Satu Islam Untuk Semua

Friday, 27 November 2015

SEJARAH – Menganal Abu Thalib, Paman Nabi Muhammad (2)


Ketika dampak musim paceklik semakin terasa di masyarakat Makkah dan desa-desa sekitarnya, sejumlah warga datang ke Abu Thalib. Mereka datang untuk memohon pada paman Muhammad itu agar berdoa meminta hujan pada Tuhan.

“Abu Thalib, lembah-lembah menjadi kering. Keluarga kami kelaparan. Jadi, berdoalah pada Allah memohon hujan,” katanya salah satu di antara mereka.

Selepas Abdul Muthalib wafat, Abu Thalib memegang amanah sebagai pemimpin bani Hasyim sekaligus tokoh yang dipercaya menjaga ka’bah. Sebelum Abu Thalib berangkat ke ka’bah, ia menjemput keponakannya Muhammad. Bagi Abu Thalib, apalagi selama ia mengasuhnya, kehadiran Muhammad selalu membawa berkah. Di depan ka’bah, Abu Thalib berdoa kepada Allah didampingi Muhammad yang wajahnya menengadah ke langit. Tidak lama kemudian, guntur bergemuruh dan hujan pun turun dengan deras.

Melihat air hujan yang membasahi tanah Makkah dan desa-desa sekitarnya, Abu Thalib pulang dengan kecintaan pada Muhammad yang semakin besar. Apalagi, Abu Thalib telah mendengar dari sejumlah ulama Ahlul Kitab, baik Nasrani atau Yahudi, yang menyampaikan bahwa tanda-tanda nabi yang dinantikan semakin dekat kemunculannya. Kabar ini senantiasa mengingatkan Abu Thalib pada wasiat Ayahnya yang menyampaikan khusus padanya bahwa Muhammad kelak akan menjadi nabi.

Sebelumnya, ketika berdagang ke Syam, Abu Thalib membawa keponakannya yang masih berusia sembilan tahun. Di Kota Basrah, Abu Thalib bertemu dengan seorang pendeta di sebuah biara. Pendeta yang bernama Buhaira ini salah satu di antara pendeta lainnya yang mendalami masalah kenabian, khususnya tanda-tanda nabi yang dinantikan setelah pengganti Nabi Isa as.

Melihat kehadiran anak yang bersama Abu Thalib, seketika Buhaira memperhatikan wajah Muhammad dengan seksama. Semakin ia perhatikan kepribadian Muhammad, semakin terngiang di benaknya berita gembira yang pernah disampaikan oleh Nabi Isa. Kepada Abu Thalib, pendeta itu bertanya, “siapa nama anak ini?”

“Namanya Muhammad,” jawab Abu Thalib.

Sikap pendeta seketika berubah, ia merendah setelah mendengar nama yang baru saja didengarnya. Kini pendeta itu sadar bahwa anak yang ada di hadapannya itu adalah nabi yang dijanjikan. Bagi Buhaira, kepribadian dan tanda-tanda kenabian sangat jelas melekat pada anak kelahiran Makkah itu.

“Kembalilah ke Makkah. Lindungilah keponakanmu dari orang-orang Yahudi, karena ia akan menjadi orang besar!” kata Buhaira pada Abu Thalib dengan perasaan haru yang bercampur kekhawatiran.

Setelah berdialog dengan pendeta Basrah itu, Abu Thalib pun pulang ke Makkah. Apa yang selama ini ia saksikan secara langsung pada diri keponakannya dan apa yang didengarnya dari sejumlah tokoh agama termasuk wasiat ayahnya, menuntut Abu Thalib semakin meningkatkan kewaspadaan dirinya pada keselamatan Muhammad.

Di tengah-tengah pengasuhan dan perlidungan pamannya, Muhammad tumbuh remaja menjadi seorang pemuda yang begitu santun, jujur dan suka menolong orang-orang miskin dan tertindas. Karena akhlak Muhammad yang mulia itu, masyarakat yang mengenal pribadinya memberikan julukan “Al Amin” (orang yang terpercaya).

Bersambung …

 

Edy/ ks/ Islam indonesia

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *