Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 26 February 2014

Tasawwuf, Mengembalikan Cinta yang Hilang


ROL

Apa itu tasawwuf?

 

Kehadiran tasawwuf di tengah kehidupan masyarakat menuai pro dan kontra. Kasus terakhir yang terjadi di Indonesia terkait penolakan tasawwuf ini terjadi di Kecamatan Bulukumpa, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Pengajian hikmah dituding sebagai salah satu biang keladi atas tasawwuf.

Lantas, apa sebenarnya tasawwuf?

Muhammad bin Ali Kattany mengatakan, “Tasawwuf adalah akhlak yang baik. Maka siapa yang melebihimu dalam akhlak yang baik, berarti ia melebihimu dalam tasawwuf.”

Sehingga, ukuran orang yang bertasawwuf atau bukan, bila dilihat dari pendapat ini, maka merujuk pada akhlak. Tidak mengenal berapa usia si pelaku, jika memang memiliki akhlak yang baik dan sesuai nilai-nilai ilahiah, maka dialah sesungguhnya yang disebut sufi.

Bahkan Imam Al Ghazali dalam Disciplining the Soul mengatakan, “Inti dari agama adalah akhlak. Karenanya, jika akhlak manusia sempurna, dia berhak menjadi wakil Tuhan di dunia ini.”

Betapa pentingnya perihal akhlak, hingga Rasul Saw. pun diutus ke muka bumi ini tiada lain untuk mengurus masalah akhlak, “Sesungguhnya, tidaklah aku diutus kecuali untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.”

Ibn Ajiba menjelaskan, “Jalan tasawwuf awalnya adalah ilmu, tengahnya amal. Dan ujungnya karunia Ilahi (berupa penyingkapan hakikat).”

Akhlak yang baik dan sempurna mustahil tanpa dibarengi dengan ilmu dan amal. Karenanya, Ibn Ajiba menenmpatkan ilmu dalam urutan pertama ketika ingin menggapai hakikat—yang merupakan harapan setiap insan yang bertasawwuf.

Menurut Abul Hasan Syadzili, tasawwuf adalah, “Praktik dan latihan diri melalui cinta dan penghambaan yang mendalam untuk mengembalikan diri ke jalan Tuhan”

Imam Al-Suyuthi menjelaskan,“Orang-orang yang layak disebut sufi adalah mereka yang terus-menerus berupaya memelihara ketulusan kepada Allah dan berakhlak baik kepada makhluk.”

Al Hallaj mengatakan, “Batin al-Haqq punya zhahir, yakni syariat. Siapa cari hakikat melalui syariat, akan tersingkap baginya batin syariat, yakni ma‘rifat.”

Imam Nawawi menjelaskan, “Seorang sufi adalah mereka yang memelihara kehadiran Allah di dalam hatinya, menaati Nabi Saw., menghindari ketergantungan kepada orang, dan mensyukuri karunia-Nya meski sedikit.”

Imam Syafii memberi nasihat,“Jadilah pelaku fiqih dan pejalan sufi. Jangan hanya jadi salah satunya.”

Bayazid Busthami menambahkan, “Jangan terkelabui oleh pelaku mukjizat yang mampu terbang di udara. Tapi nilailah berdasar ketaatannya pada syariah.”

Abu Nashr Sarraj sempat bertanya pada Ali al-Hushry, Siapakah sufi itu?’ Dia menjawab, ‘sufi, dialah yang tak dibawa bumi dan tak dinaungi langit. Maksudnya, sufi alami fana.”

Junayd al-Baghdadi menjelaskan, “Sufi seperti bumi, diinjak orang saleh & pendosa; seperti mendung, memayungi segalanya; seperti hujan, mengairi semuanya”

Ahmad an-Nury memberikan gambaran, “Tanda sufi adalah ia yang rela ketika tidak punya, dan peduli pada orang lain ketika punya.”

Maka, dalam hal ini menjadi jelaslah bahwa tasawwuf merupakan salah satu jalan atau cara manusia guna menuju Tuhan—baik secara individu maupun kelompok. Namun, yang terpenting dalam tasawwuf, sesugguhnya adalah terkait dengan akhlak—yang kemudian dapat mengembalikan nilai-nilai keilahian—yang penuh toleran—penuh cinta, penuh kasih sayang, saling membantu, dan menjadi gerakan bersama yang bermanfaat bagi sesama makhluk—yang kerap hilang akibat disibukkan oleh berbagai urusan dunia.

Sehingga, belum dikatakan sufi bila hatinya tidak tergerak untuk segera membantu tetangganya sesama penduduk bumi yang sedang kelaparan. Atau, belum juga dikatakan sufi, bila ia melupakan nilai-nilai kemanusiaan dan mengedepankan egonya. Wallahu a’lam bishawab.

 

Disarikan dari kultweet Haidar Bagir (dengan penambahan seperlunya).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *