Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 02 December 2018

Strategi Efektif Pencegahan Ekstremisme di Indonesia menurut INFID


islamindonesia.id – Strategi Efektif Pencegahan Ekstremisme di Indonesia menurut INFID

 

INFID (International NGO Forum on Indonesian Development), sebuah organisasi non-pemerintah yang bergerak di bidang pembentukan proses demokratisasi di Indonesia, pada akhir November (21/11) menerbitkan sebuah buku hasil penelitian tentang “Urgensi dan Strategi Efektif Pencegahan Ekstremisme di Indonesia”.

Adapun definisi istilah Ekstremisme, Radikalisme, dan Fundamentalisme, sebagaimana dikutip dari buku tersebut adalah:

“Ekstremisme secara umum dipahami sebagai bentuk berkeyakinan yang sangat kuat pada suatu pandangan, ajaran atau konsep tertentu, yang seringkali memunculkan sikap yang melampaui kewajaran. Misalnya dengan menempatkan orang lain yang berbeda keyakinan pada posisi yang dianggap atau dipersepsi sebagai keliru bahkan sesat. Pada tingkat yang paling tinggi, ekstremisme terjadi disertai dengan gerakan yang mengandung aksi kekerasan….

“Radikalisme yang secara literal dimaknai sebagai keyakinan yang menginginkan perubahan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis, juga dimaknai sebagi perjuangan untuk melakukan perubahan dengan menggunakan cara-cara kekerasan. jika dikaitkan dengan agama, sikap radikal ini ditandai dengan munculnya sikap intoleran, tidak menghargai pendapat atau keyakinan orang lain, serta adanya sikap revolusioner yang cenderung menggunakan kekerasan utuk mencapai tujuan….

“Saat ini fundamentalisme dimaknai sebagai keyakinan fanatik yang membentuk praktek atau kultur keagamaan yang ‘menyimpang dari praktek’ yang berlaku pada ajaran agama mainstream. Dalam pengertian ini, yang dimaksud dengan ‘penyimpangan’ adalah adanya kombinasi antara keinginan untuk menjadi puritan (taat pada ajaran agama yang dianggap paling murni) dan sikap ekstrem (yang menekankan ketaatan pada ajaran yang murni tersebut sebagai ukuran untuk menilai kadar ketaatan atau penyimpangan keagamaan seseorang).”

Menurut buku tersebut, strategi yang perlu dilakukan untuk mengatasi munculnya ekstremisme adalah jangan melalui pendekatan sekuritisasi (keamanan), karena sesungguhnya kelompok-kelompok ekstrem di Indonesia masih bisa didekati dengan pendekatan persuasif.

Selain itu, penggunaan istilah ekstremisme, fundamentalisme, radikalisme, dan terorisme dalam upaya advokasi perlu dihindarkan. Untuk meredam hal ini advokator perlu menggunakan istilah pendukung khilafah Islamiyah, agar dalam proses advokasi stigma negatif dapat dihindarkan sekaligus menghindari konflik, namun lebih mentransformasikan konflik tersebut lebih politikal.

Berdasarkan strategi di atas maka langkah praktis yang berbasis pendekatan desekuritisasi (pendekatan non-keamanan terhadap pendukung khilafah Islamiyah yang bergerak tanpa kekerasan) adalah sebagai berikut:

(1) Kelompok moderat Islam seperti NU dan Muhammadiyah bersama pemangku kepentingan lainnya, seperti (BNPT, dan Badan Cyber, dan kesatuan intelijen polisi dan TNI) perlu mengisi kembali ruang religius di sekolah-sekolah, universitas, perumahan, serta masjid kampung di daerah perkotaan hingga pinggiran kota, dan pedesaan yang telah berada di bawah kendali mereka. Strategi ini lebih merupakan pendekatan sosial dan kultural agar tidak terjadi gesekan kepentingan yang tajam, oleh karena itu dialog di dalam kemajemukan merupakan kata kuncinya.

(2) Kelompok moderat Islam perlu untuk memperoleh akses beasiswa guna sekolah di tingkat universitas untuk menghasilkan guru agama yang moderat atau memberi ruang bagi mereka yang selama ini ‘tersingkir’ akibat dikuasainya jalur pengelolaan lembaga pendidikan oleh sindikasi pendukung khilafah yang selama 30 tahun terakhir menguasai ruang ini. Pemerintah juga perlu mengaktifkan peran kelompok moderat untuk mengisi kegiatan agama secara aktif dengan insentif dari pemerintah di masjid universitas serta asrama mahasiswa.

(3) Melakukan pengalihan konten radikal di internet, dengan mendorong dan menfasilitasi kelompok-kelompok moderat menyediakan informasi-informasi yang diperlukan publik, misalnya terkait pandangan keagamaan ke kanal-kanal yang moderat dan terpercaya. Pemerintah mendorong partisipasi banyak pihak dan memberikan dukungan infrastruktur bagi terdisitribusikannya konten-konten moderat untuk mengalihkan kemungkinan situs-situs radikal tidak menjadi sumber informasi dominan.

(4) Pemerintah bersama kelompok-kelompok moderat secara konsisten melakukan kampanye dan diseminasi pesan online maupun offline, bisa berupa kontra-narasi radikal atau pebuatan narasi alternatif yang moderat dan menyebarkannya seluas mungkin melalui berbagai media. Model diseminasi narasi dukungan terhadap Asian Games 2018 yang tersebar luas di berbagai media misalnya, dapat ditiru dan diterapkan.

(5) Pemerintah harus memastikan singkronisasi antara agenda penceegahan di internet dan media sosial yang dirancang dan kebutuhan yang nyata. Seringkali pesan atau materi kampanye yang disampaikan tidak sesuai dengan kebutuhan yang nyata, atau tidak tepat sasaran karena dilakukan pada audiens yang tidak tepat, tidak berkelanjutan atau tidak memiliki konten yang tepat. Karenanya diperlukan riset empiris untuk menjadi dasar perencanaan kegiatan.

(6) Pemerintah perlu melakukan dialog yang intensif dengan kelompok khilafah yang telah mendirikan Ummul Quro dan basis keumatan di tingkat mas’ul untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial, dan ekonomi secara inklusif (kepentingan bersama). Termasuk membangun sistem ekonomi alternatif melalui dialog dengan kelompok tersebut untuk mencapai pada prinsip ekonomi yang tidak bertentangan dengan ajaran mereka dan tatanan ekonomi global yang sedang berlaku.

(7) Pemerintah perlu melakukan dialog aktif untuk menjelaskan bahwa demokrasi yang dijalankan di Indonesia sedang mengarah ke pada demokrasi deliberative (musyawarah) yang lebih substantif. Termasuk melakukan persuasi aktif agar kelompok pendukung khilafah berartisipasi secara politik sehingga dapat menyalurkan aspirasi mereka melalui lembaga demokrasi agar kepentingan mereka dapat terakomodasi melalui saluran politik

Sementara itu untuk kelompok pendukung khilafah yang menggunakan kekerasan untuk menegakkan negara agama yang mereka yakini secara ekstrim perlu strategi yang berbeda dengan pendekatan di atas. Advokasi yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut:

(1) Mendorong BNPT untuk melibatkan korban kekerasan dalam kampanye atau propaganda anti kekerasan karena ekstrimisme. Hal ini penting karena korban juga beragama sama dengan pelaku kekrasan. Melalui cara ini maka korban juga terberdayakan secra sosial dan ekonomi karena memiliki kegiatan yang diberi insentif oleh pemerintah guna berkampanye melawan gerakan ekstrim yang menggunakan kekerasan.

(2) Meningkatkan efektivitas propaganda anti kekerasan ekstrimisme dengan membangun jaringan yang luas.

(3) Memberikan pendidikan kepada pasukan cyber tentang penulisan materi propaganda anti kekerasan ekstrimisme dan membangun jaringan online (dengan pesantren moderat) serta sosial media.

(4) Membangun sistem informasi berbasis mushola dan masjid dengan menempatkan aktivis kelompok moderat untuk menjadi moderator sistem informasi tersebut.

 

PH/IslamIndonesia/Photo Ilustrasi: Nick Anderson

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *