Satu Islam Untuk Semua

Friday, 04 April 2014

Shinto yang Terus Berubah


foto: michaelsaso.org

Bagaimana nasib “agama asli” orang Jepang di tengah perkembangannya dari waktu ke waktu


AGAMA orang Jepang adalah Shinto dan keyakinan tersebut menjadikan matahari sebagai sesembahan. Itulah yang kita ketahui selama ini. Padahal sesungguhnya kenyataan tersebut sangat kabur. Kenapa? Karena sebenarnya Shinto bukanlah agama. Shinto adalah sebuah nama yang umum diberikan kepada kepercayaan asli Jepang. Orang Jepang menganggap bahwa segala sesuatu memiliki roh. Benda-benda, baik hidup dan mati, yang berguna bagi kehidupan manusia mempunyai roh suci dan kekuasaan, dan karenanya mereka sembah. Misalnya matahari, gunung, sungai dan pohon-pohon tertentu. Dengan demikian Shinto sama dengan animism.

Di samping itu, Shinto bisa merupakan nama metode berpikir tradisional Jepang dan tata cara kehidupan sehari-hari. Meskipun orang-orang Jepang modern kini banyak yang tak mau mengakui lagi sebagai penganut Shinto, namun tak sedikit kebiasaan Shinto yang sampai sekarang masih dipraktekkan. Diantaranya: mengunjungi kuil pada tahun baru, ambil bagian dalam festival di kuil Shinto lokal, berdoa kepada dewa-dewa agar ujian sekolahnya lulus, dan memberkati anak-anaknya di kuil tertentu.

Shinto, sebagaimana halnya animism, muncul dari instink manusia yang butuh keberadaan tuhan. Manusia pada saat-saat tertentu merasa tak berdaya dan membutuhkansesuatu yang mempu melindungi dan menyelamatkannya. Begitu juga orang-orang Jepang purba yang hidupnya dari berburu dan bertani. Alam Jepang yang sering dilanda topan dan gempa menumbuhkan kepercayaan tertentu terhadap adanya penguasa yang mampu menghadirkan atau menyelamatkan manusia dari bencana alam. Dari latar belakang itulah, orang Jepang kemudian menganggap ada dewa pertanian, dewa laut, dewa gunung, dewa bumi, dewa langit dan lain-lain. Dewa-dewa itu mereka anggap tuhan yang perlu disembah dengan jalan memberi sesajen atau upacara-upacara ritual.

Setiap uji atau suku mempunyai tuhan tertentu yang disebut ujigami. Sedangkan tuhan-tuhan Shinto secara keseluruhan disebut yonoyorozu nokami (banyak sekali dewa). Sejak zaman Yamato pada abad ke-4, tuhan-tuhan Shinto sudah memiliki struktur hirarkis, di mana tuhanYamato atau tuhan kaisar berada di puncak tertinggi, sedangkan tuhan rakyat awam atau tuhan lokal berada di tingkat paling bawah yang harus mengikuti kehendak tuhan kaisar. Sejarah Jepang kuno coba menghubungi garis keturunan kekaisaran dengan dewa-dewa tertentu, dengan jalan memunculkan mitologi dan legenda mengenal uji-gami lokal yang dikaitkan dengan mitologi kaisar sedemikian rupa sehingga kaisar dan keturunannya dianggap titisan dewa.

Namun demikian, tak ada doktrin Shinto yang terumuskan jelas sampaizaman pertengahan Heian pada abad ke-10, kecuali doktrin Honijisuijaku yang menyatakan bahwa tuhan-tuhan Shinto sebenarnya merupakan perwujudan tuhan-tuhan Buddha. Konsekuensiny, doktrin ini menggabungkan kepercayaan asli Jepang dengan ajaran-ajaran Buddha. Di era feudal dan awal modern, sejumlah sekte muncul dan mengaku sebagai Shinto yang berdiri sendiri dan murni. Diantaranya Shinto Ise, Yoshida, dan Fukko. Di zaman Meiji, pemerintah membuat upaya tertentu untuk mempromosikan upaya penyembahan kaisar; dan penyembahan kaisar tersebut berlaku untuk semua Shinto. Festival dan ajaran-ajarankuil Shinto lokal disesuaikan dengan doktrin nasional (kekaisaran), sehingga pendeta lokal kehilangan otoritasnya, kecuali hanya sekadar melakukan upacara.

Sekte Shinto jumlahnya banyak sekali. Diantaranya yang terkenal Konkokyo. Omotokyo dan Misogikyo. Para pemimpin sekte ini banyak yang dimasukan ke penjara karena mereka coba mendirikan negara yang berdasarkan Shinto sebelum Perang Dunia II. Hingga kini terdapat sekitar 500 sekte Shinto dengan pengikut berjumlah 7,15 juta orang.

Sampai sekarang, situasi agama Shinto bisa dibilang tidak jelas.Bahkan akhir-akhir ini lebih kabur lagi: Shinto telah menjadi agama lokal dan bahkan agama keluarga. Penyembahan terhadap Tuhan disesuaikan dengan kebudayaan lokal, bahkan disesuaikan dengan kepercayaan dan kebutuhan rumah tangga.

 

*) Penulis dan mantan Redaktur Majalah Ulumul Qur’an. Pernah melakukan riset tentang Shinto pada Agustus-September 1992 di Jepang

 

Sumber: Majalah Ulumul Qur’an No.1 Vol.IV

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *