Satu Islam Untuk Semua

Monday, 21 April 2014

Perpustakaan Sebagai Pusat Peradaban


foto:istimewa

Perpustakaan seperti yang kita kenal sebagai tempat disatukannya berbagai buku dari berbagai latar belakang keilmuan.  Dalam sejarah Islam, perpustakaan memegang peranan penting dalam membangun peradaban. Menurut John L Esposito dalam “Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern”, perpustakaan-perpustakaan Islam pernah mengalami kejayaan. Hal ini tidak lepas dari kegemaran kaum Muslimin untuk  belajar, membaca dan mengembangkan pemikirannya yang kemudian dibukukan. 

 Adalah Khalid bin Yazid (704 M), dikenal sebagai sastrawan sekaligus kolektor buku. Mulanya, tradisi pengumpulan dan kepustakaan itu berawal dari perorangan, lembaga masjid, dan lembaga pendidikan. Institusi paling mononjol soal ini adalah masjid.

Kemudian Khalifah al-Manshur (775 M) disebut-sebut sebagai pendiri cikal bakal perpustakaan. Ia mendirikan biro terjemahan di Baghdad. Pada pemerintahan al-Ma’mun (833 M), inisiatif tersebut disempurnakan dengan pendirian Bayt al-Hikmah yang merupakan perpustakaan pelopor kala itu. Bahkan, lembaga yang berdiri pada 830 M itu, didaulat sebagai lahan sentral pengetahuan dunia Islam. 

Seorang tokoh islam, Ahmad bin Ismail berkata “Buku adalah teman yang dapat bercakap-cakap denganmu dimalam hari, tidak menyulitkan dirimu sewaktu menggumulinya, tidak merepotkan  untuk berbaik-baik kepadanya. Buku merupakan forum yang tidak pernah berlebih-lebihan terhadap dirimu, kawan yang tidak pernah merusakmu, teman yang tidak pernah membosankanmu, penasihat yang tidak pernah menggelincirkanmu”

Dalam sejarah kesusastraan Arab, para pujangga sangat suka menelaah buku-buku secara bersamaan dalam sebuah forum. Kegiatan ini dirasakan lebih menyenangkan hati dan bermanfaat ketimbang berakrab-akrab dengan kepala atau pembesar-pembesar negara.

Seorang pujangga ternama yang juga pernah menduduki jabatan menteri dalam pemerintahan di Andalusia,  Muhammad bin Abdul Malik, pernah mengasingkan diri dari segala aktivitasnya untuk beberapa bulan. Saat.. Al Jahiz ingin berkunjung  ia memilihkan hadiah yang dianggapnya terbaik untuk sang Menteri, yaitu sebuah kita karya Sibawaihi yang ahli dalam  bahasa Arab. Menteri menerima hadiah itu dengan senang hati.”Sungguh mati, Anda telah menghadiahiku sesuatu yang sangat kusenangai,” ujarnya.

Kisah lain menceritakan, ada seorang khalifah yang memanggi seorang ilmuwan untuk dimintai pendapat, Khalifah tersebut memerintahkan pesuruh menemui ilmuwan tersebut. Sang Ilmuwan di temukan saat dia sedang duduk di ruang belajar dengan didampingi buku-buku bertimbun-timbun.

 “Pak,  Amirul Mu’minin memanggil bapak,” kata pesuruh. “Baiklah, tolong sampaikan kepada khalifah bahwa disini ada sedang ada serombongan pemikir, dan saya sedang berbincang-bincang dengan mereka. Seusai pembicaaan nanti saya akan segera menemui beliau,” ujar Sang Khalifah.  Pesuruh itu kembali dan menyampaikan kepada khalifah jawaban sang ilmuwan tadi. “Pemikir-pemikir dari mana pula yang datang ke situ?” kata khalifah bertanga-tanya. “Entahlah, saya tidak melihat seorang tamu pun disitu”, katanya menjelaskan. “Kalau begitu kembalilah dna bawa belliau ke mari sekarang juga, lata Khalifah memerintahkan. Sampai sang Ilmuwan di tempat kediaman Khalifah, khalifah menanyakan kepadanya, “Siapa-siapa saja para ahlli pikir yang ada di rumah Anda?” ” Wahai Amirul Mu’minin! Mereka itu dapat saya terangkan sebagai berikuti,” kata ilmuwan sembari mengucapkan bait-bait.

Mereka adalah majelis yang cakapnya tak membosankan, juru di dekat, terpecaya di kejauhan. Bila menemuimu di kesunyian, sakapnya menolongmu hilangkan kedukaan. Dari ilmunya dipelajari masa silam, darinya diperoleh pikiran, adab dan pandangan mendalam. Tiada kecemasan dan ketakutan di pergaulan, tiada baginya lisan dan tangan menakutkan. Andai kukatakan mereka mati, itu bukanlah kedustaan. Bila kukatakan mereja hidup, itu pun bukan kesintingan.

Mendengar syair itu, mengertilah sang khalifah  bahwa yang dimaksudkan dengan ahli-ahli pikir tadi bukan orangnya melaikan buku-buku  yang asyik dibaca oleh sang ilmuwan. “Baiklah,” kata khalifah memakluminya.

Begitu sangat gandrungnya orang dengan ilmu yang terangkum dalam buku, mereka begitu sangat menghargai sebuah buku. Bahkan tidak sedikit para ulama dan pejabat yang dengan senang hati mengumpulkan dana demi lahirnya sebuah buku, yang sudah pasti merupakan gudang ilmu. Bagi mereka kehilangan harta dan rumah tangga lebih gampang diatasi ketimbang kehilangan buku-buku. Bentuk moralitas ilmiah yang “menjangkiti” para ulama dan pejabat menjadikan mereka berlomba-lomba “hunting” sebuah karya ilmiah dan membelinya langsung dari pengarang. Seorang panglima Andalusia, Al-Rakam, mengutus seseorang untul membeli kitab sastra berjudul “Al Aghani langsung dari pengarangnya, Abul Faraz Al Asfihani dengan harga seribu dinar emas.  Karakter masyarakat yang begitu mencintai buku akhirnya melahirkan munculnya sejumlah perpustakaan dengan  puluhan ribu karya didalamnya.

Negeri Bagdad mencatat ada banyak perpusatakaan yang muncul dijaman itu, diantaranya perpustakaan yang bernama Al Hikmah di Karkar, Bagdad yang dimiliki Ali bin Yahya Al Munajjim. Jangan dibayangkan perpustakaan dijaman itu kuno, dengan hanya terdiri dari rak dan buku saja, namun disana ada banyak pegawai yang mengelolanya secara khusus. Ada sejumlah ruangan yang dirancang dan dipergunakan secara khusus untuk operasional perpustakaan, seperti  ruang karyawan, ruang tidur (bagi pengunjung yang membutuhkan), juga ada ruang makan.  Tidak kalah bagus perpustakaan di Mosul yang bernama Darul Ilmi yang dibangun oleh Abdul Qasim Ja’far bin muhammad bin Hamdan Al-Mushily.  Koleksi disana merupakan wakaf untuk semua yang ingin menuntut ilmu. Semua orang berhak masuk, tanpa kecuali dan bahkan  pengelola memberikan bantuan keuangan bagi mereka yang membutuhkan, termasuk bantuan untuk penulis. Konon, Muhammad bin Abdul Malik memberikan sumbangan sebesar 2000 dinar setiap bulannya untuk keperluan penerjemaan dan  pengadaan buku baru.

 

Berikut adalah beberapa perpustakaan yang pernah ada  dan menjadi bagian perkembangan Islam ;

 

1. Perpustakaan Darul Hikmah di Kairo

Perpustakaan ini dibangun oleh Al Hakim Bi Amrillah. Mulai dibuka pada tanggal 10 JUmadil Akhir 395 H. Bangunan perpusatakaan ini tergolong megah dan Indah. Darul Hikmah memiliki jumlah karyawan yang cukup dengan jumlah buku mencapai 720.000 buah. Perpustakaan ini dibuka untuk umum. Mereka yang datang diperbolehkan menyalin buku dan dipersilakan menggunakan segala fasilitas yang disediakan, seperti pena, tinta, kertas dan lain sebagainya.

 

2. Perpustakaan Fathimiyah di Kairo

Perpustakaan ini merupakan terlengkap  karena memiliki koleksi judul buku mencapai 2.000.000 (dua juta buku).

 

3. Perpustakaan Baitul Hikmah di Bagdad

Perpustakaan ini didirikan oleh khalifah Harun Al Rasyid. Kemudian dimasa pemerintahan Al Ma’munbin Harun Al-Rasyid, perpustakaan ini berkembang pesat. Banyak penulis dan penerjemah yang menterjemahkan buku-buku yang didapat dari negeri yang ditaklukkan, seperti Anqara, Amoriya, dan Cypress. Konon, kemenangan dalam pertempuran dengan Romawi, menyebabkan  pemerintah Bagdad meminta pemerintah Romawi agar memperbolehkan timnya untuk menerjemahkan buku-buku yang ada diperpustakaan Romawi.

 

4. Perpustakaan Al Hakam di Andalusia

Di  Andalusia, perpustakaan Al Hakam tergolong lengkap karena menyimpan tidak kurang dari 400.000 koleksi buku. Pengelolaan perpustakaan diserahkan kepada tenaga ahli, sehingga buku-buku yang ada terkelola dengan baik.

 

5. Perpustakaan Bani Ammar di Torobis

Perpustakaan ini memiliki lebih dari 180 orang penulis aktif buku dan naskah yang dipekerjakan secara bergillir setiap harinya. Untuk mencari bahan-bahan atau manuskrip yang ingin diterjemahkan, pengelola tidak segan-segan mengirim seorang “pemburu” (hunter) untuk mendapatkan naskah yang layak untuk diterjemahkan.

 

6. Perpustakaan Keluarga Jarrodah

Jarrodah adalah nam seorang ulama besar di Aleppo. Salah seorang keturunannya, Abdul Hasan bin Abu Jarrodah (wafat 548 H) menulis dengan tangan ribuan buku, yang kemudian dihitung mencapai 3 lemari buku. Konon, anak-anaknya diberikan masing-masing satu lemari. Sayang, perpustakaan inii saaat ini hancur karena  terkena imbas konflik yang berkecamuk.

Sayang, kekayaan dunia Islam berupa buku-buku yang tersimpan rapi dalam perpustakaan harus hilang, rusak dan hancur akibat konflik. Yang lebih membuat “pilu” ketika perang terjadi, para tentara dengan sengaja merusak dan menghancurkan buku-buku.Bahkan menurut cerita, sungai Tigris airnya sempat hitam karena tinta tulisan dalam buku luntur. Di Spanyol / Andalusia, ketika terjadi peperangan, setiap harinya ratusan buku dibakar dengan sengaja di lapangan Granada.

Sebagai sumber ilmu dan peradaban, keberadaan perpustakaan  yang bisa diakses oleh seluruh masyarakat menjadi sebuah kebutuhan. Untuk itu salah satu cara yang sangat mungkin adalah membangun kembali perpustakaan-perpustakaan, termasuk perpustakaan masjid, yang dikelola dengan baik.  Kegiatannya,  tentus saja bukan  hanya soal pinjam meminjang, namun bisa lebih dimaksimalkan sebagai pusat  ”Pergerakan” intelektual dalam membangun umat menjadi lebih berkualitas . [SR]

 

 

Sumber : IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *