Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 19 January 2016

SEJARAH – Mengenal Abu Thalib, Paman Nabi Muhammad (Tamat)


Kurang lebih seribu hari, Abu Thalib dan Muhammad, beserta para pengikutnya diboikot di lembah ‘Sy’ib Abu Thalib’. Menariknya, dari  400 orang warga lembah, yang terdiri dari wanita, laki-laki dan anak-anak, tidak ada satu pun yang menyerah apalagi ‘membelot’ menyerahkan Muhammad saw. pada Bani Umayyah. Padahal, tidak ada yang bisa memastikan kapan berakhirnya pengasingan yang membuat mereka selalu dalam kelaparan, kehausan, kepanasan, kedinginan dan kesakitan hampir setiap hari.

Setelah berakhirnya masa pemboikotan, Abu Thalib telah berusia lebih dari delapan puluh tahun. Kebahagiaan Abu Thalib atas kebebasan Muhammad dan para pengikutnya itu tidak berlangsung lama, menyusul keadaan tubuhnya yang semakin lemah. Selain usianya yang sepuh, derita yang dihadapi selama di tempat pengungsian membuat Abu Thalib jatuh sakit. Selama menderita sakit di atas tempat pembaringannya, tidak ada yang dipikirkan Abu Thalib kecuali keponakannya, Muhammad.

“Abu Thalib, Anda adalah pemuka dan pemimpin kami. Dan Anda pun dalam keadaan sekarat,” kata para pemimpin Quraisy yang menjenguknya. Salah satu di antara mereka melanjutkan, “Akhiri segala permusuhan antara keponakanmu dan kami. Katakan padanya untuk berhenti ‘menyakiti’ kami. Kami juga akan berhenti menyakitinya.”

Abu Thalib hanya mampu memandang Abu Jahal, Abu Sufyan dan para pemimpin Quraisy lainnya dengan sedih. Dengan kekuatan yang tersisa, Abu Thalib berkata, “bila kalian mendengar kata-kata Muhammad dan mengikuti jalannya, kalian akan bahagia. Oleh sebab itu, patuhilah ia dan raihlah kebahagiaan dunia dan akhirat.”

“Apakah engkau ingin kami menjadikan Tuhan kami satu?” potong Abu Jahal jengkel.

Abu Thalib sekali lagi dirundung kesedihan. Keadaan utusan Allah yang membawa ajaran rahmatan lil ‘alamin itu kembali membebani pikiran Abu Thalib. Apa yang mereka akan lakukan ke Muhammad setelah Abu Thalib wafat? Kekhawatiran pada keamanan nabi Allah itu terus menguras benaknya hingga ia mengumpulkan Bani Hasyim. Meski kesetiaan sebagian besar Bani Hasyim telah teruji selama di lembah pengungsian, Abu Thalib kembali meminta mereka untuk setia mendukung misi Muhammad. Mereka menyanggupi permintaan sesepuh Bani Hasyim itu. Tidak lama kemudian, orang yang disegani warga Makkah itu menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Makkah berduka, terkhusus pengikut ajaran Muhammad yang selama ini tertindas. Putranya, Ali bin Abu Thalib, menangis di sisi tempat pembaringan sang ayah. Muhamamad mencium kening Abu Thalib lalu dengan berlinang air mata berkata, “Paman, semoga Allah merahmatimu. Engkau mengajarku ketika masih kecil, menjagaku ketika yatim dan mendukungku hingga akhir hayatmu. Semoga Allah memberi ganjaran yang melimpah kepadamu.”

Air mata Muhammad pun jatuh dengan deras membasahi pipinya. Muhammad menangis mengenang masa-masa kecilnya bersama sang paman dengan seluruh perjuangan Abu Thalib membela misinya sebagai nabi. Ketika duka masih menyelimuti Muhammad, beberapa minggu kemudian, giliran istri yang tercinta, Khadijah Al Kubra, wafat.

Dalam waktu tiga tahun, kekayaan Khadijah ludes diwakafkan untuk menyelamatkan orang-orang tertindas di lembah pengasingan. Sebagian besar kekayaannya untuk mendapatkan pasokan air dari kota Makkah. Lepas dari pengungsian, kesehatannya sangat terpuruk hingga sang perempuan agung itu menghembuskan nafas terakhirnya.

Ketika wafat, Khadijah tidak lagi memiliki harta benda bahkan untuk membeli sehelai kain kafan pun. Dengan jubah Muhammad, suaminya yang tercinta, jasad Khadijah dikafani lalu dimakamkan. Dengan wafatnya kedua pendukung dan pembela misi Ilahi itu, Muhammad benar-benar terpukul. Sedemikian sehingga, pada masa itu, tahun kesepuluh kenabian, dikenang sebagai tahun kesedihan (‘amul huzn).

Sepeninggal dua tokoh yang selama ini terdepan mendukung dan membela Muhammad, para pemimpin Quraisy semakin menggila. “Sudah saatnya saya membalas dendam pada Muhammad,” kata Abu Jahal.

Suatu hari, tanpa perasaan terbebani, seseorang melempar debu ke kepala manusia pilihan Tuhan itu. Pulang ke rumah, putrinya Fatimah melihat kepala ayahnya penuh dengan debu. Sembari air matanya menetes, Fatimah segera membersihkan kepala ayahnya. Melihat wajah putrinya, Muhammad berkata, “anakku, jangan menangis. Allah akan menyelamatkan ayahmu. Dia yang akan melindungi ayahmu dari musuh-musuh agama dan misi-Nya.”

Suatu ketika, rencana pembunuhan oleh pemimpin kafir Quraisy tercium oleh Muhammad. Makkah mencekam. Setelah menyusun strategi bersama, Ali putra Abu Thalib mempertaruhkan nyawanya dengan menggantikan nabi tidur di rumahnya. Rencana mengecoh musuh itu berhasil. Muhammad akhirnya berhasil keluar dari kepungan musuh dan hijrah ke Yastrib (Madinah). []

“Muhammad Rasulullah, dan orang-orang yang bersamanya, bersikap tegas terhadap kaum kafir dan berkasih sayang di antara mereka.” Q. S Al Fath: 29

Tamat

 

Edy/ ks/ Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *