Satu Islam Untuk Semua

Monday, 17 February 2014

Prof.Mitsuo Nakamura: Ormas Islam Jangan Cepat Terjun ke Politik


foto:rimanews.com

Para aktivis NU dan Muhammadiyah harus belajar berkompromi terlebih dahulu sebelum berkiprah di dunia politik

 

Usianya sudah termasuk dalam ketegori sepuh:81 tahun. Namun bukan berarti lelaki Jepang kelahiran Manchuria itu menjadi pasif dan tidak produktif. Alih-alih demikian, ia malah bisa dikatakan sangat dinamis, bahkan jauh dinamis dibanding para peniliti muda sekalipun. Buktinya, hampir di setiap perhelatan besar yang terkait dengan Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, sosoknya selalu hadir lengkap dengan tongkat kayunya.

Profesor Mitsuo Nakamura memang sudah akrab dengan dunia Islam Indonesia. Jika dihitung, ini adalah tahun ke- 44, ia memfokuskan penelitiannya kepada perkembangan sosial berbagai organisasi Islam (terutama Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah). Begitu akrabnya Mitsuo dengan kalangan nahdliyin, hingga para pengikut NU menyangkanya sebagai seorang ulama besar Jepang..Ada suatu kisah lucu, ketika suatu hari Mitsuo diajak Gus Dur mengikuti sidang khusus syuriah di Muktamar NU ke-26 di Semarang Jawa Tengah. Begitu masuk ruangan, beberapa anggota syuriah NU menyalaminya dengan cara mencium tangan.

“Hahaha…Saya jadi malu sendiri, karena tidak terbiasa diperlakukan seperti itu. Ya sudah untuk mengatasi rasa grogi, sebelum sidang selesai saya keluar saja,” ujar antropolog dari Chiba University, Jepang tersebut.

Lantas bagaimana pandangan mutakhir penulis buku Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin tersebut terhadap peran Muhammadiyah dan NU di jagad sosial politik Indonesia? Apa yang harus dilakukan oleh ormas-ormas Islam tersebut untuk menjadi aktor politik yang ciamik di panggung politik Indonesia? Beberapa waktu lalu, Hendi Jo dari Islam-Indonesia mewawancarai  profesor  yang ramah senyum itu. Berikut kutipannya:

 

Anda lama meneliti Muhammadiyah dan NU, bagaimana anda melihat posisi organisasi Islam terbesar di Indonesia itu saat ini?

Saya melihat Muhammadiyah  dan NU sekarang sudah menjadi dua kekuatan masyarakat madani yang sangat mapan secara sosial. Ini wajar menurut saya, jika mengingat usia organisasi ini yang sudah begitu lama. Anda tahu, bagaimana para pendiri Muhammadiyah  dan NU, begitu aktifnya menjalankan berbagai rintisan upaya reformasi baik lewat pendidikan, sosial, ekonomi. Mereka memang sudah berniat menjadi sebuah kekuatan sosial keagamaan sejak lama.

Tapi sekarang (terutama sejak reformasi 1998 bergulir), walaupun tidak secara langsung, Muhammadiyah dan NU sudah mulai bergerak ke ranah politik, Prof, komentar anda?

Ini gejala wajar menurut saya. Ketika saluran politik yang sudah lama tersumbat tiba-tiba dibuka, orang-orang akan berlomba-lomba memanfaatkannya. Termasuk orang-orang Muhammadiyah dan NU. Mereka tentunya ingin eksis secara politik, karena lewat dunia ini aspirasi Muhammadiyah dan NU bisa tersalurkan lebih luas. Persoalan muncul saat para politisi Muhammadiyah dan NU yang bertebaran di parpol-parpol harus menyesuaikan kemuhammadiyahannya dan ke-nu-annya dengan mainstream politik yang ada. Bisakah? Ini tantangan buat mereka.

Terjunnya para aktivis Muhammadiyah dan NU di berbagai lembaga politik, tentunya tidak hanya akan “berhadapan” dengan saudara-saudara sesama orang Islam, tapi juga sesama orang Muhammadiyah dan NU sendiri. Ini bagaimana menurut anda?

Ini sebuah kewajaran era post modernisme. Jika orang-orang Muhammadiyah dan NU memutuskan untuk masuk dunia politik dengan sendirinya mereka pun harus siap dengan berbagai perbedaan-perbedaan. Anda tahu, di era postmo setiap perbedaan akan selalu diaktualkan, sekecil apapun perbedaan tersebut. 

Kalau begitu konsekwensi logisnya adalah disparitas atau malah benturan politik ya?

Itu resiko yang tak bisa dihindari. Justru jika ini bisa disalurkan dalam tataran wacana, saya melihat alih-alih menjadi masalah malah ini akan menjadi sebuah energi baru dalam pembentukan Islam jenis baru di Indonesia. Artinya selama ide-ide disampaikan secara konstruktif, tidak dengan cara main pukul-pukulan ya (tertawa), ini sangat berguna buat menentukan strategi umat Islam untuk masa depan dan tentunya untuk pendewasaan politik umat Islam juga.

Tapi banyak kalangan yang melihat umat Islam itu sebagian besar belum siap berdemokrasi?

(Tertawa) Itu soalnya. Tapi saya rasa mereka adalah orang-orang terpelajar, walau itu tidak menjamin tapi setidaknya mereka tahu mereka harus memelihara fair play dalam berpolitik. Soal politik ini, saya menyarankan kepada organisasi-organisasi Islam untuk jangan cepat terjun ke dunia politik hanya semata-mata karena kekuasaan. Itu jangan dilakukan saya pikir. Yang diperlukan ketika mereka terjun ke dunia politik adalah bagaimana mereka bisa belajar saling menghargai dan berkompromi dengan pihak lain. Saya rasa itu hikmah yang harus dipetik.

Terakhir Prof, banyak orang bilang pasca reformasi ini, Muhammadiyah yang dulu dikenal sebagai representasi revivalisme Islam tengah mengalami gerak moderasi yang sangat kencang. Anda melihatnya bagaimana?

Memang benar, dulu Muhammadiyah selalu tegas jika menyikapi berbagai isu yang terkait dengan Islam. Walaupun karena mengambil sikap tersebut mereka tak jarang harus berhadapan dengan kekuasaan. Tapi saat ini, pasca reformasi, tingkat refresifitas itu kan sudah sirna. Di era yang serba bebas ini untuk apa mempertahankan lagi sikap yang kaku? Saya pikir, pengambilan sikap untuk menjadi moderat adalah masuk akal secara hitungan-hitungan politik.

 

Sumber: Islam Indonesia

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *