Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 13 October 2016

Shalawat dan Tawassul Digugat Wahabi, Begini Jawaban Telak Kiai NU  


IslamIndonesia.idShalawat dan Tawassul Digugat Wahabi, Begini Jawaban Telak Kiai NU

 

PBNU akan menggelar ragam kegiatan untuk memperingati Hari Santri Nasional, diantaranya Kirab Resolusi Jihad NU dan pembacaan 1 Miliar Shalawat Nariyah. Kegiatan terakhir, yakni pembacaan Shalawat Nariyah digugat kalangan Wahabi Takfiri karena dinilai mengandung unsur syirik. Mereka menuding shalawat tersebut bukan berasal dari Nabi, dan sebagainya.

Menurut Dewan Pakar Aswaja NU Center Jatim KH Ma’ruf Khozin, di antara gugatan tersebut adalah penggunaan kata “Sayidina Muhammad”.

“Kalau yang dipermasalahkan karena dalam Shalawat Nariyah ada kata Sayidina, maka menyebut Rasulullah dengan Sayid pun sudah disampaikan oleh Sahabat dengan sanad yang sahih,” kata anggota LBM PWNU Jatim itu menegaskan.

Hadis tersebut, menurut Kiai Ma’ruf adalah, “Jika Ibnu Umar diundang untuk menikahkan, ia berkata: “Alhamdulillah, semoga Allah bershalawat kepada Sayidina Muhammad. Sungguh fulan melamar kepada kalian. Jika kalian menikahkannya maka Alhamdulillah. Jika kalian menolaknya maka Maha Suci Allah” Riwayat al-Baihaqi 7/181. Syekh Albani berkata: “Sahih” (Irwa’ al-Ghalil, 6/221).

Jadi, Shalawat Nariyah yang di dalamnya terdapat penyebutan kata Sayidina tersebut, berdasarkan hadis itu, telah sejak masa Nabi dilakukan pula oleh para sahabat Nabi.

Adapun terkait tudingan Wahabi bahwa Shalawat Nariyah sebagai perbuatan bid’ah karena bukan berasal dari Rasulullah langsung, Dewan Pakar Aswaja NU Center Jatim KH Ma’ruf Khozin mengatakan, bahkan Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah, murid Syaikh Ibn Taimiyah sendiri pun telah meriwayatkan beberapa redaksi shalawat Nabi yang disusun oleh para sahabat dan ulama salaf.

Hal itu, menurutnya terdapat dalam kitabnya Jala’ al-Afham fi al-Shalat wa al-Salam ‘ala Khair al-Anam. Antara lain shalawat yang disusun oleh Abdullah bin Mas’ud:

“Ya Allah, jadikanlah shalawat-Mu, rahmat-Mu dan berkah-Mu kepada junjungan para Rasul, imam orang-orang bertakwa, penutup seluruh Nabi, Muhammad, hamba-Mu, utusan-Mu, Imam kebaikan, penuntuk kebaikan, Rasul yang membawa rahmat. Ya Allah, tempatkan ia di tempat terpuji yang dikelilingi oleh orang-orang awal dan akhir” (Jala’ al-Afham, 36)

Juga Shalawat ‘Alqamah al-Nakha’i, seorang tabi’in:

“Semoga Allah dan malaikat-Nya bershalawat kepada Muhammad. Salam kepadamu wahai Nabi, juga rahmat Allah dan berkah Allah” (Jala’ al-Afham, 75)

Termasuk pula Shalawat Imam Syafi’i sebagai berikut:

“Semoga Allah memberi shalawat kepada Muhammad sebanyak hitungan orang-orang yang dzikir dan sebanyak hitungan orang-orang yang lalai mengingatnya” (Jala’ al-Afham, 230)

Demikian, kata Kiai Ma’ruf, beberapa redaksi shalawat Nabi yang disusun oleh para sahabat dan ulama salaf yang diriwayatkan oleh Syaikh Ibn al-Qayyim dalam kitabnya Jala’ al-Afham fi al-Shalat wa al-Salam ‘ala Khair al-Anam.

“Hal tersebut kemudian dilanjutkan para ulama untuk menyusun beragam redaksi shalawat, sehingga lahirlah Shalawat Nariyah, Thibbul Qulub, Al-Fatih, Al-Munjiyat dan lain-lain,” pungkasnya.

Sedangkan alasan penolakan Wahabi terhadap Shalawat Nariyah karena mengandung unsur tawassul, KH Ma’ruf Khozin mengatakan, berdasar hadis sahih bahwa Utsman bin Hunaif melihat Nabi mengajarkan doa tawassul kepada orang buta dan ia membacanya (HR At-Tirmidzi). Lalu, lanjut Kiai Ma’ruf, oleh Utsman bin Hunaif doa tawassul tersebut diajarkan kepada seorang yang menemukan kesulitan untuk masalah yang ia hadapi di masa Sayidina Utsman (HR Tabrani).

“Dari sini dapat disimpulkan, banyak para ulama berpendapat bahwa bertawassul dengan Nabi adalah diperbolehkan,” katanya.

Kiai Ma’ruf menyebutkan pendapat para ulama yang memperbolehkan tawassul tersebut.

Bentuk istighatsah (tawassul) yang pertama adalah meminta kepada Allah dengan perantara (Nabi atau kekasih Allah) untuk melapangkan kesulitan. Ia tidak meminta kepada perantara suatu apa pun. Misalnya: “Ya Allah, dengan derajat Nabi-Mu maka lapangkanlah kesulitanku”. Dalam masalah ini ia hanya meminta kepada Allah, meminta tolong kepada Allah, tidak meminta tolong kepada perantara.

Ulama fikih sepakat bahwa bentuk semacam ini bukanlah perbuatan syirik, sebab hanya meminta kepada Allah, bukan meminta kepada perantara.

Hanya saja para ulama berbeda pendapat tentang boleh atau tidaknya, menjadi 3 pendapat. Pendapat pertama adalah boleh bertawassul dengan para Nabi dan orang saleh, baik ketika mereka hidup atau sesudah wafat. Hal ini disampaikan oleh Malik, As-Subki, Al-Karmani, An-Nawawi, Al-Qasthalani, As-Sumhudi, Ibnu al-Haj dan Ibnu al-Jazari (Mausu’ah al-Kuwaitiyah 5/22).

“Sementara yang melarang tawassul hanyalah Syaikh Ibnu Taimiyah dan pengikutnya saja,” pungkasnya

 

EH/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *