Satu Islam Untuk Semua

Friday, 30 May 2014

Ramadhan dan Tradisi Kami


foto:haaretz.com

Kedamaian menjelang ramadhan itu, apakah harus pergi meninggalkan kami?

 

ADA hal yang selalu saya kenang bila menjelang Ramadhan tiba. Di kampung kami, orang-orang saling mengunjungi. Bukan hanya sekadar untuk beramah tamah atau berbagi makanan, tapi juga untuk saling menghancurkan dendam dan dengki serta memulai hari yang suci dalam kebersihan hati. Tidak hanya kepada Haji Kholil yang seorang ustadz atau kepada Ajengan Bacrum semata, kami pun mengunjungi Engkoh Apuk yang Kong Hu Chu dan keluarga Sinaga yang Protestan.

Di tempat kami, dahulu Ramadhan selalu identik dengan kedamaian. Semua orang menyambut bulan yang penuh berkah itu dengan penuh suka cita dan cinta. Tak ada yang kecewa, termasuk orang-orang miskin yang pada hari-hari itu merasa termanjakan.

Namun situasi itu lantas berubah seratus delapan puluh derajat dalam 16 tahun terakhir ini. Begitu orang-orang tua kami yang bijak dan penuh welas asih meninggal dunia, tiba-tiba muncul sekelompok manusia yang merasa paling benar  sendiri dan parahnya memaksakan kebenaran versi mereka dalam bentuk tindak kekerasan. Masa-masa indah pun kini telah berlalu.

Formalisasi agama malah menjadikan yang ikhlas menjadi berpamrih. Bahkan lebih dari itu, apreasiasi terhadap perbedaan cenderung jadi diharamkan. Padahal karena perbedaan itulah, kita menjadi mahluk yang tunduk kepada ketentuan Tuhan. Sikap tidak toleran dan memaksakan kebenaran hanya dalam satu bahasa menjadi cermin betapa bebalnya kita. “Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan”(16:93).

Bentuk beragama seperti itu pula yang menjadikan Ramadhan tampil dalam rupa kapitalisme yang sangat prima. Lewat televisi, sikap konsumtif, hedonis dan materialistik seolah diniscayakan sebagai sesuatu yang sesuai dengan agama.

Islam lantas dipaksa tampil sesuai selera pasar, kebaikan agama hanya melulu jadi persoalan rating dan soal lakunya barang-barang  yang diproduksi oleh para agen pasar. Padahal bukankah yang harus diakbarkan dalam situasi bulan suci itu adalah empati sosial?

Memang tidak ada yang salah bila berbisnis di saat Ramadhan. Yang menjadi salah adalah ketika ambisi meraup keuntungan melebihi cita-cita mulia kita menjadi mahluk yang kembali suci dan peduli kepada sesama, di bulan penuh berkah ini. Kenapa dalam hal memperlakukan Ramadhan, kita tidak semanusiawi orang-orang tua kita dulu? Mungkin zaman telah berubah, tapi jika perubahan itu bergerak ke arah yang salah, perlu kita ingatkan kembali. Wallahu a’lam bisshowab (hendijo)

 

Sumber: Islam Indonesia

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *