Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 19 July 2015

Surat dari Brazil: Yang Tersisa dari Kegemilangan Masa Lalu


Islam di Brasil pertama-tama diamalkan kalangan budak belian dari Afrika. Dalam sejarahnya, mereka pernah menjadi pemicu salah satu revolusi budak terbesar di Amerika Selatan pada 1835, tepatnya di daerah Bahia. Pada 1910, sejumlah catatan menyebutkan ada sekitar 100 ribu orang Muslim berdarah Afrika yang menetap di Brasil. Namun seiring dengan berjalannya waktu, payung pengaruh Katolik yang kuat menyebabkan syi’ar Islam di Brasil ini berjalan stagnan dengan jumlah pengikut yang terus berkurang. Pertambahan baru datang belakangan seiring migrasi orang-orang Arab yang berasal dari Suriah dan Libanon.

Hari-hari ini konsentrasi Muslim terbesar di Brazil terdapat di daerah negara bagian Sao Paulo. Pengaruh arsitektur dan makanan juga terlihat pada masyarakat Brasil sekarang ini. Contoh lainnya, salah satu jaringan makanan cepat saji kedua terbesar yang ada di Brasil adalah ‘Habib’ , yang menjajakan makanan Arab. Mesjid-mesjid yang ada di Brasil ini banyak terdapat di daerah Sao Paulo dimana salah satunya yang dianggap tertua dan populer adalah yang terdapat di Av. Do Estado.

Dari semenjak berdirinya, pada mesjid ini sudah terdapat sekolah Qur’an, sebuah perpusatakaan kecil, dapur umum dan ruang-ruang pertemuan.

Menurut sensus 2010, jumlah Muslim di Brasil amat kecil: 35.207 jiwa yang  terkonsentrasi di daerah Parana dan Sao Paulo. Angka itu sedikit membaik dari 22.450 jiwa pada sensus 1990 dan 27239 jiwa pada sensus 2000.

Tren terakhir menunjukkan terdapat peningkatan dari warga non arab Brasil yang merubah keyakinannya menjadi pemeluk agama Islam. Studi anyar memperkirakan terdapat sekitar 10 ribu Muslim yang termasuk ke dalam golongan ini.

Sao Paulo terlihat sebagai pusat utama dari syi’ar Islam di Brasil ini. Dua dari tiga translasi Quran dari bahasa Arab ke Portugis yang ada di Brasil ini dilakukan ahli penterjemah yang ada di Sao Paulo.

Penulis sendiri berdomisili di Brasilia, Brasil. Brasilia merupakan ibukota Brasil, yang merupakan pusat pemerintahan. Kota ini sendiri baru didirikan pada 1960. Kegiatan bisnis banyak lebih terpusat di kota Sao Paulo dan Rio de Janeiro. Umat Muslim di Brasilia kebanyakan terdiri dari staf kedutaan dari negara-negara yang penduduknya banyak memeluk agama Islam. Mesjid di kota ini hanya ada satu yang terletak di daerah utara dari pusat kota. Mesjid satu-satunya ini kurang terurus. Sewaktu saya pertama kali tinggal di Brasilia pada 2013, sedih sekali saya melihat kondisi toilet dan tempat wudhu yang sangat kotor. Bahkan waktu itu sistem pipanya juga kurang diurus dimana kita suka merasakan setrum-setrum kecil jika berwudhu. Kondisi ini menyebabkan banyak para umat Islam yang datang Hari Jum’at untuk sholat menggunakan wastafel untuk berwudhu.

Untungnya pada awal 2015 ada Muslimin yang berinisiatif memperbaikinya. Toilet yang terdapat di sebelah mesjid sekarang ditutup total, dan toilet yang terdapat di gedung yang lain dibuka untuk umum (yang tadinya ditutup). Gedung ini biasanya dikunci dan dibuka hanya jika ada acara massal seperti makan bersama setelah Sholat Idul Fitri dan Idul Adha.

Di Ramadhan yang lewat, ada acara buka puasa bersama di mesjid walau yang datang biasanya sedikit. Setiap tarawih yang datang untuk melakukan sholat hanya satu saf saja yang kira-kira tidak lebih dari 30 orang. Jamaah perempuannya lebih sedikit lagi paling hanya 1-3 orang yang ikut tarawih. Biasanya orang-orang Indonesia yang datang sebagai jamaah tarawih perempuan ini. Saya kenal salah satunya yang rajin datang ke mesjid yang merupakan istri salah satu staf lokal yang bekerja di KBRI Brasilia. Mesjid ini di hari-hari biasa hanya ramai pada saat Shalat Jum’at saja. Untuk waktu-waktu sholat lainnya biasanya tidak ada yang sholat di mesjid paling hanya satu dua saja. Itupun biasanya para musafir yang ingin mengunjungi satu-satunya mesjid yang ada di Brasilia ini.

Kurangnya jamaah sholat di mesjid ini terjadi karena lokasi mesjid ini memang jauh dari daerah perumahan.  Para perencang kota memang sengaja menempatkan seluruh tempat peribadatan di pinggiran utara kota.

Pernah ada inisiatif dari para warga Muslim yang kebanyakan merupakan pegawai-pegawai kedutaan untuk menawarkan bantuan, tapi tampaknya imam mesjid Brasilia yang berasal dari Mesir ini memilih untuk mengurus mesjid dengan ‘caranya sendiri’. Pada waktu itu juga pernah ada dilaksanakan pernikahan diantara dua orang Indonesia di mesjid ini dengan imam mesjidnya sebagai penghulu. Namun mereka sekarang berdua telah kembali ke Indonesia setelah masa tugasnya di KBRI Brasilia selesai.

Mesjid di Brasilia ini cenderung sepi, namun ada juga kadang-kadang pengajian kecil yang dilakukan oleh kaum ibu. Salah satu yang aktif mengisi pengajian-pengajian kecil ini adalah salah satu istri dari staf lokal yang saya sebutkan tadi. Sekarang ini semakin banyak terdapat imigran-imigran muslim yang datang ke Brasil, khususnya dari daerah Palestina, Suriah dan Afganishtan. Seperti yang kita ketahui ketiga daerah teresebut memang sedang terdapat konflik internal yang berkepanjangan.

Jika diperhatikan, da’wah di Brasil ini memang memiliki tantangan yang luar biasa. Yang pertama daerah Brasil ini memang didominasi oleh agama Katolik. Yang kedua budaya dari orang-orang Brasil ini cenderung hedonis. Mereka suka sekali menggelar pesta dan karnaval yang cenderung bertenatangan dengan ajaran Islam. Yang ketiga, aliran-aliran kebatinan juga berkembang dengan pesat di Brasil ini. Bahkan komunitas mereka memiliki peminat yang cenderung bertambah. Saya perhatikan komunitas aliran-aliran kebatinan ini memiliki pengunjung yang lebih besar ketimbang gereja. Aliran kebatinan yang ada di Brasil ini, kebanyakan mencampur kepercayaannya dengan agama Katolik dan kepercayaan-kepercayaan kebatinan yang dibawa dari Afrika serta unsur-unsur lainnya. Mereka biasanya disebut sebagai ‘comunhão espirita’. Dalam prakteknya mereka sering melakukan pemujaan dengan sesajen-sesajen untuk memenuhi permintaan-permintaan duniawi mereka. Namun untungnya masyarakat Brasil mempunyai toleransi yang cukup tinggi dan ramah dengan orang asing.

Selama saya tinggal di Brasilia ini, tidak pernah saya mengalami perlakuan yang diskriminatif dari para warga Brasil. Mereka bahkan sangat ramah dan ingin tahu dengan budaya kita yang berbeda dengan mereka.

Lebaran di Brasil bagi masyarakat Indonesia hanya terpusat di dua tempat. Di satu-satunya mesjid yang ada di Brasilia serta di KBRI Brasilia. Pada saat sholat Idul Fitri inilah paling banyak jamaah Muslim yang datang ke mesjid. Sholat jum’at pun biasanya tidak akan sebanyak ini. Namun dari yang saya ketahui ada yang mengatakan bahwa terdapat pula dari mereka yang datang ke mesjid itu sebenarnya bukan orang Islam, tapi orang-orang Brasil keturunan Arab yang juga ikut merayakan idul Fitri. Tapi tentunya mereka datang ke mesjid dengan memakai pakaian-pakaian yang sopan dan terlihat seperti Muslim pada umumnya. Juga biasanya masing-masing yang datang ada yang membawa makanan dan minuman. Semua makanan dan minuman ini dikumpulkan untuk kemudian dimakan bersama setelah shalat iIul Fitri. Biasanya makanan ini akan cepat sekali habis, khususnya di bagian jamaah laki-laki. Di Lebaran ini, saya malah mendapat makanan dari bagian jamaah wanita yang diambilkan oleh teman-teman karena sudah habis. Secara pribadi tentunya saya merindukan sekali suasana puasa dan lebaran di tanah air. Mudah-mudahan di masa depan, syi’ar Islam di tanah Brasil ini bisa berkembang dengan lebih baik. Amin ya Robbal Alamin.

Dhaniel Ilyas, WNI di Kota Brasilia, Brasil.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *