Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 05 January 2014

Satu Gang Dua Agama


Bertempat di Mushola Al Mukhllashiin, Pendeta Magyolin tengah mengisahkan suatu cerita di hadapan anak-anak dari dua komunitas Muslim dan Kristen (foto:hendijo)

Berbeda keyakinan, namun tetap hidup damai, rukun dan saling menyayangi laiknya saudara. 

 

 

PEREMPUAN muda itu menutup buku kecil yang ada di tangannya. Bibirnya mengembang seolah memamerkan barisan gigi yang putih bersih. Sejenak ia terdiam, menatap lembut wajah-wajah mungil dihadapannya. “Nah, anak-anak…Sekarang Ibu Pendeta mau bertanya khusus kepada adik-adik kecil (balita,pen): kegiatan olahraga apa yang barusan Ibu ceritakan? Ayooo, ”tanyanya dalam gaya yang ekspresif.  

Seorang gadis kecil mengangkat tangan kanannya. Matanya berbinar, mulutnya tersenyum. Namun seperdetik ia  akan membuka suara, tiba-tiba dua bocah laki-laki berteriak, menyambar pertanyaan itu secara hampir bersamaan: “Loncat Indah, Bu Pendetaaa!” Sang gadis kecil sontak memperlihatkan wajah tidak senang dan kecewa. Ia lantas menoleh kepada perempuan muda yang tadi melontarkan pertanyaan seolah memprotes situasi tersebut. 

“Ruben…Sultan…kalian umurnya masih balita ya?”tanya sang perempuan muda seraya tersenyum. Ada kesabaran di dalam nada bicaranya

Sambil tersipu, kedua anak lelaki berbeda keyakinan itu menunduk sejenak. Setelah menyikut pelan, anak yang dipanggil Sultan melirik ke arah temannya yang bernama Ruben tersebut. Mereka lantas tersenyum dan menggelengkan kepalanya masing-masing. 

“Ya sudah lupakan…Ibu Pendeta ganti saja pertanyaannya ya…Ingat lho masih untuk “adik-adik kecil”,”ujar perempuan muda itu seraya tersenyum. Maka selanjutnya larutlah kumpulan bocah-bocah itu dalam keasyikan menjawab berbagai pertanyaan serta menikmati berbagai permainan dan dongeng-dongeng 

 

SUDAH setahun lebih, Magyolin (36) dan sang suami Elan Dharmawan (34) menjadi pendongeng di Komunitas Sabtu Ceria (KSC). Itu nama kegiatan “membaca sambil bermain” yang diselenggarakan oleh pihak Gereja Protestan Indonesia Barat (GPIB) dengan Mushola  Al Mukhllashiin, dua tempat ibadah Kristen dan Islam yang terletak di bilangan jalan sempit bernama Gang Ekadharma ( masuk dalam wilayah RT 01 RW 08 Kelurahan Kampung Tengah, Kramat Jati, Jakarta Timur. 

 “Dari 90 kk yang ada, penganut Islam dan Kristen di RT kami jumlahnya sama besar,”ujar Ketua RT Neng Harti.

Menurut Neng, keakraban antara warga Kristen dan Islam di lingkungan RT 01, sesungguhnya memang sudah terjalin sejak lama. Bahkan Radjab, mertua lelakinya, termasuk warga yang ikut bantu-bantu mengangkut kayu untuk pembangunan gereja  itu pada tahun 1960-an. 

“Orang-orang tua kami di sini sudah biasa saling bantu semenjak dahulu.”ujar perempuan kelahiran Pelabuhan Ratu, Sukabumi 44 tahun lalu tersebut.

Contoh lain, kata Neng, almarhum mantri Yoram Baiin yang praktek di depan gang kerap menggratiskan para tetangganya yang Muslim kalau berobat ke dia. Tradisi itu yang dilanjutkan hingga kini oleh dr.Estu Baiin, salah seorang putri dari almarhum Yoram Baiin.

Ustadz Harun (56), membenarkan apa yang dikatakan oleh Neng Harti. Sebagai salah satu penghuni lama di Gang Ekadharma, dirinya menjadi saksi betapa baiknya para tetangga Kristennya itu. “Mereka itu sopan-sopan dan mudah sekali menolong kalau ada orang kesusahan,”ungkap pengelola Mushola Al Mukhllashiin ini. 

Harun terkenang akan seorang jemaaat GPIB bernama Levi yang juga sekarang sudah meninggal. Semasa ia menjadi ketua RT, Levi-lah yang aktiv dari pintu ke pintu mengundang warga untuk meramaikan kegiatan RT. “Bahkan kalau ke sesama jemaaatnya, ia tak segan-segan marah jika diantara mereka ada yang malas untuk bergaul dan aktiv di kampung kami,”kata lelaki yang pernah nyantri di Bogor itu. 

Pendeta Magyolin tak menafikan suasana kekeluargaan yang ada di lingkungan Gang Ekadharma. Kendati baru  sekitar setahun setengah menjabat kepala pendeta di GPIB Kramat Jati, ia merasa tempat itu sudah selaiknya kampungnya pribadi. 

“ Anak-anak di sini, kalau saya lewat depan rumah mereka pasti akan menyapa saya: Ibu Pendetaaaaa,”ujar kepala pendeta GPIB Kramat Jati itu seraya tertawa riang.

Pergaulan anak-anak di Gang Ekadharma  yang sangat cair, diakui oleh Mochamad Rivai (57). Menurutnya, bukan hal yang aneh jika di Gang Ekadharma seorang  anak dari jemaaat gereja menunggu kawan akrabnya selesai mengaji dulu sebelum bermain. Begitu juga sebaliknya, anak-anak Muslim pun tak segan-segan bermain-main di gereja sambil menunggu kawannya selesai melakukan kebaktian.

“Setiap lebaran, natal dan tahun baru, hal yang sudah biasa jika di sini kami saling mengunjungi dari rumah ke rumah dan saling mengirim makanan,”ujar sesepuh di Gang Ekadharma itu.

Pernah ada kisah, sebuah keluarga Kristen di Gang Ekadharma pindah ke Bekasi karena sudah membangun rumah yang lebih besar di sana. Kepindahan keluarga ini disambut dengan suasana sedih dan haru oleh warga setempat. Eh belum sebulan mereka pindah, keluarga tersebut memutuskan untuk balik lagi ke Ekadharma kendati harus hidup mengontrak.

“Keluarga Pak John itu bilang hidup di Bekasi enggak enak dan tidak kekeluargaan, beribadat juga susah karena orang-orang Islam di sana melarang mereka untuk mengadakan kebaktian,”ungkap Rivai

 

MATAHARI semakin meninggi. Cahayanya menyorong laiknya lampu raksasa yang menyoroti kawasan gang sempit Ekadharma. Di sebuah rumah yang bertulisan “Ketua RT 01 RW 08” , Magyolin tengah bepamitan kepada Neng Herti. Seraya menyerahkan kunci mushola, Magyolin menceritakan perkembangan anak-anak  KSC.

“Eh Bu Pendeta tunggu dulu! Saya  tadi masak sagu ambon nih, minta dicicipi,”ujar Neng Herti seraya melangkah ke dalam. Sekitar setengah menit kemudian, perempuan Sunda tersebut sudah membawa sepiring sagu ambon berkuah santan kental yang langsung berpindah ke tangan Magyolin.

“Aih Si Ibu RT, terimakasih ah,”ucap Magyolin sambil tertawa senang. Usai berpamitan sekali lagi, ia dan Elan melangkah pulang ke rumahnya yang hanya sepelemparan batu dari Mushola Al Mukhllashiin.

Sementara di luar mushola, Ruben, Sultan dan beberapa bocah lelaki masih ramai “berkicau”. Mereka terdengar masih membicarakan dongeng-dongeng damai dari Ibu Pendeta.

 

Sumber: Islam Indonesia 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *