Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 07 May 2015

Sabdaraja, Awal Kisruh Kesultanan Yogyakarta


209174_620Sabdaraja Sultan Hamengku Buwono X akhirnya berujung kisruh. Pasalnya pernyataan sikap Sultan sekaligus Gubernur Yogyakarta yang menghapus gelar “Sayyidina Panatagama Khalifatullah” itu menyalahi tradisi kekeratonan yang selama ini berjalan.

Diantara tanda kekisruhan yang ditimbulkan adalah ‘pembangkangan’ adik-adik Sultan yang tidak hadir dalam pembacaan Sabdaraja oleh Sultan.

Sultan membacakan dua kali Sabdaraja, Sabdaraja I, 30 April 2015 dan Sabdaraja II, 5 Mei 2015.

Gelar Sayyidina Panatagama Khalifatullah yang disematkan kepada raja Yogyakarta merupakan gelar pemimpin bagi umat Islam, sebuah warisan kerajaan Mataram Islam masa silam. Sehingga ketika melepas gelar tersebut dengan sendirinya mencopot pemimpin umat dari sosok sang raja.

Paugeran atau adat keraton dengan gelar pemimpin umat Islam ini tertuang dalam serat Sastra Gending karya Sultan Agung Prabu Hanyakra Kusumo.

Serat tersebut berisi petuah Sultan Agung agar merawat aturan dan tradisi leluhur kesultanan sejak masa silam.

Salah satu adik tiri Sultan yang keberatan dengan sikap kakaknya itu adalah Gusti Bendoro Pangeran Haryo Yudhaningrat.

“Harus mengembalikan gelar yang lama, ngarso dalem kita yang pakai gelar khalifatullah. Kalau tidak dibatalkan pasti cerai berai”, katanya seperti dilansir Koran Tempo, Kamis.

Menurutnya, bukan hanya kerabat keraton yang keberatan dengan Sabdaraja, namun masyarakat Yogyakarta dan santi dari Jawa Barat dan Jawa Timur pun memprotesnya, dan akan sowan menemui Sultan.

Menurut tradisi Yogyakarta dan kesultanan dunia Islam di Timur Tengah, seorang Sultan selain sebagai raja yang mengurus negara juga merupakan pemimpin umat Islam yang mengatur keagamaan, bahkan dianggap sebagai wakil Tuhan di bumi.

Biang kisruh kesultanan lainnya adalah sikap Sultan yang mengakat putri sulungnya, Gusti Kanjeng Ratu Pembayun, sebagai putri mahkota yang akan menjadi pemimpin Yogya selepas ayahnya mangkat.

Sikap Sultan tersebut kembali dianggap menyalahi tradisi oleh kerabat keraton karena mengangkat seorang perempuan sebagai Mangkubumi atau raja.

Di kalangan umat Islam sendiri perempuan menjadi pemimpin umat merupakan sesuatu yang tabu.

Apakah Sultan masih keukeuh dengan keinginannya melepas gelar agar putrinya kelak menggantikan posisinya? Bisa-bisa kesultan kembali terpecah seperti masa silam.

MA/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *