Satu Islam Untuk Semua

Friday, 02 May 2014

Presiden Sesederhana Sayyidina Umar


hikmah-ramadhan.pelitaonline.com

Jauh di Amerika, ada sosok pemimpin yang memilih hidup sederhana bak Umar bin Khattab.

 

Hampir sebagian besar orang mengakui akan sosok Sayyidina Umar bin Khattab, sang khalifah, pemimpin besar yang tegas, pemberani, adil, bersahaja dan juga kharismatik.

Betapa tidak, di tangannya Islam berjaya, dan tumbuh sangat pesat. Berkat kepemimpinannya, Islam berhasil menaklukkan Mesir, Suriah, Afrika Utara, Palestina, dan Armenia dari kekaisaran Romawi (Byzantium).

Namun, meski namanya membumbung tinggi, dan dikenal sebagai panglima yang hebat dan pemberani hampir oleh seluruh umat pada masa itu, khalifah Umar justru mencontohkan hidup sederhana.

Sebuah kisah cukup terkenal dari Umar, adalah ketika seorang panglima besar bernama Hurmuzan dan ditemani Sayyidina Anas Bin Malik ra datang dengan kebesaran dan kemegahannya, untuk menemui Umar.

Saat itu, dengan diikuti pemuka-pemuka terkenal dan seluruh anggota keluarganya, Hurmuzan memasuki Madinah dengan menampilkan keagungan dan kemuliaan seorang raja. Ia datang dengan menggunakan perhiasan bertatah permata melekat di dahi, mantel sutra menutupi pundaknya, dan sebilah pedang dengan hiasan batu-batu mulia menggantung di sabuknya.

Ia membayangkan bahwa orang yang akan ditemuinya itu juga seperti dirinya. Tinggal di istana megah, ditemani para pemuka terkenal, dan memakai baju mahal lagi mewah.

Namun, sesampainya di Madinah, Umar tidak sedang ada di tempat, dan mereka diberitahu jika Umar sedang menerima delegasi dari Kufah di masjid.

Mereka pun bergegas ke Masjid. Tetapi tidak juga bertemu Umar. Melihat rombongan itu, anak-anak di Madinah memberitahu bahwa Umar sedang tidur di beranda kanan masjid dengan menggunakan mantelnya sebagai bantal seorang diri.

Betapa terkejutnya Hurmuzan, ketika ditunjukkan bahwa laki-laki yang ia cari itu hanya mengenakan pakaian sederhana dan tidur di masjid. Hurmuzan beserta rombongannya nyaris tidak percaya. Apa yang mereka pikirkan jauh berbanding terbalik dengan apa yang dilihat. Mereka heran dengan “gaya hidup” Umar yang demikian.

“Engkau, wahai Umar, telah memerintah dengan adil, lalu engkau aman dan bisa tidur dengan nyaman.” Ujar Hurmuzan berdecak kagum.

Sayangnya, kisah kesederhanaan Umar ini sangat jarang kita jumpai di kalangan pemimpin saat ini. Seorang presiden, panglima besar, terkenal hingga ke seantero dunia, namun memilih hidup sederhana.

Hampir setiap pemimpin atau pejabat, seolah berlomba memperkaya diri sendiri. Bahkan. Demi ego pribadinya, tak jarang bila akhirnya mereka terjebak dan kemudian mengambil apa yang bukan menjadi haknya.

Namun, jauh di negara bagian Amerika sana, tepatnya di Uruguay, ada seorang presiden yang memilih hidup layaknya Sayyidina Umar.  

José Alberto Mujica Cordano namanya. Ia mengenakan pakaian sederhana, tinggal di sebuah rumah pertanian sederhana di luar ibu kota. Bahkan, jalan menuju kediaman Mujica belum dilapisi aspal. Ia tentu jauh dari kata mewah dengan tampilan seadanya.

Sejak berhasil meraih kursi kepimpinan, ia segera mendonasikan 90 % gajinya setiap bulan, yakni 12.000 dollar AS atau hampir Rp 120 juta, untuk berbagai kegiatan amal. Sebelumnya ia menjabat sebagai Menteri Pertanian Peternakan dan Perikanan (2005-2008) dan kemudian menjadi senator.

Tak ada penjagaan ketat pasukan elite kepresidenan. Hanya dua polisi dan anjingnya yang hanya memiliki tiga kaki, Manuela, yang terlihat mengawasi di pintu masuk pertaniannya. Di pertaniannya, Mujica dan istrinya bahkan menanam sendiri bunga-bunga yang menjadi pemasukan baginya.

Alasan Mujica memilih hidup sederhana.

Sebagian orang mungkin akan bertanya, mengapa ia memilih hidup sederhana, meski berhasil menduduki kursi presiden. Ia pun menjawab, “Hampir seluruh hidup saya habiskan dengan cara seperti ini. Saya bisa hidup baik dengan apa yang saya miliki saat ini,” kata Mujica.

Pada 2010, ketika kekayaan pribadinya diumumkan, saat itu total kekayaan Mujica hanya 1.000 dollar (kurang lebih 11 juta), sebanding dengan harga sebuah mobil VW Beetle keluaran 1987.

Sebelumnya, Mujica pernah masuk penjara selama 14 tahun, dan sempat mengalami penembakan sebanyak enam kali. Ia ditahan akibat menjadi anggota pemberontak Tupamaros, kelompok bersenjata berhaluan kiri yang terinspirasi revolusi Kuba antara  1960-an sampai 1970-an.

Namun sebagian besar masa penahanannya yang sangat buruk dan dalam sel isolasi itu, diakuinya sebagai pembentuk kepribadian dan pandangan hidupnya saat ini.

Miskin di mata Mujica

Media internasional menyebutnya sebagai “presiden termiskin di dunia”. Namun, tampaknya ia kurang setuju dengan sebuatan itu. Sebaliknya, ia mengatakan kepada Aljazeera bahwa orang yang miskin adalah mereka yang selalu memaksa berkonsumsi di luar kebutuhannya.  

“Miskin itu mereka yang kebutuhannya selalu berlebih. Karena kebutuhannya terlalu berlebih, maka ia tidak pernah puas.”

“Ini adalah masalah kebebasan. Jika Anda tak memiliki banyak barang, Anda tak perlu bekerja keras untuk mempertahankannya dan bekerja seumur hidup layaknya budak. Dengan cara seperti ini, Anda memiliki lebih banyak waktu untuk diri sendiri,” tambahnya.

“Banyak yang mengatakan saya orang tua gila atau eksentrik, tapi ini adalah masalah pilihan,” lanjutnya.

Ya, apa yang diungkapkan Mujica ini mengingatkan kita pada peringatan Gandhi puluhan tahun lalu, “Bumi ini sebenarnya cukup, bahkan berlebih, untuk memberi makan semua penduduk bumi. Namun menjadi tidak cukup untuk memberi makan satu orang yang rakus.”

 

Berbagai sumber.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *