Satu Islam Untuk Semua

Monday, 17 March 2014

Tauhid dalam Hati, Potret Toleransi Kampung Jawa


www.mta.or.id

Dua hal yang paling penting dalam persahabatan adalah toleransi dan loyalitas J.K. Rowling


Ketiadaan toleransi di Indonesia kerap menjadi sumbu terjadinya konflik di berbagai daerah. Hal inilah yang mendorong sineas muda Muhammad Zen Al-Ansory untuk membuat sebuah karya yang kemudian diwujudkan dalam bentuk film.

“Ini bermula dari kegelisahan saya karena banyaknya kasus intoleransi beragama di sini. Film ini jadi koloni pertama buat saya. Ke depan dari kisah kecil keluarga, konflik akan dikembangkan ke masyarakat,” ujar Zen selepas pemutaran perdana, pada Kamis (28/02) malam di Teater Besar Institut Seni Indonesia (ISI) Solo, seperti dikutip dari Solopos.com.

Film berjudul Tauhid Dalam Hati ini mengisahkan tentang sebuah keluarga kecil yang memiliki keimanan yang berbeda. Sang kepala keluarga, Joko, menjalankan kepercayaan kejawen. Sementara istri dan kedua putrinya, Unna dan Ruqoyah, taat menjalankan ajaran agama Islam.

Suatu ketika, Joko tampak kesal saat istrinya yang ia panggil tak kunjung menyahut. Lelaki yang bekerja sebagai tukan kayu ini pun kemudian menyambangi istrinya yang sedang mencuci piring sambil mendengarkan radio dakwah Majelis Tafsir Alquran (MTA).

 “Bu, dari tadi dipanggil kok tidak menyahut. Ini ari-ari [placenta] Ruqoyah kenapa enggap pernah dirawat? Ari-ari ini kan saudara keempat Ruqoyah. Oh iya, besok kan Jumat Pahing, besok kamu buatkan sesaji,” ujar Joko ketus kepada sang istri.

Enggan berlama-lama marah, Joko kemudian berlalu ke depan rumah dan mencari kesenangan dengan memandikan burung perkutut peliharaannya. “Sudahlah Pak, burung terus yang diurusi. La wong burung saja enggak ada yang merawat ari-ari-nya, masih hidup. Memangnya kalau punya manusia terinjak, ikut mati juga?” kata Bu Joko tak kalah ketus.

“Bapak bingung dengan kamu sama yang lain yang percaya sama radio. Apa bapak harus siaran lewat radio juga biar kamu percaya. Bapak takut kalian pada tersesat,” ujar Joko menanggapi perilaku istrinya.

Sejak perbincangan keluarga tersebut, keluarga Joko diselimuti perang dingin. Riak kecil di rumah tangga tersebut terus bergulir. Sang kepala rumah tangga itu pun memilih berangkat kerja lebih pagi dibanding biasanya.

Hingga suatu ketika, Joko tak tahan dengan perang kecil dalam rumah tangganya. Dalam diam, Joko pulang dan langsung membanting radio yang sedang didengarkan istri dan anak-anaknya di dapur. Rumah pun senyap tanpa perbincangan dan siaran radio dakwah yang telah menjadi bagian dari keseharian mereka.

Joko akhirnya mengayuh sepedanya ke kota untuk menyambangi ustadz pimpinan MTA. Di sana ia mendapatkan pencerahan mengenai toleransi beragama yang sudah ratusan tahun menjadi bagian dari keseharian masyarakat. Joko pun pulang membawa radio baru disambut keluarganya.

Film berdurasi 51 menit ini sengaja dibuat dengan akhir yang menggantung. Film yang dibuat sebagai bagian dari tugas akhir sarjana Anshori ini bakal dibuat sekuelnya. Sedangkan film ini, Zen mengatakan akan diputar di beberapa daerah di Indonesia dan ambil bagian dalam beberapa festival film.

“Rencananya ke beberapa kota. Saya juga kerja sama dengan MTA, kemungkinan akan diputar di beberapa cabangnya. Selain itu, saya ingin ikutkan film ini di FFI [Festival Film Indonesia] dan festival lain di luar negeri,” ujarnya.

Salah seorang penonton, Siti Nuraini, 21, mengatakan film bertema pluralisme ini meninggalkan kesan yang kuat bagi penontonnya. “Konflik semacam ini menggambarkan realitas di beberapa daerah kita. Film sederhana ini memberikan dampak besar bagi penontonnya,” ujar mahasiswi UNS Solo tersebut.

 

Sumber: Solopos

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *