Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 29 May 2016

SATIR–Percakapan Rahasia Abu Bakar Al Baghdadi


Bila Abu Bakar Al-Indunisi sungguh penjamin utama milisi Indonesia yang bergabung sebagai kombatan ISIS di Suriah dan Irak, seperti termaktub dalam dokumen sitaan milisi rakyat Irak, percakapannya berikut ini dengan khalifah ISIS, Abu Bakar Al-Baghdadi, mestinya tak terlalu jauh dari kenyataan:

“Abu Bakar disini.” Suara serak sang khalifah terdengar berwibawa setelah tiga nada dering.

“Salllammm ya samakhatussyekh, khef halukum?” Suara di ujung sana terdengar legit.

“Siapa ini!?”

“Ana … Abu Bakar ya khalifah.”

Hening sebentar, lalu bola pantul. “Saya Abu Bakar,” kata Baghdadi dengan nada formal. “Bung siapa?”

“Oh, ini Al Indunisi, khalifah. Abu Bakar Al Indunisi.”

“Aduhai, timun-timunku, separuh nafasku, ustadz al-duktur Abubakar Al Indunisiiii! Kef khalukum? Semoga Allah Azza Wa Jalla merontokkan tiga jet tempur F16 untuk Anda!”

Kepala Al Indunisi mekar mendengar basa-basi khas Bashra itu.

“Maaf tak mengenali nomer Anda,” kata Baghdadi kemudian. “Maklum harus sering ganti-ganti handphone. Musuh masih dimana-mana. Keif Indonesia? Ada kabar-kabar apa?”

Dua menit setelahnya, Al Indunisi membriefing kilat khalifah dengan seabrek subjek. Yang awal-awal terkait hobi lama khalifah, soal bola, pencabutan pembekuan PSSI, Setya Novanto jadi bos Golkar, demam PKI, maraknya predator seks, Ahok dan reklamasi, hingga trend kenaikan harga pangan jelang puasa.

Tak ada yang menarik selera Khalifah kecuali soal Golkar. “Itu bos baru Golkar siapa namanya?”

“Novanto, khalifah. Setya Novanto.”

“Orangnya seperti apa?”

“Nahkoda ulung, khalifah. Selalu tersenyum dan lihai menggergaji ombak.”

“Hmm, menarik. Bung tolong pastikan dia dan seluruh fungsionaris utama partai dapat edisi terbaru Dabiq. Itu lebih bernas dari Kompas dan seluruh isinya.”

Consider it done, khalifah.”

“Oh iya, predator seks itu mau diapakan?”

“Rencana pemerintah sini mau dikebiri dengan disuntik cairan kimia.”

Masyisyar, itu bisa mengubah sunnatullah. Kirim saja ke sini, biar jadi kombatan. Insya Allah dosa-dosa mereka terhapus.”

“Rrr, siap kami komunikasikan ke pejabat sini, Khalifah.”

“Okay, sekarang apa yang bisa saya bantu? Tolong cepat.”

“Beberapa khalifah. Pertama, bisa nggak video anak-anak Indonesia bakar paspor dan semacamnya itu dikurangi? Sangat tidak strategis untuk dakwah kami di Indonesia.”

“Bung,” kali ini Khalifah gatal memotong, “urusan strategi biar pusat yang memikirkan. Anda tenang deh. Selama wartawan-wartawan stenograph itu tetap memberitakan kita sebagai kelompok teror par excellence, efeknya ke depan pasti bagus. Makin brutal mereka menggambarkan kita, makin baik. Kenapa? Karena memang itulah yang kita harapkan.”

“Maaf, tapi itu bukannya Jaka Sembung bawa golok, Khalifah?”

“Duh, Anda ini bagaimana sih!?” Earphone di kuping Baghdadi nyaris copot. “Kita memang sejak awal ingin Muslim yang setengah-setengah dan jumlahnya banyak ini, berpikiran kitalah kekuatan yang tak mengenal kompromi itu. Kita. Kitalah mimpi-mimpi mereka yang jenuh dan kecewa pada kapitalisme, pada demokrasi dan semua pemerintahan thogut itu. Paham?”

“Siap Khalifah,” kata Al Indunisi. “Semoga ginjal di badan ini layak untuk Anda.”

Tak ada tanggapan.

“Kedua,” kata Al-Indunisi mencairkan kebekuan, “ini terkait sassus pendirian kekhalifahan jarak jauh. Apa benar ada rencana long distance begitu dan jika benar, apa sudah ada keputusan mana yang bakal dipilih, Indonesia atau Mindanao, Filipina? Ikhwan banyak yang bertanya setelah soal ini sempat diberitakan koran Australia.”

Al Baghdadi terlanjur kehilangan selera. “Yang ketiga apa?”

“Anu, maaf sebelumnya bila terkesan kurang ajar, kawan-kawan akhwat ada titip pesan kalau-kalau Anda berkenan tampil bicara di seminar penggalangan dana untuk Aleppo akhir bulan ini?”

“Mujahidah-mujahidah Indonesia mau berbondong-bondong ke sini? Wow! Tumbu ketemu tutup. Berapa orang? Luar biasa kerja Bung mendukung kekhalifahan dari jauh. Jannah balasannya.”

“Siap bukan, Khalifah. Anda yang kami minta jadi pembicara tunggal di seminar penggalangan dana itu, via telekonferensi tentunya. Pesertanya, semuanya perempuan. Kami jamin bisa ribuan orang yang datang.”

“Hmm, too dangerous. Bagaimana kalau mentahnya saja?”

“Khalifah mau datang langsung ke Indonesia?”

“Aih, bagaimana sih ini? Maksud saya, Anda galang saja dana-dana idle itu dan gunakan hasilnya untuk mengirim kombatan baru ke sini. Lebih efisien, bukan?”

“Siap diusahakan, Khalifah.”

“Ini ada request lagi, apa dibolehkan kami merilis bendera ISIS dengan warna selain hitam? Biar kesannya nggak terlalu gloomy? Pink misalnya. Anak-anak muda di sini mestinya suka.”

Isma’ ya Indunisi, kita ini bukan radio FM. Awas kalau Anda ubah!”

Klik. Jalur putus. Baghdadi harus kembali masuk bunker. Al Indunisi mengusap wajah, tersenyum puas, sebelum kembali kecut. Ghirah jihad membuat dia lupa menanyakan nasib uang persekot pengiriman pejihad ke Irak dan Suriah yang sudah tiga bulan belum cair.[]

 

RQ/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *