Satu Islam Untuk Semua

Monday, 22 December 2014

Surat Terbuka Duta Besar Rusia di Indonesia


Duta Besar Rusia untuk Indonesia Mikhail Galuzin

Kedutaan Besar Rusia di Indonesia hari ini menerbitkan sebuah surat terbuka untuk redaksi sebuah media di Jakarta, memprotes pemuatan sebuah opini yang digambarkan ‘amatiran’, ‘arogan’ dan ‘membabi-buta’ menyerang pemerintah dan rakyat Rusia. 

Ditulis langsung oleh Duta Besar Mikhail Galuzin, surat berbahasa Indonesia itu mendaftar pelbagai ‘keunggulan’ Rusia dalam berbagai bidang, dari budaya hingga perakitan reaktor nuklir dan stasiun antariksa, plus kritik Moskow atas laku lancung Amerika Serikat yang digambarkan sebagai berada di balik ‘kelompok-kelompok barbar’ yang melesakkan teror tak berkesudahan di Suriah, Irak dan Libia.

Berikut isi surat yang sampai ke redaksi Islam Indonesia: 

 

Surat ke Koran “Jakarta Post”

Setelah koran «Jakarta Post» menerbitkan artikel yang dikarang S.Richter «Minyak seperti senjata pemusnah massal: Senjata kepatuhan massal Barat?» Kedutaan Besar pada tgl. 12 November 2014 mengirim surat kepada pengeditan koran ini dengan opininya terhadap soal yang disentuh dalam artikel tersebut sebab artikel ini bersifat terus terang berat sebelah dan kalau jujur artikel ini adalah tidak benar dan menghina.

Kami terpaksa menyatakan bahwa selama sebulan setelah kami kirim surat tersebut pengeditan tidak menerbitkannya  dalam «Jakarta Post». Karena ini kami menerbitkannya di laman web Kedutaan Besar dan menyebarkannya sebagai press release.

Kami sangat menyesal bahwa salah satu dari koran yang paling terkenal di Indonesia ternyata mengikut pendekatan yang berat sebelah ini mengenai pluralism pendapat di masyarakat demokratis.  

 

 SURAT TERBUKA KEPADA PENERBIT, REDAKSI DAN PEMBACA SURAT KABAR “THE JAKARTA POST”

 

Selama dua tahun tugas saya di Indonesia sebagai Duta Besar Rusia saya selalu ketemu di surat kabar The Jakarta Post artikel-artikel, atau lebih benar kata – cetakan kembali dari artikel-artikel oleh penulis-penulis Barat mengenai negara saya. Di dalam artikel-artikel tersebut suasana di Rusia, politik dalam dan luar negeri pimpinannya, sabar kata, disoroti agak tidak obyektif dan tepat. Jujur kata, saya sudah tidak heran lagi ketidakmauan pemimpin redaksi The Jakarta Post untuk menganalisa obyektivitas dan kebenaran bahan-bahan seperti ini tanpa berprasangka serta untuk mendiversifikasikan dengan cara apapun sumber-sumbernya untuk artikel mengenai Rusia.

Namun bahkan saya yang rupanya sudah biasa dengan kebijakan redaksi The Jakarta Post terhadap Rusia telah menjadi sangat heran ketika membaca penelitian yang berprasangka yang telah dimuat di surat kabar ini pada tanggal 19 Oktober 2014 yang berjudul “Minyak sebagai senjata kepatuhan massal Barat” yang ditulis oleh seorang bernama S.Richter yang disebut sebagai penerbit dan redaktur utama The Globalist dari Washington DC.

Kayanya Bapak tersebut sudah menjadi buta dengan rasa benci terhadap kebijakan pimpinan Rusia maka dia tidak hanya hilang mampu untuk memahami kenyataan tetapi juga melupakan etika elementer dan kejujuran seorang manusia. Dengan berusaha menuduh para pemimpin Rusia atas ketidakadaan niat untuk mereformasikan negaranya untuk membuat penduduknya “warga produktif pada abad XXI”, seorang penulis ini melupakan semua batas kesopanan dan memperlihatkan ketidaktahuan sepenuhnya baik sejarah Ruisa maupun keadaan kini di negara kami.

Misalnya, pernyataannya bahwa pimpinan Rusia melaksanakan “strategi sinis untuk berkuasa dengan penyuapan” rakyatnya dengan pendapatan yang tinggi dari perjualan minyak. Atau bahwa “rakyat Rusia terjinak dengan sejarah panjang sebagai budak dari para pemimpinnya” yang akibatnya mengakarkan dalam rakyat “rasa kepasifan dan tak berpengharapan”.

Timbul pertanyaan: apakah seorang pakar ini menyadari bahwa dia berani menyatakan sebegitu arogan dan berpenghinaan mengenai sebuah bangsa yang telah memberi sumbangan dan terus memberi sumbangan yang besar dalam progress keperadaban dunia? Apakah dia menyadari bahwa dia dengan perilaku yang tidak bisa terima itu mempertimbangkan perihal negara yang melahirkan untuk dunia ini pengarang agung seperti Tolstoy dan Dostoevskiy, komponis terkemuka Chaikovskiy dan Rakhmaninov, ilmuwan yang belum pernah dilampaui Mendeleev dan Landau, bintang opera yang terkenal sedunia Shalyapin dan Obraztsova, penari balet yang unik Ulanova dan Plesetskaya? Apakah dia pernah baca bahwa rakyat ini yang dia hina telah menciptakan dan meluncurkan ke angkasa luar satelit artifisi yang pertama di dunia pada tahun 1957 abad XX, sedangakn 4 tahun kemudian pada tahun 1961 melakukan penerbangan berawak di dirgaantara dengan mengirim ke angkasa luar seorang manusia, seorang warganya Yuri Gagarin pada pertama kali di sejarah dunia? Apakah semua ini adalah ” kepasifan dan tak berpengharapan”.

Kalau membicarakan mengenai masa kini, abad XXI, kami berani mengingat S.Richter bahwa, misalnya, ada perangkat-perangkat dirgaantara berawak Rusia yang membawa angkasawan dari berbagai-bagai negara ke Stasium Dirgaantara Internasinal. Negara lain, termasuk negara yang ibukotanya menjadi markas untuk The Globalist, tidak mempunyai alat canggih seperti ini sampai sekarang pada abad XXI. Kami juga mau memperjelaskan kepada seorang pakar ini bahwa selain itu Rusia mempunyai teknologi pembangunan pembangkit tenaga listrik nuklir yang diakui di dunia sebagai paling aman dan baik. Tidak senaja Rusia lah menjadi negara yang dipercayai untuk membangun PTLN di banyak negara Eropa, Asia Tengah, Selatan dan Tenggara. Semua fakta ini berarti bahwa meskipun ada fitnah dari kepala The Globalist itu, Rusia dan warganya sangat produktif, kreatif dan mampu bersaing pada abad XXI. Dan sumber hidupnya tidak hanya minyak aja. Sedangkan cadangan untuk memperbaiki diri ada di setiap negara termasuk Rusia. Saya bisa menyatakan bahwa pimpinan Rusia membuat segala sesuatu dalam arah ini.

Pada hal kami menyadari sopan untuk menanyakan seorang peneliti ini apa maksudnya dalam istilah “produktivitas dalam zaman modern”? Bukankah kecenderungan secara sinis tanpa menghormati hukum internasional dan menggunakan standar ganda mengcampur tangan ke urusan dalam negara-negara berdaulat, memaksakan mereka untuk menerima dari luar model pengembangan sosial-ekonomi sedangkan menggunakan kuasa bersenjata melawan mereka yang tidak setuju dengan memakai segala sarana untuk membunuh orang dan memusnahkan hasil kerjanya?

Hal ini kami pernah lihat pada akhir abad XX di Yugoslavia, sedangkan pada abad XXI di Irak dan Libiya, serta sekarang kami lihatnya di Suriah. Lagi pula pelaku semua kejahatan barbar tersebut adalah satu kelopmok negara Barat yang sama yang dikepalai oleh salah satu “pelopor luar biasa” yang tidak berubah. Sayang sekali, perilaku jahat ini tertular. Dan masa kini negara-negara Barat secaraterbuka mberi rangsangan pada pimpinan Ukraina, yang memproklomasikan gerakan ke nilai-nilai Eropa, untuk menggunakanperkuatan militernya dalam skala besar melawan warga mereka sendiri di kawasan Selatan dan Timur negaranya yang tidak setujudengan kebijakan pemerintah di Kiev. Sedangkan terhadap negara dan bangsa yang menolak hidup sesuai dengan resep Barat “abad XXI” tersebut, tetapi Barat masih takut menggunakan perkuatan militer melawan negara seperti ini (misalnya Rusia), mereka secara luas mempraktekkan sanksi ekonomi dan lain yang tidak sah. Sanksi ini mulai menjadi bagi Barat sebagai senjata yang mereka berusaha menggunakan untuk membuat dunia berlutut secara massal. Mereka menggunakannya sangat agresif sedangkan tidak ada hasilnya. Inilah sebuah “produktivitas abad XXI”…

Mungkin S.Richter ketika pakai istilah “produktivitas” bermaksud rasa toleransi yang telah muncul di Barat yang “berpendidikan” itu terhadap pengulangan kembali gerakan Nazi di sejumlah negara Eropa, khususnya Latvia, Estonia dan Ukraina? Sebagaimana dikenal di sana kelompok-kelompok fasis secara terbuka dengan diperbolehkan oleh pemerintah mengadakan aksi publik dengan logo-logo Nazi dan semboyang-semboyang anti-Rusia, mengharumkan nama-nama orang yang mengabdi pada rezim Hitler yang membenci manusia. Ingin saya mengingat bahwa bangsa Rusia dan bangsa Uni Sovet yang lain memainkan peran utama dalam mengkalahkan fasism. Kami ragu bahwa rakyat “pasif dan tak berpengharapan” mampu melakukan ini. Hal ini harus dikedepankan menjelang HUT ke-70 akhirnya Perang Dunia II yang akan diperingati oleh negara yang keberadaban pada tanhun 2015.

Kalau S.Richter mengharapkan kepada kami, bangsa Rusia, sesuatu seperti “produktivitas” tersebut maka saya terpaksa mengecewakannya: Rusia tidak akan terima.

Akan tetapi, berdasarkan keyakinan yang berbabi buta yang dirasakan dari artikelnya, S.Richter tidak siap menjadi jujur dan tidak berprasangka ketika menulis mengenai Rusia. Sedangkan kami dari tulus hati ingin mengharapkan kepada surat kabar The Jakarta Post memilih secara lebih teliti ketika memuat bahan-bahan mengenai Ruisa dan memperkenalkan pembacanya dengan penelitian analitik yang benar-benar berahli dan terpercaya, bukan dengan artikal amatiran “ala Richter” .

Duta Besar Rusia untuk Indonesia Mikhail Galuzin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *