Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 14 November 2019

Sultan Yogya Dinilai Belum Mampu Tangani Penguatan Intoleransi


islamindonesia.id-Sultan Yogya Dinilai Belum Mampu Tangani Penguatan Intoleransi

Sultan Yogyakarta yang juga Gubernur setempat, Sri Sultan Hamengku Buwono X, belum mampu menangani penguatan intoleransi di wilayah kekuasaanya. Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif Setara Institute, Ismail Hasani, menyusul terjadinya pelarangan upacara leluhur Ki Ageng Mangir, di Desa Mangir, Pajangan, Bantul, Yogyakarta 12 November.

“Sultan dengan legitimasi kultural dan struktural, baik sebagai raja maupun gubernur, belum mampu mengefektifkan pengaruhnya dalam menangani penguatan intoleransi di Yogyakarta,” katanya seperti dilansir harian Tempo, 14 November.

Pada April lalu, misalnya, Sri Sultan menerbitkan Instruksi Gubernur untuk mencegah intoleransi di tengah masyarakat serta mendorong hidup rukun dan mengatasi konflik sosial. Hanya saja, instruksi ini tidak pernah didetailkan dan disusun dalam program penyelenggaraan pemerintah. “Jadi hanya sebatas instruksi, tapi tidak memandu kerja pemerintah daerah,” ujar Ismail.

Pada tahun lalu, setidaknya empat peristiwa intoleransi terjadi di Daerah Istimewah ini. Di antaranya, pembubaran dan perusakan sedekah laut di Pantai Pandansimo Bantul serta penyerangan Gereja St Lidwina Sleman.

Menurut Ismail, kelompok-kelompok intoleransi di Yogyakarta cenderung menguat. Banyak organisasi pengusung aspirasi intoleran menjadi Yogyakarta sebagai area dakwah. Mereka bahkan menguasai saluran-saluran komunitas di tingkat kampung.

Pada Selasa silam, pukul 15.30, polisi dan kelompok intoleran mendatangi rumah Ketua Paguyuban Padma Buwana, Utiek Supradi, dan membubarkan upacara leluhur Ki Ageng Mangir. Sepuluh warga dilaporkan berdiri di depan rumah Utiek dan menghadang puluhan peserta upacara yang datang dari berbagai daerah.

“Polisi menganggap kegiatan kami tidak berizin dan meminta kami membatalkan karena ada warga yang keberatan,” kata Utiek.

Ia menjelaskan, penolakan upacara memperingati wafatnya Ki Ageng Mangir, bukan pertama kali. “Kami dianggap menyembah berhala. Yang menolak, orang-orang yang sama,” katanya.

Kepala Kepolisian Resor Bantul, Ajun Komisaris Besar Wacyu Tri Budi Sulistiono, membantah anak buahnya menghentikan upcara tersebut. Polisi, menurut Wacyu, datang ke lokasi untuk mengamankan agar tidak terjadi konflik.

Sebagian warga dusun itu keberatan dan mempertanyakan izin acara tersebut. “Polisi tidak menghentikan. Kami hanya minta upcara dipercepat karena rawan konflik,” kata Kapolres.

Ismail mengatakan, secara umum polisi memiliki perspektif cukup baik dalam menangani masalah intolernasi. “Tetapi kita sadar polisi tidak cukup bekerja seperti pemadam kebakaran karena tugas pencegahan harusnya dilakukan oleh pemerintah daerah,” tegas Ismail.

YS/Islamindonesia/Foto: AFP/Goh Chai In

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *