Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 16 April 2017

Sekjen Muhammadiyah: Buya Syafi’i Tak Pernah Marah Dikritik, Malah Menikmati


islamindonesia.id – Sekjen Muhammadiyah: Buya Syafi’i Tak Pernah Marah Dikritik, Malah Menikmati

 

Sekretaris Jenderal Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengatakan Prof. Ahmad Syafi’i Ma’arif tak pernah marah jika dikiritik. Bahkan, lanjut Mu’ti, jika kritik itu datang dari pengurus Muhammadiyah yang pernah ia pimpin.

“Buya kalau dikritik enggak pernah marah. Malah kalau semakin dikritik semakin menikmati. Kadang kami di Muhammadiyah kalau sudah mengkritik Buya lupa kalau Buya itu tokoh senior dan Ketua UmumMuhammadiyah waktu itu,” katanya dalam diskusi pemikiran tiga guru bangsa, Abdurrahman Wahid ( Gus Dur), Nurcholis Madjid (Cak Nur), dan Ahmad Syafi’i Ma’arif (Buya Syafi’i), di Jakarta 12/4.

Mu’ti juga menceritakan kebiasaan Buya Syafi’i yang gemar berdiskusi. Karena itu, tak jarang Buya berbeda pandangan dengan PP Muhammadiyah.

Di saat perbedaan sangat tajam seperti sekarang, Mu’ti mengatakan Buya menjadi teladan bagi umat Islam dalam menyikapi keberagaman tanpa harus takut menyampaikan pendapat yang berbeda.

“Bahkan Buya santai saja saat dikritik oleh organisasi yang pernah dipimpinnya (Muhammadiyah) dalam menyampaikan tafsir surat Al Maidah ayat 51,” kata dia.

Bagi Mu’ti forum diskusi tiga pemikiran guru bangsa ini relevan di saat situasi memanas seperti sekarang.

“Kebebasan berpendapat saat ini menjadi sesuatu yang mewah. Orang tak bisa lagi menulis di media dengan genit mengemukakan pemikiran yang berbeda karena risikonya bukan dia didebat tapi dia didamprat,” ujarnya.

Mu’ti menilai ada pergeseran dalam menghadapi perbedaan di masa lalu dan di era sekarang. Ia mengatakan, di masa lalu ketika Cak Nur, Buya Syafi’i, dan Gus Dur masih aktif menulis di media massa dengan pemikiran-pemikiran barunya, masyarakat mampu menyikapi secara intelektual.

Ia menyampaikan ketika Cak Nur berbeda pendapat dengan pandangan umum dan intelektual muslim lain dalam suatu hal, mereka yang berbeda itu lantas menuliskan kritiknya dalam sebuah buku.

Sehingga pemikirannya bisa dikaji generasi berikutnya. Dan itu justru membangun generasi intelektual dimana orang bisa berbeda pendapat secara tajam namun tetap bersahabat. Mereka yang berbeda bersedia mendengar satu sama lain.

“Dan itu membuat kami dulu sebagai seorang mahasiwa memiliki dorongan yang kuat bahwa dunia intelektual itu indahnya luar biasa. Bisa mengalahkan pengapnya kamar-kamar kos kami itu,” papar Mu’ti.

“Nah ini kan sesuatu yang kita rindukan karena ketika orang itu berpikir yang agak berbeda itu hujatannya luar biasa sekarang,” tambahnya.[]

 

YS/ islam indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *