Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 29 January 2014

Pesta Para Penempuh Jalan Sufi


ukhuwahindamay.blogspot.com

Sufi melakukan pesta?

 

Hampir sebagian besar manusia suka berpesta.  Menyantap makanan yang enak lagi lezat dengan ditemani alunan musik yang menggembirakan, dekorasi ruangan yang cantik dan memesonakan pasang mata, juga perjumpaan dengan para kerabat yang tentunya juga menyenangkan.

Hal ini pun tak jauh beda dengan para penempuh jalan sufi. Mereka begitu merindukan pesta. Tak ayal, demi mempersiapkan pesta tersebut para sufi ini akan mempersiapkannya sedari jauh hari.

Namun, pesta yang dimaksud para penempuh jalan sufi ini agak berbeda dengan pesta pada umumnya.

Mereka menyebutnya dengan istilah Al-Faaqoh, yakni suatu kondisi yang disebut-sebut para penempuh jalan sufi sebagai pesta—yang merupakan kebutuhan mendesak bagi para perindu Tuhan.

Pesta, menurut Ibnu Ath-Thaillah ialah sebaik-baik waktu –dimana Anda melihat wujud sifat butuh Anda yang sangat mendesak itu. Sehingga Anda melihat diri Anda serba salah dan serba gagal. Karena dengan rasa butuh yang mendesak itulah Anda memutuskan dari yang lain, dan mengembalikan diri Anda kepada Allah azza wa-Jalla.

Kenapa disebut sebagai pesta? Karena mereka menikmati buah dari Musyahadah kepada-Nya. Dalam syair, Maulana Jalaludin Rumi mengatakan;

Kehinaanku adalah KemuliaanMu

Kehilanganku adalah KerinduanMu

Ketiadaanku adalah KeabadianMu

Kepedihanku adalah CintaMu

Kekuranganku adalah KelebihanMu

Kesendirianku adalah pertemuanku denganMu

Kematianku adalah kebangkitanMu

Kebisuanku adalah TitahMu

Aku adalah Kamu, Kamu adalah Aku…

Ibnu Athaillah melanjutkan:

“Terkadang Anda meraih anugerah yang bertambah ketika dalam rasa butuh yang mendesak, yang tidak Anda jumpai ketika Anda puasa dan shalat.”

Untuk berpesta, kaum sufi pun mengibaratkannya dengan hari raya–melakukan persiapan yang cukup detail dan panjang. Yakni, dengan melalui riyadhah (latihan)—yang diawali dengan taubat, dan seterusnya.

“Esok hari raya, apa yang kau pakai?”

Kukatakan, “Hidangan seteguk cintaNya. Fakir dan sabar adalah pakaianku. Di bawahnya ada kalbu yang memandang. Rasa butuh yang mendesak. Sungguh hari raya dan pertemuan. Pakaian yang paling halus ketika engkau bertemu Sang kekasih di hari saling berziarah. Pada baju yang saling terpakai. Tahun-tahun begitu lamban bagiku. Bila engkau pergi wahai harapanku. Sedang pesta raya tiba. Jika dirimu selalu tampak di cermin dan mendengarku.”

Para penempuh jalan sufi ini meyakini bahwa, dengan merasa butuh yang sangat mendesak pada Tuhan, mampu meluluhlantakkan nafsu di hadapan-Nya. Dengan kondisi ini, ia ingin menjauhi hal-hal yang tak berguna. Bahkan dalam kitab Lathaiful Minan, Ibnu Athaillah mengatakan:

“Dalam bencana dan situasi yang serba butuh ada rahasia kasih sayang yang tidak bisa dimengerti kecuali oleh orang yang memiliki mata hati. Tidakkah Anda tahu, bahwa bencana itu mematikan hawa nafsu, meredakan dan mengeluarkan dari tuntutan seleranya, dan di balik bencana itu ada rasa hina dina yang muncul, sedangkan pada rasa hina itulah pertolongan tiba.”

“Sungguh, Allah benar-benar menolongmu di saat perang Badar, sedangkan saat itu kalian  dalam keadaan hina dina.” (Ali Imran: 123)

“Rasa butuh itulah hamparan-hamparan bagi anugerah-anugerahNya.”

Abu Yazid al-Bizthamy, mengatakan, “Kekayaan rahasia kami dipenuhi dengan khidmah, bila Anda menginginkan, maka Anda harus berikap merendah dan penuh rasa butuh kepadaNya.”

Syeikh Abdul Qadir al-Jilany menambahkan, “Aku mendatangi semua pintu Allah Azza wa-Jalla, dan yang kudapati penuh sesak, namun ketika aku datangi Pintu hina dina dan rasa butuh, rasanya begitu sunyi. Ketika aku masuki memalui pintu tersebut, tiba-tiba aku sudah berada di paling depan mendahului kaum sufi dan aku tinggalkan mereka yang berdesak-desak memasuki pintu-pintuNya yang lain.”

Inilah yang tersirat di balik ayat, hasil munajat Nabi Musa as : ”Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat membutuhkan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.” (Al-Qashash, 24).

Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary mengatakan, ”Datangnya kebutuhan yang mendesak merupakan pesta bagi para penempuh.”

Nabi dan para kekasih-Nya saja begitu merasa sangat hina dengan menyebut pesta sebagai jalan menuju-Nya, lantas bagaimana dengan kita (sebagai manusia biasa?).

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *