Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 22 February 2018

Sidang Uji Materi di MK, Peneliti UGM: UU Penodaan Agama Berpotensi Langgar Hak Warga


islamindonesia.id – Sidang Uji Materi di MK, Peneliti UGM: UU Penodaan Agama Berpotensi Langgar Hak Warga

 

 

UU Penodaan Agama mengingkari dimensi theisme dan humanisme Pancasila, demikian diungkapkan oleh Ketua Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia (SEPAHAM), Al Khanif, saat memberikan keterangan ahli dalam sidang uji materi Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (UU Penodaan Agama) di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Selasa (20/2/2017).

Sebagaimana dikutip dari laman Kompas.com, Al Khanif menilai bahwa “Norma-norma yang ada dalam Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 selama ini telah ditafsirkan oleh suatu kelompok untuk mendiskriminasi hak-hak individu atau kelompok lain.” Akademisi Fakultas Hukum Universitas Jember itu melanjutkan, “Penafsiran ini menurut saya telah mengingkari dimensi theisme dan humanisme Pancasila karena telah mengakibatkan perlakuan yang berbeda terhadap individu atau kelompok yang dianggap mempunyai penafsiran yang berbeda dari kelompok mayoritas,” tuturnya.

Pasal 1 UU itu menyebutkan, “Setiap  orang dilarang  dengan  sengaja  di  muka umum menceritakan, menganjurkan dan  mengusahakan  dukungan  umum, untuk  melakukan penafsiran  tentang sesuatu  agama  yang  dianut  di Indonesia  atau  melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari pokok-pokok ajaran agama itu”.

Menurut Al Khanif, pasal tersebut selama ini telah ditafsirkan oleh suatu kelompok untuk mendiskriminasi hak-hak individu atau kelompok lain. Oleh sebab itu, MK perlu memberikan kerangka penafsiran dalam pasal tersebut terutama dalam frasa “melakukan penafsiran tentang sesuatu  agama  yang  dianut  di Indonesia”. Selain untuk menghormati dimensi humanisme Pancasila, penafsiran MK juga diperlukan untuk membatasi penerapan konsep teokrasi yang selama ini digunakan oleh sekelompok orang untuk melindungi kepentingan mereka sendiri. Demikian menurut Al Khanif yang dikutip dari laman Kompas.com

Dalam persidangan yang berlangsung kemarin, MK menghadirkan juga beberapa ahli lain. Di samping Al Khanif, ada juga Direktur Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Abidin Bagir.

Senada dengan Al Khanif, Zainal juga menyoroti secara khusus Pasal 1 UU Penodaan Agama. Masih dalam laman Kompas.com, Zainal menilai frasa “melakukan penafsiran agama” dalam pasal tersebut berpotensi menimbulkan pelanggaran hak-hak warga negara atau kelompok tertentu terkait hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, hak sipil, politik dan ekonomi. Contoh pelanggaran yang terjadi saat ini setidaknya dialami oleh warga Ahmadiyah dan Syiah.

Lebih jauh, Zainal melacak secara historis ekses dari penafsiran Pasal 1 UU tersebut. sebagai contoh, pada tahun 1965 UU tersebut menargetkan kelompok aliran kebatinan atau aliran kepercayaan. Sedang setelah tahun 1998 dan 2000, UU tersebut menarget kelompok Ahmadiyah dan Syiah. Padahal dua kelompok ini (Ahmadiyah dan Syiah) sudah ada sejak tahun 1965, tapi tidak menjadi sasaran kala itu. Demikian juga saat ini, kelompok-kelompok kebatihan masih ada, tapi mereka tidak menjadi sasaran saat ini.

Melihat fakta tersebut, Zainal memandang bahwa MK harus memberikan tafsir konstitusional bersyarat terhadap pasal 1 Undang-Undang Nomor 1/PNPS tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. “MK dapat memberikan penafsiran beryarat atas konstitusionalitas UU Penodaan Agama karena secara substansi UU tersebut belum sempurna dan dapat diperbaiki,” tuturnya. “Kalau situasinya seperti ini maka perlu pagar-pagar konstitusional sejauh mana penafsiran itu bisa dilakukan,” Demikian kata Zainal seperti yang dikutip dari laman Kompas.com.

 

 

 

 

AL/IslamIndonesia

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *