Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 27 March 2014

Sisa-Sisa Perang


foto:hendijo

Bagaimana perang membuat sekumpulan manusia hidup terlunta-lunta

BELASAN tahun yang lalu, jika pergi ke Poso, bisa jadi Anda akan menginap di sebuah hotel bernama Anugerah. Selain nyaman, letaknya pun termasuk strategis, karena hanya berjarak ratusan meter dari pusat kota. Dan yang terpenting, hotel di kawasan Jalan Pulau Samosir itu, harganya dikenal termasuk murah.

Tapi jika Anda pergi ke Poso hari ini dan berniat menginap di Hotel Anugerah, lebih baik urungkan niat itu. Karena, sudah sejak lebih 10 tahun lalu, hotel itu tidak beroperasi lagi. “Pemiliknya, seorang China, sudah lama mengungsi. Entah lari ke mana dia?” kata Budi, wartawan Mercu Suar, koran yang terbit di Palu.

Kesan kumuh dan liar memang terpancar kuat dari tempat itu. Selain lantainya yang jauh dari bersih, di beberapa bagian, kerusakan terlihat sangat parah: tembok, atap, pintu dan jendela hampir semua jebol.

Memasuki bagian belakang, kerusakan makin menjadi. Di situ, bukan saja pintu dan jendela yang jebol, atap di tingkat dua malah terbuka sama sekali. Beberapa bagian tembok terlihat hitam bekas terbakar. Coretan tulisan yang berisi hujatan seolah menjadi penegas seramnya suasana di situ. Di tempat yang super kotor, kumuh, dan seram itu, kini tinggal puluhan pengungsi dari Sayo, sebuah perkampungan muslim di Poso yang pada 2000 hancur dihantam konflik.

Menurut Kasim Tatuwo, 55 tahun, ada sekitar 14 keluarga yang sekarang tinggal di tempat itu. Mereka hidup berdesakan tanpa listrik dan sanitasi yang memadai. Padahal, saat tinggal di Sayo, “Sebagian dari mereka adalah petani sukses dengan tanah hektaran,” kata tetua para pengungsi di Hotel Anugerah itu.

Sementara itu, berjarak sekitar 70 km dari Poso, tepatnya di perbatasan antara Tentena dan Pamona Utara, tinggalah perempuan tua bernama Ana Bente, 52 tahun. Bersama sekitar 500 pengungsi lainnya, sudah belasan tahun ia tinggal di Later.

Later adalah sebuah ”desa dadakan” yang dibangun di atas tanah milik gereja pada 2001. Dinamakan Later (singkatan dari Lapangan Terbang) karena tanah itu adalah bekas lapangan terbang pada zaman Hindia Belanda.

Tak jauh beda dengan kondisi di bekas Hotel Anugerah, kemiskinan juga seolah menjadi kawan akrab bagi warga Later. Bayangkan saja, dari 113 rumah yang ada di sana, hanya 5% yang semi permanen. Sisanya terbuat dari kayu berdinding bilik, beratap sirap, serta beralaskan tanah. “Tak jarang penerangan di rumah kitorang hanya pake lilin saja,” kata Dompu Djepa.

Kepala Desa Later itu mengeluhkan pula sarana sanitasi di desanya. Selain itu, Dompu merasa bingung jika ada warganya yang mengalami trauma dan stres akibat terlalu lama tinggal di pengungsian. ”Penanganan psikologis sangat diperlukan di sini,” ujar laki-laki 58 tahun itu. Lalu, kenapa mereka masih bertahan di tempat itu?

Kitorang masih takut pulang ke Poso,” kata Ana Bente yang mengaku trauma sejak tiga saudaranya meninggal akibat konflik. Namun, bukan berarti nenek dari dua cucu itu menutup harapannya untuk kembali ke kampungnya. “Kalau Tuhan mengizinkan, kitorang pasti pulang,” ujarnya dalam nada pelan.

Keinginan pulang kampung dimiliki juga oleh Kasim Tatuwo. Bapak lima anak itu mengaku sangat rindu pada kampung halamannya. Karena kerinduan itu juga, Kasim rela menyisihkan sebagian uang gajinya tiap bulan. “Dari uang tabungan itu, saya merencanakan untuk bangun kembali rumah saya di Sayo,” ujar pegawai Dinas Kebersihan Kabupaten Poso itu.

Sudah hampir 15 tahun, persoalan pengungsi di Poso tak jua terselesaikan tuntas. Menurut Haji Adnan Arsal, itu terjadi karena pemerintah daerah bersikap setengah hati. Dalam pandangan tokoh Islam Poso itu, pemerintah daerah kadang tidak logis saat memberikan pelayanan kepada para pengungsi. Sebut saja soal pembuatan rumah pengganti. ”Warga butuhnya 300, pemerintah daerah bangun cuma 20. Ini kan ini tidak masuk akal,” katanya.

Hendrik Bouw, tokoh masyarakat di Tentena mengeluhkan hal yang sama. Menurut dia, pemerintah daerah tidak pernah melibatkan elemen masyarakat dalam soal pengadaan rumah pengganti itu. Wajar, jika yang terjadi kemudian, “Para pengungsi merasa apa yang dilakukan pemerintah daerah itu belum mencukupi,” ujar wartawan Poso Pos itu. Maka, jadilah mereka sisa-sisa perang yang terlunta-lunta selama belasan tahun.

 

Sumber: Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *