Satu Islam Untuk Semua

Friday, 16 September 2016

RENUNGAN JUM’AT—Kaleidoskop Tongkat Nabi Musa dalam Al-Qur’an


Islamindonesia.id–Kaleidoskop Tongkat Nabi Musa dalam Alquran

 

Dalam bahasa Arab, ada perbedaan antara الحية (alhayyah) dan الثعبان (al-tsu’ban). Kata alhayyah digunakan untuk menunjukkan ular kecil, sementara al-tsu’ban berarti ular besar. Mari kita lihat bagaimana Al-Qur’an menggunakan dua kata ini.

Kasus Pertama
Saat Nabi Musa berjalan malam hari bersama keluarganya dan melihat seberkas api yang ingin dimanfaatkan, Allah menyuruhnya untuk membuang tongkatnya. Allah berfirman: “Lemparkanlah ia, hai Musa! Lalu dilemparkannyalah tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular (hayyah) yang merayap dengan cepat.”

Dalam ayat ini, Allah menggunakan kata hayyah (ular kecil), karena tujuan peristiwa ini adalah menunjukkan mukjizat kepada Nabi Musa. Allah tak ingin menakut-nakutinya. Maka tongkat itu hanya berubah menjadi ular kecil.

Kasus Kedua
Ketika menemui Fira’un dan diminta untuk menunjukkan bukti kebenaran, Nabi Musa melemparkan tongkatnya. Lalu tongkat itu berubah menjadi tsu’ban (ular besar). Allah berfirman, “Maka dia melemparkan tongkatnya, salu seketika itu juga tongkat itu menjadi ilar besar yang sebenarnya.” (Al-A’raf: 108).

Dalam kasus kedua ini pelemparan tongkat dan perubahannya menjadi ular bertujuan untuk menakut-nakuti Fir’aun, siapa tahu dia percaya dan menerima ajakan Nabi Musa. Karenanya, tongkat itu pun berubah menjadi ular besar yang nyata.

Kasus Ketiga
Setelah para penyihir berkumpul dan melempar tongkat dan tali mereka untuk menyihir mata khalayak, Nabi Musa melemparkan tongkatnya. Allah berfirman: “Dan Kami wahyukan kepada Musa, ‘Lemparkanlah tongkatmu!’ Maka seketika ia menelan apa yang mereka sulapkan.” (Al-A’raf: 117).

Dalam kasus ketiga ini, Al-Qur’an tidak menyebut jenis ular besar atau kecil. Mengapa? Jika kita renungkan, maka kita menemukan bahwa dalam kenyataannya para penyihir itu memberikan ilusi bahwa temali yang mereka lemparkan itu hidup dan bergerak, sebagaimana firman Allah, “Maka tiba-tiba tali-tali dan tongkat-tongkat mereka terbayang (diilusikan) kepada Musa seakan-akan ia merayap cepat, lantaran sihir mereka.” (Thaha: 66).

Dalam situasi seperti di atas, yang dibutuhkan bukan sekedar menakut-nakuti khalayak dengan ular besar atau menunjukkan mukjizat bahwa tongkat Nabi Musa bisa berubah menjadi ular kecil, melainkan tongkat itu sendiri yang bergerak dengan cepat dan menelan seluruh tali dan tongkat yang dilemparkan para penyihir itu secara hakiki. Tujuannya agar khalayak yang melihat pertunjukan itu meyakini bahwa tali-tali dan tongkat-tongkat para penyihir itu mewakili kepalsuan dan kebatilan, sementara tongkat Nabi Musa mewakili hakikat dan kebenaran.

Maka itu Allah berfirman: “Karena itu nyatalah yang benar dan batallah yang selalu mereka kerjakan. Maka mereka kalah di tempat itu dan jadilah mereka orang-orang yang hina. Dan ahli-ahli sihir itu serta merta meniarapkan diri dengan bersujud. Mereka berkata: “Kami beriman kepada Tuhan semesta alam, (yaitu) Tuhan Musa dan Harun.” ((Al-A’raf: 118-122)

Saat kita renungi kata per kata dan kalimat per kalimat dalam seluruh ayat di atas, maka kita akan menemukan ketelitian dan kejelian mukjizat yang mengagumkan, sedemikian sehingga sungguh tidak mungkin satu kata atau kalimat diganti dengan kata atau kalimat lain. Itulah bahasa Al-Qur’an yang disebut “Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (Fushshilat: 42).

Ya Allah, tambahkanlah ilmu kami dalam memahami Al-Qur’an dan bimbinglah kami mengarungi kehidupan ini dalam suluh cahayanya.[]

AJ/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *