Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 11 May 2017

TANGGAPAN–Haidar Bagir Menjawab Para Penolak “Islam Tuhan, Islam Manusia”


islamindonesia.id–TANGGAPAN–Haidar Bagir Menjawab Para Penolak “Islam Tuhan, Islam Manusia”

haidar bagir

Catatan pembuka:

Hari ini akan ada bedah buku saya di sebuah masjid, di Solo. Karena saya tak mungkin hadir, maka saya mengirimkan makalah pendek kepada panitia lewat media sosial (sosmed). Semoga saja sampai. Makalah ini semata-mata menjawab apa yang saya dengar-dengar merupakan (sebagian) keberatan para penolak acara bedah buku saya di IAIN Surakarta, 9 Mei silam, yang saya bisa serap dari sebuah tulisan di FB dan komentar salah seorang dari mereka di media massa yang kebetulan—atau tidak kebetulan?—keduanya sama.

Sebetulnya, setidaknya sudah di 3 UIN/IAIN/STAIN saya memaparkan isi buku terbaru saya: “Islam Tuhan, Islam Manusia. Tapi baru di Solo bedah buku tersebut mendapatkan penolakan. Apa alasannya? Karena buku tersebut adalah bagian dari dakwah Syiah saya. Dakwah Syiah? Serius?

Jika dipandang dari perspektif saya sebagai penulis, yang sebenarnya justru sebaliknya dari itu: buku ini adalah ajakan untuk berdialog, ajakan untuk tidak menganggap pandangan kita sebagai benar sendiri, dan ajakan agar kita menghargai pendapat orang atau kelompok lain. Jadi, jauh dari dakwah kepada suatu kelompok atau mazhab, dalam buku ini saya berusaha meyakinkan pembaca bahwa setiap kelompok atau mazhab justru harus mau mendengar, mengapresiasi bahkan—jika memungkinkan—mengakomodasi pandangan kelompok atau mazhab lain yang dianggapnya sebagai benar ke dalam matriks pandangannya sendiri.

Lagipula, ini adalah sebuah buku yang membahas berbagai masalah umat manusia modern, menggali berbagai sumber daya, kejeniusan, dan pendekatan kemanusiaan untuk menjadi sarana pemecahan masalah-masalah tersebut. Di dalamnya ada pembahasan tentang akal dan spiritualitas, hermeneutika, dan posmodernisme. Lalu ada berbagai isu dialog intra-Islam serta antar-Islam dan peradaban, agama-agama lain, serta budaya lokal. Puncaknya adalah penawaran solusi untuk memecahkan problem-problem kemanusiaan tersebut dengan mengembalikan fungsi agama sebagai spiritualitas dan sumber cinta-kasih. Hanya kesempitan pemikiran luar biasa yang bisa melahirkan tuduhan bahwa buku ini hanyalah mengurusi fanatisme sektarian. Memang, orang yang terkungkung dalam kesempitan hanya bisa melihat sesuatu yang sempit.

Seperti saya tulis di Pengantar buku Islam Tuhan, Islam Manusia, buku ini—yakni tulisan-tulisan yang diseleksi dalam buku ini—lahir dari keprihatinan akan kacaunya kondisi Dunia Islam belakangan ini, termasuk di dalamnya kondisi kaum Muslim di negeri kita. Betapa dunia Islam di Timur Tengah cakar-cakaran sendiri karena—meski bukan tak ada manipulasi tangan-tangan kotor—fanatik dengan pandangan kelompoknya sendiri, seraya menyesatkan atau mengafirkan kelompok Muslim lainnya. Baik itu antar kelompok di kalangan yang biasa disebut Suni, atau antara kelompok Ahlus-Sunah wal Jamaah dengan kelompok yang menyebut diri mereka sebagai kaum Salafi. Terlebih lagi, antara kelompok Suni dan kelompok Syiah. Tak ada seorang pun yang bisa gagal untuk melihat betapa isu konflik Sunah-Syiah telah dijadikan alasan bagi kedua kelompok ini untuk bahkan berperang, saling bunuh, dan saling menghancurkan satu sama lain. Kita lihat dahsyatnya akibat konflik-konflik sektarian ini di Suriah, Irak, Yaman, juga (secara potensial) Bahrain, dan sebelumnya Afganistan, bahkan juga di Saudi Arabia. Meski tak sampai berakibat pecahnya perang saudara, konflik sejenis telah memakan banyak korban di Pakistan, juga di Nigeria, dan tempat-tempat lain.

Nah, betapa mirisnya kita ketika melihat adanya tanda-tanda yang kuat bahwa konflik ini sedang digoreng di negeri kita. Relakah kita sebagai bangsa Indonesia melihat hal ini? Tentu saja tidak. Dalam kerangka inilah, yakni dalam rangka mendorong iklim keterbukaan dan toleransi di kalangan internal umat Islam dari berbagai kelompok, dan mengembangkan dialog, seraya menciptakan kesalingpahaman, buku Islam Tuhan, Islam Manusia digagas.

Meski saya hampir yakin bahwa motifnya adalah persis fanatisme kekelompokan yang saya uraikan di atas, tapi saya tetap mencoba memahami alasan resmi di balik asumsi bahwa buku ini adalah alat dakwah Syiah.

Saya ditengarai, dalam salah satu bab dalam buku itu yang berjudul “Takfirisme”, telah bermaksud membela Syiah dari kesesatannya, dengan menuduh kelompok anti-Syiah sebagai berkecenderungan takfiri. Dan itu saya lakukan dengan cara sembarangan melalui “tuduhan” bahwa sumber kecenderungan takfirisme ini bisa dibaca sebagai bermula dari Ibn Taymiyah. Saya merasa bahwa hal ini telah dilihat sebagai tindakan membela bahkan mendakwahkan Syiah dan, pada saat yang sama, mengecam Ibn Taymiyah—yang, tak pelak—adalah idola kelompok ini. Dikatakan bahwa saya entah tak paham atau tak jujur ketika melontarkan pernyataan itu.

Baiklah, dengan segala hormat dan apresiasi terhadap kritik itu, saya sampaikan penjelasan saya.

Pertama, pernyataan yang saya tulis terkait dengan Syaikhul Islam Ibn Taymiyah itu bukanlah pernyataan saya, melainkan pernyataan Syaikh Hasan Farhan al-Maliki, seorang ulama Saudi Arabia yang nota bene adalah mantan Salafi yang kemudian menjadi pengamat dan kritikus Salafiah. Dan saya menjadikan penelitian tersebut sebagai salah satu latar belakang analisis saya mengenai fenomena takfirisme ini. Bantahan para penolak acara bedah buku saya tersebut didukung dengan argumentasi bahwa, sebaliknya dari mudah mengafirkan, Ibn Taymiyah adalah seorang ulama yang sangat berhati-hati dalam menasihati kaum Muslim agar tak mudah mengafirkan orang atau kelompok Muslim. Bukan saja saya tahu tentang soal ini, bahkan pandangan Ibn Taymiyah ini saya kutip juga dalam salah satu bab buku Islam Tuhan, Islam Manusia yang jadi sorotan itu. Dalam bab itu, pandangan Ibn Taymiyah itu saya jadikan salah satu dasar untuk menyatakan bahwa pengafiran tak bisa dilakukan sebelum tegaknya hujjah (qiyamul hujjah) (Lihat, “Non-Muslim Tak Identik dengan Kafir”, Islam Tuhan, Islam Manusia, catatan kaki no.7)

Kedua, yang perlu dipahami bahwa, dalam kehati-hatian teoretis Ibn Taymiyah itu, pada praktiknya—sebagaimana juga dianalisis oleh Syaikh Hasan Farhan al-Maliki dalam berbagai tulisannya—Ibn Taymiyah memang mudah mengafirkan orang atau kelompok lain yang tak sejalan dengan pandangan-pandangannya. Baik itu, menurut pandangan Ibn Taymiyah sendiri, berupa takfir muthlaq (umum, tanpa menyebut nama), atau pun takfir mu’ayyan (dengan menyebut nama orang atau nama kelompok). Di bawah ini sebagian contohnya.

Pertama, dalam bentuk takfir muthlaq.

Barang siapa mengatakan bahwa ia mukmin, maka ia telah kafir! Dan barang siapa berkata bahwa ia di surga, maka ia di neraka!” (Majmû’ Fatâwâ, 6/353)

Barangsiapa berkata bahwa Al-Quran itu makhluk, maka ia kafir!.” (Majmû’ Fatâwâ, 12/161)

Kedua, dalam hal takfir mu’ayyan, Ibn Taymiyah diketahui mengkafirkan Imam Fakhruddin al-Razi, Ibn ‘Arabi dan para murid/penerusnya – termasuk Qunawi, Kashani, dan sebagainya. Bahkan, Tilmisani disebutnya akfar (yag paling kafir). Demikian juga kelompok yang beliau tuduh Jahmiyah, juga kelompok sufi yang (beliau dakwakan) menyamakan Khaliq dan makhluq. (Lihat Majmu’ Fatawa 12/523 dan 2/490). Masih bisa ditemukan nukilan-nukilan lain sejenis ini di kitab yang sama.

Adalah benar bahwa Ibn Taymiyah menyatakan bahwa kufur memiliki berbagai tingkatan. Dan boleh jadi beliau tak memasukkan orang-orang atau kelompok-kelompok yang beliau kafirkan sebagai berarti kafir kepada ajaran Islam sebagaimana kafirnya orang-orang yang menolak agama. Boleh jadi, semua pernyataan keras itu dikeluarkan ulama besar ini terkait dengan kerasnya suasana zaman yang di dalamya beliau hidup. Kekhalifahan Islam di ambang chaos di bawah serbuan Hulagu Khan dan beliau sendiri dijebloskan ke dalam penjara. Tapi, betapa pun juga, itu adalah takfir. Dan ada kesan bahwa sementara pengikut Ibn Taymiyah mengambil preseden gurunya untuk menjadikan pengkafiran sebagai sesuatu yang enteng. Inilah yang saya kira membuat ulama seperti Syaikh Hasan prihatin dan mengeluarkan pernyataan tersebut.

Akhirnya, terkait adanya satu bab plus satu wawancara terkait Syiah dan dialog Sunah-Syiah, alasan saya memasukkan bab ini sudah saya uraikan di atas. Yakni demi meluruskan kesalah-pahaman terhadap Syiah, untuk tujuan membuat dialog yang lebih produktif dan kesalingpahaman, sehingga kedua mazhab dihindarkan dari provokasi-provokasi konflik sektarian yang makin marak belakangan ini.

 

AJ/ Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *