mudah tersinggung. Tapi bukankah memang begitu anak kecil?
Saya menghela nafas kembali. Ya, sepertinya kini giliran kami menjadi orangtua, bukan saja untuk anak-anak kami tapi juga untuk ibu dan ayah kami. Jadi kini giliran kami memaklumi ini semua. Sebenarnya tidak ada yang aneh karena siklus itu sudah berjalan sejak jutaan bahkan milyaran tahun yang lalu. Cuma kadang kita dibutakan saja oleh ego kita sendiri. Padahal (jika kita tak mati muda) kita pun akan menjadi orang tua dan kembali menemui masa-masa kecil kita…(hendijo)
*Penulis tinggal di Jakarta
Leave a Reply