Satu Islam Untuk Semua

Monday, 15 June 2015

REPORTASE – Di Aceh, Apem & ‘Keunduri Bulan’ Warnai Awal Ramadhan


Matahari belum lagi sepenggal saat beberapa perempuan paruh baya berkerumun di halaman rumah Nuraini. Seperti pasukan semut yang tangkas, sebagian tengah sibuk membakar batok kelapa untuk dijadikan bara api. Sebagian lainnya sibuk meramu adonan kue apem dalam sebuah ember besar hitam. 

Hari itu menandai hari ke-44 meninggalnya Nuraini. Para perempuan desa sejak pagi sudah berada di rumah duka untuk membakar apem di sebuah tungku besar.

Sudah menjadi kebiasaan warga di Desa Pulo Baroh, Bireuen, untuk menyiapkan kue apem saat takziyah hari ke-44. Makanan khas ini kemudian dibagi-bagikan kepada masyarakat kampung yang lewat saat hendak ke sawah, atau sengaja dipanggil untuk datang ke rumah. Jika tidak, pemilik rumah akan mengutus anaknya untuk mengantar apem yang telah dimasak ke rumah tetangga. Masyarakat menyebutnya ‘keunduri apam’.

“Meskipun tidak tahu kenapa harus bakar apam, tapi ini sudah tradisi kalau 44 hari orang meninggal kita keunduri apam,” kata Nuraini.

Nek Tu (90), salah seorang yang paling tua di desa, bercerita ke reporter Islam Indonesia kalau ‘keunduri apam’ dilakukan untuk menghormati arwah orang yang sudah meninggal. Masyarakat meyakini selama 44 hari setelah seseorang dicabut nyawanya oleh Malaikat Izrail, arwah orang tersebut masih datang ke rumah untuk melihat keluarga yang ditinggalkan, katanya.

Memasak apem di halaman rumah pada hari ke-44 menjadi pertanda itu merupakan hari terakhir bagi arwah untuk datang ke rumahnya, kata Nek Tu melanjutkan ceritanya.

Meski sama-sama melakukan ‘keunduri apam’, namun lain halnya dengan Desa Deunong, Kecamatan Darul Imarah, Aceh Besar, tempat Afrida Hasan (37) menjadi juru masak apem saat kenduri berlangsung. Di desa ini, ungkapnya, memasak apem biasanya berlangsung pada hari ke-15 setelah orang meninggal.

“Bagi orang yang banyak duit, mereka bakar apam lalu dibagikan ke pesantren. Jadi orang-orang di pesantren akan berdoa untuk orang yang telah meninggal itu. Kalau tidak, cukup dibagikan ke tetangga di kampung,” sebutnya.

Afrida mengisahkan bahwa memasak apem pada hari ke-15 atau hari ke-44 orang meninggal sebagai bentuk kenduri yang dilakukan masyarakat. Jika ada orang yang tidak sanggup untuk kenduri dengan nasi, maka digantikan berkenduri dengan apem.

Dalam buku “Aceh di Mata Kolonial“, maha guru orientalis Belanda, H. C. Snouck Hurgronje (1985:250) mengaitkan tradisi bakar apem dengan sebuah kisah lama. Dia bilang zaman dulu ada orang Aceh yang ingin mengetahui nasib orang di dalam kubur, terutama pertanyaan yang diajukan Malaikat Mungkar-Nakir serta hukuman yang diberikan jika orang dalam kubur tidak bisa menjawab.

Nah, tulis Hurgronje, orang tersebut lalu pura-pura meninggal dan dikuburkan. Dalam kubur, dia langsung diperiksa amalannya oleh malaikat. Karena banyak kekurangan, dia dipukul malaikat dengan pentungan besi. Tapi pukulan itu tidak dapat mengenainya, sebab ada sesuatu yang tidak dapat dilihatnya dengan jelas dalam kegelapan dan berbentuk bulat seperti bulan seolah-olah melindunginya dari pukulan. Kemudian, dia berhasil keluar dari kuburan tersebut dan segera menemui anggota keluarganya yang notabene terkejut melihat dia kembali.

Ketika orang Aceh tersebut menceritakan pengalamannya, diketahuilah bahwa sesuatu berbentuk bulan yang menolongnya sewaktu dipukul di kubur itu adalah kue apem yang tengah dibuat oleh keluarganya. Maka dari itulah tradisi masyarakat Aceh membuat apem jika ada orang meninggal.

 

Penanda Jelang Puasa

Kue apem/apam atau dalam Bahasa Indonesia disebut serabi merupakan salah satu penganan khas Aceh. Meskipun sama-sama berbentuk bulat, apem memiliki ukuran sedikit lebih besar dibandingkan serabi. Makanan ini dimasak langsung menggunakan tungku tanah liat bercorong yang disebut cudu. Berbeda dengan serabi yang dimasak langsung menggunakan kompor gas, apem hanya bisa dimasak dengan bara api yang berasal dari batok kelapa dan dibakar terlebih dahulu.

“Kalau dengan kompor akan hangus dan rasanya tdak enak, tapi kalau dengan arang agak lengket seperti memasak nasi di dapur,” tutur Afrida.

Membakar apem/apam tidak hanya dilakukan pada hari kematian. Di Aceh, kegiatan toet apam (memasak apam) juga dilakukan oleh kaum hawa pada bulan Rajab atau dua bulan menjelang bulan Ramadhan. Bulan ini dikenal dengan Buleun Apam (Bulan Apam). Hal ini kerap menjadi pertanda bahwa sebentar lagi masyarakat Aceh akan menyambut bulan puasa. Selama satu bulan masyarakat akan memasak apam yang kemudian dibagikan kepada tetangga sekitar atau balai pengajian.

“Dalam bulan apam, selama satu hari kita akan masak apam. Misalnya tidak sempat di awal bulan, boleh di akhir bulan,” sebut Afrida. Dirinya mengaku kerap dipanggil ke rumah orang yang berhajat untuk memasak apam.

Tradisi bulan apam ini paling terkenal di daerah Pidie, Aceh Utara, Aceh Besar dan beberapa kabupaten lain di Aceh. Meskipun kegiatan memasak ini kerap dilakukan oleh kaum ibu-ibu di desa, Afrida mengatakan tidak menutup kemungkinan para lelaki untuk ikut membakar apam.

Apam yang selalu dimasak Afrida untuk berbagai acara di kampungnya adalah apam gurih. Apam ini dibuat dari tepung beras nasi atau teupong breuh bit yang dicampur dengan santan, sedikit garam, dan satu kelapa kukur giling (ue paton) yang telah diblender. Saat hendak dimasak, cukup menambahkan air hangat dalam cudu. Air hangat yang ditambahkanpun tidak terlalu banyak atau tidak terlalu sedikit, untuk menjaga adonan apam agar tidak terlalu encer atau terlalu keras. “Masak apam tidak pakai minyak, karna nanti rasanya akan lain dan berbau minyak,” kata Afrida.

 

Nurul Fajri/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *