Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 29 November 2015

Riyadh Ingin ‘Mundur Terhormat’ dari Yaman?


Pada 26 November, agresi militer Saudi ke negara tetangganya yang paling miskin dan terbelakang, Yaman, genap delapan bulan. Per Oktober, Saudi diperkirakan menghabiskan dana sekitar US$ 1,2 milyar untuk invasi udara ke Yaman. Ini belum termasuk serangan darat yang diperkirakan menelan biaya US$ 500 juta per bulan.

“Saudi mau tak mau harus menghabiskan biaya besar untuk pertahanan dan membeli dukungan dari sekutu-sekutunya di kawasan. Saudi harus membeli banyak persenjataan dari AMerika dan tidak bisa mengabaikan ancaman yang datang dari pihak pembela Yaman,” kata Grigory Kosach, pengamat Timur Tengah di Rusia.

Sayangnya, agresi dengan biaya selangit ini tidak membuahkan hasil. Hingga hari ini, Yaman tidak juga bertekuk lutut. Bahkan, pada 25 November lalu, pangkalan militer Saudi, Nahuqah, di Najran jatuh ke tangan tentara Yaman. Negara miskin ini benar-benar telah menyeret negara-negara kaya, Saudi dan sekutunya, dalam perang berkepanjangan, melelahkan dan menguras dana yang tidak sedikit.

Di tengah-tengah bersikukuhnya Menteri Luar Negeri Saudi, Adel Al Jubair, mempertahankan opsi militer di Suriah, diam-diam Wakil Putra Mahkota Muhammad bin Salman dikabarkan siap keluar dari perang melawan Yaman. Kabar ini telah dikonfirmasi oleh Al Ahed News sebagaimana yang diungkapkan oleh akun Tweeter “Mujtahid” (27/11). Akun yang sempat di-hack oleh Dinas Intelijen Saudi pasca tragedi Mina ini mengungkapkan, putra Salman telah berbicara pada Oman agar Riyadh bisa keluar secara terhormat dari perang melawan Yaman.

Kepada Oman yang diminta sebagai mediator, Menteri Pertahanan ini hanya mensyaratkan dua poin, dimana ketika keduanya disepakati maka Riyadh siap menghentikan perang. Pertama, pasukan Yaman harus menjauh dari perbatasan wilayah Kerajaan yang mana saat ini telah banyak dikuasi oleh pasukan Ansarullah dan Komite Populer Yaman. Kedua, menjamin untuk “tidak menyentuh” (mantan) Presiden Abd Rabbuh Mansur Hadi yang sedang melarikan diri, begitu pula pemerintahannya di Aden.

Perihal yang sama disampaikan oleh sumber lain yang tidak dimuat oleh akun “Mujtahid”. Menurut Al Ahed News, sumber berita menyebutkan bahwa delegasi Inggris telah mendarat di Teheran, Iran, beberapa hari yang lalu dengan membawa “pesan titipan” dari Riyadh. Pesan yang disampaikan: Putra Mahkota Muhammad bin Nayef dan wakilnya Muhammad bin Salman, saat ini benar-benar siap untuk menghentikan perang ke Yaman setelah mereka berdua menyadari agresi ini tidak membuahkan hasil. Delagasi Inggris yang memposisikan dirinya sebagai mediator ini meminta “waktu” pada pihak Tehran agar Riyadh bisa membuat “gencatan senjata terhormat” di Yaman. Dalam opsi “damai” ini, menurut informan, Washington turut dilibatkan untuk menyampaikan pesan “damai” ini pada Houthi via pihak Tehran.

Benarkah opsi ini sedang diupayakan oleh Riyadh? Kita tunggu saja. Yang jelas, opsi mundur merupakan pilihan yang paling realistis dibanding opsi lainnya mengingat Riyadh sedang menghadapi badai politik yang sangat serius di dalam negeri. Sebelumnya, sejumlah kebijakan yang dinilai memalukan, termasuk opsi militer di Yaman, membuat internal keluarga istana retak. Bulan lalu, beredar surat dari internal keluarga kerajaan yang mendesak reformasi kepemimpinan Raja Salman. Sang pangeran yang tidak ingin disebutkan namanya ini mengkritik kebijakan putra sang raja, yang juga menjabat Menteri Pertahanan, karena kecerobohannya menyikapi permasalahan Yaman.

“Pangeran Muhammad bin Salman telah membuat onar di Yaman tanpa strategi atau opsi yang matang. (Sedemikian sehingga) telah menguras banyak dana dan korban jiwa, krisis kemanusiaan dan datangnya kritik dari dunia internasional,” katanya kepada The Guardian.

Keluarga Istana pun pecah, disusul keluarnya laporan lembaga moneter dunia (IMF) yang menyatakan ekonomi Riyadh akan “habis” pasca jatuhnya harga minyak dunia. IMF memperkirakan Riyadh pada tahun ini mengalami defisit US$ 107 miliar dan hal itu bakal terjadi hingga 2020.

Alih-alih memukul ekonomi Moskow dan Tehran dengan menjatuhkan harga minyak, rumah tangga Riyadh kini menghadapi badai krisis. Di kawasan, Moskow dan Tehran semakin menjauhkan harapan politik luar negeri Riyadh yang menginginkan kejatuhan pemerintahan Bashar Asaad di Suriah. Kerugian besar telah menimpa Riyadh, dan tentunya sahabatnya, Washington,  gerah dengan situasi geopolitik kawasan yang terjadi akhir-akhir ini.

Semakin krusialnya situasi dalam negeri, membuat Riyadh harus mempertimbangkan ulang kebijakan luar negerinya, khususnya perang melawan Yaman. Kerajaan sepertinya harus memastikan keselamatan rumah tangganya ketimbang mengusik tetangganya yang hingga kini tidak juga menunjukkan tanda-tanda kekalahan apalagi menyerah.

 

Edy/ Islam Indonesia

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *