Satu Islam Untuk Semua

Friday, 02 May 2014

Phil Robertson: Brunei Kembali ke Abad Pertengahan


www.amnesty.org

Warga mengecam pemberlakuan hukum syariat sebagai sesuatu yang barbar dan keluar dari karakter nasional Brunei yang lembut.


Meski rencana Brunei untuk menerapkan hukum syariat sempat menuai banyak kritik, baik dari dalam maupun luar negeri, dan sempat membuat masyarakat dunia kebingungan menyusul adanya penundaan tanpa penjelasan atas pemberlakuan hukum tersebut—yang awalnya diperkirakan akan dimulai pada 22 April, namun pada Rabu lalu, akhirnya Kesultanan mengumumkan bahwa pelaksanaan hukum Islam tersebut mulai diberlakukan pada Kamis (1/5).

“Saya yakin dan saya bersyukur kepada Allah yang Mahakuasa untuk mengumumkan bahwa besok, Kamis 1 Mei 2014, kita akan melihat penegakan hukum syariat tahap pertama, dan akan diikuti tahap-tahap berikutnya,” demikian pernyataan Sultan dalam sebuah pidato seperti dimuat Channel News Asia, Rabu (30/4).

Tahap awal tersebut memperkenalkan hukuman denda atau penjara jika melakukan perbuatan melawan hukum, mulai dari perilaku tidak senonoh, menyebarkan agama selain Islam, tidak shalat Jumat, dan hamil di luar pernikahan.

Sementara tahap berikutnya, yang akan diterapkan 12 bulan kemudian memberlakukan hukum kepada para pencuri dan peminum alkohol dengan hukuman cambuk dan potong.

Akhir tahun depan, sebagai tahap terakhir, akan diberlakukan hukum rajam hingga mati bagi para pelaku zina, sodomi, dan menghina Al Qur’an serta Nabi Muhammad Saw.

Pemberlakuan hukum ini, mengundang berbagai penolakan, termasuk dari kantor hak asasi manusia PBB yang mennyatakan “sangat prihatin” dan mengatakan, langkah itu (hukum rajam) dalam hukum internasional diklasifikasikan sebagai kekejaman yang tidak manusiawi dan merendahkan manusia.

Begitu pun dengan masyarakat non-Muslim dan etnis Tionghoa, yang berjumlah sekitar 15 persen dari penduduk keseluruhan yang didominasi Muslim dengan jumlah hampir 70 persen dari 400.000 warga Brunei.

Kecaman warga muncul melalui sosial media—dimana semua orang bisa dengan mudah menyampaikan aspirasi  mereka—dan menganggapnya sebagai sesuatu yang barbar dan keluar dari karakter nasional Brunei yang lemah lembut.

Bahkan, wakil direktur Human Rights Watch untuk kawasan Asia, Phil Robertson mengatakan bahwa, keputusan Brunei memberlakukan hukum syariat ini tak ubahnya seperti “Kembali ke abad pertengahan.”

Namun, Sultan Hassanal Bolkiah yang berumur 67 tahun  ini menganggap bahwa pemberlakuan hukum syariat merupakan pencapaian terbesar bagi negara itu, dan bukan kemunduran atau sebuah langkah kuno.

Ia menanggapi orang-orang yang tidak sependapat dengan dirinya, dan memerintahkan untuk berhenti memberikan kritik, “Teori menyatakan bahwa hukum Allah itu kasar dan tidak adil, tapi Allah sendiri telah mengatakan bahwa hukum itu memang adil,” kata Sultan.

Ia juga menyebut bahwa Islam berfungsi sebagai sebuah ”tembok pembatas” terhadap globalisasi. Sebab,lanjutnya, pengaruh asing seperti internet merusak negara konservatif itu. Sehingga, ia bermaksud menekankan nilai-nilai keislaman kepada seluruh warganya.

 

Berbagai sumber

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *