Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 02 April 2014

Rasul pun Hapus Basmallah Demi Toleransi


www.csrc.or.id

Mengapa harus bertoleransi?

 

Dalam perjanjian yang dinamakan Hudaibiyah, Rasul Saw. pernah meminta secara langsung kepada Ali bin Abi Thalib—yang kala itu menuliskan naskah perjanjian, agar menghapus kalimat “Bismillahirrohmanirohim” dan menggantinya dengan kata “Bismikallahumma” sesuai usul pihak lawan (kaum musyik).

Bukan hanya itu, dalam kalimat perjanjian yang tertulis, “Inilah perjanjian antara Muhammad Rasulullah dan wakil dari kaum musyrik Makkah”, pun diubah setelah kaum musyrik mengusulkan untuk diubah, menjadi kalimat, “Inilah perjanjian antara Muhammad putra Abdullah”, dengan tidak mencantumkan embel-embel kerasulan beliau.

Kepada Ali, Rasul berkata, “Hapus kata “Rasulullah” dan ganti dengan “Muhammad bin Abdullah”.

Melihat ini, Ali dan para sahabat sebetulnya tidak setuju dengan konsep toleransi yang diperintahkan Rasul itu. Mereka enggan menghapus dan menggantinya dengan kalimat yang tidak mencerminkan simbol Islam. Namun, Rasul yang penuh sikap toleransi ini, lebih memilih untuk menghapus tujuh kata itu, demi perdamaian, demi kemaslahatan antar umat manusia—tanpa melihat apa agama dan kepercayaan mereka.

Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, MA, dalam suatu akun Youtube mengatakan, “Kita memang tidak boleh mengorbankan akidah demi toleransi, tetapi dalam saat yang sama kita tidak boleh mengorbankan toleransi atas nama akidah.”

Dalam akun itu, cendekiawan muslim dalam ilmu-ilmu Alquran itu juga menambahkan, “Kita perlu bertoleransi. Karena itu sekian banyak ayat Alquran berbicara atau menganjurkan kita menerapkan toleransi itu. Bacalah surah Saba’ ayat 25 dan 26. Anda akan menemukan di situ, Nabi diajarkan untuk menyampaikan kepada kaum musyrik, kepada non Muslim, bahwa kami atau Anda yang berada dalam kebenaran atau kesesatan yang nyata, yakni boleh jadi kami yang benar, boleh jadi juga kami yang salah. Tetapi nanti Allah akan menghimpun kita, dan Dialah yang akan memberikan putusan siapa yang benar dan siapa yang salah,”

“Ini bukan berarti kita mengorbankan akidah dengan kita berkata bahwa kita salah, tetapi  demi kehidupan bermasyarakat yang penuh kedamaian. Jangan mempermasalahkan orang, katakanlah “Boleh jadi Anda benar, boleh jadi juga Anda salah.”

Istilah toleransi ini, dalam Islam dikenal dengan sebutan tasamuh (diambil dari bahasa Arab), yang berarti batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih dapat diterima. Toleransi adalah penyimpangan dari yang tadinya harus dilakukan, penyimpangan yang dapat dibenarkan.

Mantan Menteri Agama pada Kabinet Pembangunan VII, itu bertanya dengan nada retoris, “Mengapa manusia harus bertoleransi? Agama menyatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial, pasti berbeda-beda. Itu bukan saja keniscayaan, itu juga kebutuhan. Tapi dalam saat yang sama, Tuhan menghendaki juga agar kita bersama, bersama dengan Tuhan dan bersama dengan seluruh manusia karena kita semua berasal dari ayah dan ibu yang sama.”

Keniscayaan perbedaan dan keharusan persatuan itulah yang mengantar manusia harus bertoleransi, lanjut pemikir Islam itu.

“Sekali lagi kita bertanya, mengapa harus bertoleransi? Karena semua manusia mendambakan kedamaian. Tanpa toleransi tidak mungkin ada kedamaian. Semua kita mendambakan kemaslahatan. Tanpa toleransi, tidak akan ada kemaslahatan. Semua kita menginginkan kemajuan. Tanpa toleransi, kemajuan tidak akan tercapai. Dari sini, agama pun memberikan tolerasi, bukan saja kehidupan kemasyarakatan, tapi juga dalam kehidupan beragama.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *