Satu Islam Untuk Semua

Monday, 02 January 2017

Sebut Pelajar Rentan Radikalisasi, Dr Zuly Qodir: Saatnya Rombak Model Pendidikan Agama


islamindonesia.id – Sebut Pelajar Rentan Radikalisasi, Dr Zuly Qodir: Saatnya Rombak Model Pendidikan Agama

 

Pengamat Sosial Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) sekaligus Peneliti Senior Maarif Institute, Dr Zuly Qodir menegaskan bahwa salah satu elemen masyarakat yang sangat potensial dan rentan dengan radikalisasi adalah remaja (kaum muda) yang berumur 16-19 tahun setingkat SMA di Indonesia.

Berdasarkan kajian literatur dan survei lapangan yang dilakukan lembaga-lembaga yang memiliki konsentrasi dalam membaca masalah terorisme di Indonesia, hubungan antara kaum muda dengan radikalisasi dalam kurun waktu lima tahun terakhir di Indonesia, cukup mencengangkan. Bagaimana tidak, pemuda yang masih belia, berani melakukan pemboman pada sebuah institusi. Atau kalau tidak, sekelompok pemuda usia belia digerebek polisi karena menyimpan amunisi pembuatan bom dengan segala macam peralatan pemboman dan peta wilayah yang akan dijadikan sasaran pemboman.

“Sebagai generasi penerus bangsa, para pelajar dan kaum muda malah terjebak dalam berbagai macam aksi kekerasan dan organisasi yang oleh negara dilarang karena berkecenderungan menjadi organisasi teroris. Ini fakta yang tidak terbantahkan,” ujarnya, Rabu (28/12/2016) lalu.

Sebagian menyatakan radikalisme adalah bagian dari strategi politik kaum agamis. Sebagian lagi menyatakan bahwa radikalisme memang didukung oleh doktrin-doktrin keagamaan, selain dalil sosial politik lainnya.

Sekolah ternyata menjadi arena yang potensial untuk menumbuhkan perilaku radikalisme. Namun demikian, benar adanya tentang problematika pemahaman tentang radikalisme yang sedang melanda Indonesia, terutama kaum muda.

Menurutnya, doktrin agama dan perubahan sosial selalu ditempatkan dalam perspektif yang tidak selalu sejalan. Kadang agama berada pada posisi bertentangan dengan kehadiran perubahan sosial, terutama yang datangnya cepat dan tiba-tiba.

“Materi pengajaran agama di sekolah, bahkan yang belakangan ini berkembang di media sosial, agaknya tidak dapat secara cepat merespon perubahan yang datang dengan cepat, sehingga muncul shock culture, masyarakat dengan kultur agraris tiba-tiba harus berhadapan dengan kultur industrial,” ucapnya.

Fenomena munculnya kelompok kecil yang tidak puas terhadap sistem nilai yang dibangun, ditambah faktor psikologis, politik Indonesia dan internasional, teks keagamaan-tekstualis, figur kharismatik yang hilang.

Komunitas muda yang terdapat di Indonesia, terutama anak-anak sekolah seusia SMP dan SMA, yang secara psikologis masih rentan dan tidak stabil sangat mudah terprovokasi bahkan sekolah telah menjadi ajang masuknya akar-akar radikalisme.

Sekolah sebagai arena akan menemukan titik perkembangannya ketika di sana didapatkan adanya social capital (modal sosial) seperti suntikan dari para agency untuk mendapatkan pemahaman keagamaan.

“Satu hal yang perlu diingat, Indonesia akan menjadi persemaian radikalisme seandainya gagasan-gagasan tentang radikalisme di sekolah mendapatkan ruang,” ujarnya.

Beberapa faktor yang memungkinkan munculnya radikalisme di kalangan kaum muda dalam beragama; faktor tersebut adalah pertama, soal mental health, karena berhubungan erat dengan soal kondisi jiwa seperti kebahagiaan dan kebosanan. Kondisi sosial ekonomi, juga mendorong jiwa menjadi depresi hingga memunculkan perilaku yang menyimpang.

Demikian juga dengan struktur politik yang berubah akibat politik globalisasi, akan berdampak semakin luas pada bentuk-bentuk keagamaan pada era kontemporer.

Kaum muda saat ini, lanjutnya, rata-rata bermental ‘harus’ yang sangat akut dan mengakibatkan degradasi mental akibat budaya instan yang kental. Ditambah lagi, sebagian orang merasa termarjinalkan oleh struktur politik dan ekonomi, yang mengakibatkan munculnya kelompok ‘penyendiri’.

Karena itu, menurutnya Revolusi Mental, jangan hanya menjadi jargon politis, tetapi harus diwujudkan baik dalam infrastruktur maupun pola pembangunan manusia Indonesia.

Lebih-lebih, ujar Zuly Qodir, kurikulum pendidikan agama, harus dirombak total. Reformasi di bidang pendidikan harus dilakukan secara massif.

“Sistem sosial tidak bisa merespon dengan baik perubahan yang terjadi, sementara perangkat keagamaan khususnya doktrin pengajaran agama di sekolah tidak merespon perubahan itu. Yang ada hanya teks tetapi seharusnya teks harus bisa dibaca secara kekinian. Sekarang malah orang belajar agama dari medsos,” ucapnya.

Tanpa disadari oleh pembelajar, teks-teks keagamaan di medsos (media sosial) menjadi sangat rentan, terlebih lagi karena tidak adanya konfirmasi sumber. Tokoh-tokoh baru bermunculan di dunia maya dan tanpa disadari, gelombang dukungan orang muda mengarah para idola baru di medsos.

“Budaya instan itu pun menjelma menjadi model, sesuatu harus diselesaikan dengan instan, pantang pada universalitas. Etika tidak dipakai lagi, yang berbeda adalah musuh dan harus dilawan,” paparnya.

Dengan demikian, lanjut Zuly, kondisi ini tidak bisa dibiarkan. Radikalisme yang mengarah pada tindak terorisme akan terus berlanjut meski ribuan “Jihadis” telah ditangkap, kader-kader terus disiapkan, sepanjang tidak ada daya tangkalnya.

“Cara yang paling masuk akal adalah merombak model pendidikan agama itu,” tegas penulis dua buku tentang fenomena gerakan Islam di Indonesia, berjudul Radikalisme Agama di Indonesia dan Gerakan Islam Non-Mainstream di Indonesia itu.

 

EH / Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *