Satu Islam Untuk Semua

Friday, 17 February 2017

RENUNGAN JUMAT – Takut pada Allah


Islamindonesia.id — RENUNGAN JUMAT – Takut pada Allah

 

Salah satu istilah yang lazim dipakai oleh para sufi dan ulama akhlak adalah kata taqwa selanjutnya ditulis, takwa). Dalam Alquran dan teks-teks hadis, baik sebagai kata kerja (fi’il) ataupun kata benda (ism), kata takwa telah disebut kira-kira sebanding dengan kata iman dan lebih banyak dari penyebutan kata shaum dan hajj, misalnya. Hal itu menunjukan tinggi dan pentingnya kedudukan takwa dalam pandangan Islam.

Di dalam kitab Nahj alBalaghah terdapat satu khotbah panjang yang bernama Khothbah alMuttaqin. Khotbah ini disampaikan oleh Sayidina Ali bin Abi Thalib sebagai jawaban atas permintaan seseorang yang menginginkan penjelasan tentang sifat-sifat seorang yang bertakwa.

Pada mulanya Sayidina Ali menghindar untuk memberi jawaban dan hanya memberi tiga atau empat kalimat jawaban. Namun orang yang bernama Hammam bin Syarih itu tidak merasa puas dengan jawaban singkat beliau dan berkeras meminta keterangan selanjutnya.

Maka berbicaralah Sayidina Ali menyangkut karakteristik spiritual, intelektual, moral dan tindak tanduk orang-orang yang bertakwa sampai lebih dari seratus sifat. Para sejarahwan menulis bahwa khotbah Sayidina Ali berakhir bersamaan dengan jatuh pingsannya Hammam.

Secara bahasa, kata takwa berasal dari akar kata waqyan, yang berarti “penjagaan” dan “pemeliharaan”. Dalam terjemahan bahasa Indonesia, belum terlihat ada orang yang menerjemahkan takwa dengan arti “memelihara” atau “menjaga” diri.

Pada umumnya orang Indonesia memandankannya dengan “ketakwaan” atau “menjauhi (larangan Allah)”. Bila kata ini digunakan dalam bentuk kata kerja perintah, maka orang cenderung menerjemahkannya menjadi “takut”.

Ungkapan ittaqullah, umpamanya, sering diterjemahkan menjadi “takutlah kepada Allah”. Padahal, tak seorang ahli bahasa pun yang mengatakan bahwa arti “takwa” adalah takut atau menjauhi (larangan).

Penjagaan dan pemeliharaan diri dari satu hal booleh jadi memang erat kaitannya dengan rasa takut terhadap atau upaya menjauhi hal tersebut. Jadi, dapatlah dipahami mengapa pada beberapa tempat kata takwa secara metaforis diartikan “menjauhi” atau “taku”.

Tetapi, kita harus sadar bahwa maksud pokok dari kata itu adalah “memelihara” dan “menjaga” diri. Apa yang membuat kita membatasi arti ittaqullah pada “takutlah kepada Allah?”! Arti yang lebih tepat dari ungkapan itu ialah “peliharalah dirimu dari pembalasan Allah”. Oleh karena itu, terjemahan yang tepat dari kata “takwa” bukan “menjauhi” atau “takut”, melainkan “menjaga dan memelihara diri”.

Raghib al-Isfahani dalam kitabnya yang termasyhur alMufradatAlfadz Alquran mengatakan,” Kata wiqayah berarti menjaga sesuatu dari hal-ha yang menyakitkan. Adapun takwa berarti menempatkan diri di dalam penjagaan dari sesuatu yang menakutkan.

Kata takwa dalam pandangan syariat berarti menjaga diri dari hal-hal yang akan menyeret manusia kepada perbuatan dosa dan meninggalkan ha-hal yang dilarang dan diharamkan olehnya.” Bahkan, secara gamblang Raghib mengatakan bahwa arti “takwa” ialah menjaga dan memelihara diri, sementara penggunaan kata “takwa” dalam arti “takut” adalah penggunaan majazi atau metaforis.

Berkenaan dengan rasa takut kepada Allah SWT, mungkin sebagian kita bertanya-tanya, apa maksud takut kepada Allah? Apakah Allah adaah Dzat yang menakutkan? Bukankah Allah adalah Dzat Mahasempurna dan layak dicintai? Dan mengapa manusia harus takut kepada Allah SWT?

Dalam memberikan jawaban terhadap pertanyaan ini, kita mengatakan bahwa memang Allah adalah Dzat yang mempunyai sifat-sifat baik yang tidak menyebabkan atau mendatangkan rasa takut. Takut kepada Allah SWT maksudnya ialah takut kepada hukum keadian Allah. Di dalam suatu doa disebutkan: “Wahai Dzat yang tidak diharapkan dari-Nya kecuali karunia-Nya, dan juga tidak ditakuti dari-Nya kecuali keadilan-Nya.

Demikian juga dalam doa lain disebutkan: “Mahasuci Engkau yang tidak perlu ditakuti kecuali keadilan-Mu, dan tidak diharapkan kecuali karunia dan kebaikan-Mu.”

Keadilan itu sendiri pada hakikatnya bukanlah sesuatu yang menakutkan. Manusia merasa takut kepada hukum keadilan karena ia sadar telah berbuat kesalahan atau melanggar hak-hak orang lain.

Oleh karena itu, para sufi mengajarkan bahwa seorang pelancong spiritual harus mempunyai keseimbangan dalam merasa cemas dan berharap (khawf dan raja‘). Ia mesti senantiasa berharap dan cemas, berpikir positif sekaigus negatif secara seimbang.

Maksudnya, seorang Muslim harus senantiasa takut dan khawatir terhadap pembangkangan hawa nafsu dan kecenderungan jahat dalam dirinya, supaya kendali urusan tidak terlepas dari genggaman akal dan keimanan. Tetapi, pada saat yang bersamaan, dia harus tetap merasa yakin dan berharap akan kebaikan dan ampunan Allah SWT dengan memohon perlindungan dari-Nya.[]

 

MK/YS/ islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *