Satu Islam Untuk Semua

Monday, 06 January 2014

Tempat Hatta Mengenal Dunia


Rumah tempat kelahiran Mohammad Hatta di Bukittinggi. Sekarang menjadi Museum Hatta (foto:panoramio.com)

”Terletak di pinggir jalan raya yang diapit sawah-sawah hijau, rumah kami bertingkat dua, terbuat dari papan dan atap seng. Dari situ kami dapat menikmati pemandangan yang indah atas gunung sejoli: Marapi dan Singgalang, seolah keduanya berdiri sedang berbimbing tangan…” (Mohammad Hatta dalam Memoir).

Seratus tahun yang lalu, bisa jadi Hatta benar saat melukiskan tentang situasi rumahnya.Tapi cobalah tengok sekarang. Selain tak ada lagi sawah-sawah hijau, lingkungan rumah kelahiran sang proklamator itu sudah dipenuhi oleh bangunan berbeton dan toko-toko kelontongan. 

Bukan hanya itu, akses menuju rumahnya yang dari arah Pasar Banto, sungguh sangat rumit. Di sana, kumpulan angkutan kota bergerak lambat tak beraturan, suara bising klakson dan teriakan para pedagang, bersatu padu membentuk gelombang bunyi yang sangat tidak nyaman di telinga. Belum lagi bau sayur mayur busuk yang menyengat alat penciuman bersanding dengan debu-debu jalanan yang bergerak tak tentu arah. 

Di Jalan Soekarno-Hatta No.37 Bukittinggi, terletak rumah yang diceritakan Hatta tersebut. Kendati sudah tua, namun bangunan bertingkat dua dengan cat berwarna abu-abu itu, terlihat masih terawat baik. Menurut Desy, sejak pemerintah Bukittinggi dan Yayasan Pendidikan Bung Hatta merenovasi bangunan tempat Hatta pernah tinggal, kondisinya memang jadi relatif baik. ”Setidaknya perawatan bisa dilakukan setiap hari,”ujar pemandu di Museum Hatta itu. 

Banyak benda-benda kenangan peninggalan Hatta yang bisa dilihat di dalam bangunan itu. Salah satunya yang menarik adalah sehelai pakaian kusam berwarna kecoklatan milik Hatta. Memasuki ruang depan, kita bisa menyaksikan potret-potret tua berbagai ukuran, memenuhi dinding. Silsilah keluarga Hatta turut pula dipajang, diapit potret Saleh Sutan Sinaro, pamannya, dan Saleha, ibunya, di dinding utara. Salinan pidato Wakil Presiden Adam Malik saat pemakaman Bung Hatta pada 15 Maret 1980, salinan teks proklamasi dan teks asli bertulis tangan yang penuh coretan terpampang di dinding selatan

Masuk ke ruang makan, ada sebuah tangga yang menghubungkan lantai bawah dengan lantai atas. Tepat dibawah tangga, sebuah meja makan dari kayu jati terhampar. Di atasnya terlihat berbagai benda–benda zaman dulu seperti piring almunium, sukat padi, teko kuno bercorak hijau, gantang beras, dan tudung saji. Di bagian belakang terdapat dua lumbung padi, dan sederet ruangan yang sepertinya berfungsi sebagai dapur, kamar mandi dan tempat menyimpan bugi (sejenis bendi kecil yang ditarik seekor kuda) serta sepeda ontel. 

Kesan tak terawat terpancar dari ruangan lantai dua. Selain penerangan sangat minim, benda-benda tua bersejarah peninggalan keluarga Hatta seperti sandal kayu, dua garpu besar, bokor tempat sirih, tergeletak begitu saja. Terdapat dua buah kamar di ruangan itu. Kamar pertama menghadap ke timur dan yang satunya menghadap ke arah barat. Di kamar yang disebut terakhir itu, terdapat sebuah ranjang ukir kayu, tempat manusia Hatta pertama kali mengenal dunia. 

Bergerak ke arah depan dari ruangan atas itu, kita akan menemukan sejenis teras panjang dengan hiasan lampu-lampu teplok di kanan kirinya. Seperti yang sering ditulis dalam buku biografinya, di sinilah Hatta sering menikmati pemandangan Singgalang dan Marapi. Kini keelokan gunung sejoli itu tak penuh lagi ternikmati. Gedung-gedung yang menjulang itu sepertinya tak perduli begitu indahnya mereka.

 

Sumber: Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *