Satu Islam Untuk Semua

Friday, 15 November 2013

Penyematan “Gus Dur Bapak Pluralisme” Dinilai Kurang Tepat


Penyematan gelar Bapak Pluralisme kepada Almaghfurlah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus ditinjau kembali. Pasalnya, perjuangan Gus Dur bukan hanya pada ranah pluralitas atau pluralisme. Namun, justru pada wilayah yang lebih besar, yakni kemanusiaan atau humanisme. Pluralisme merupakan ranting dari cabang besar bernama humanisme. 

Hal ini ditegaskan Syaiful Arif pada diskusi dan bedah buku hasil karyanya bertajuk “Humanisme Gus Dur: Pergumulan Islam dan Kemanusiaan” di hotel Akmani, Jl. KH Wahid Hasyim No. 91, Jakarta (12/11), kemarin siang. Kegiatan ini disponsori oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI. 

“Saya tidak sependapat dengan penyematan gelar tersebut. Pasalnya, Gus Dur itu sangat konsen memperjuangkan kemanusiaan. Ketika beliau membela minoritas non-muslim, Tionghoa, Ahmadiyah, dan lain-lain, maka yang dibela adalah manusianya. Bukan institusi Tionghoa dan Ahmadiyahnya. Saya curiga, penganugerahan gelar ini merupakan upaya pemerintah ‘mengandangkan’ Gus Dur hanya pada ranah pluralisme semata,” kata Arif. 

Hampir semua media, baik cetak maupun elektronik, mengabadikan sambutan Presiden SBY saat memimpin upacara pemakaman Presiden keempat RI di Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur. Dalam sambutannya atas nama negara, SBY menyebut bahwa Gus Dur adalah tokoh pluralisme dan multikulturalisme. Oleh karenanya, gelar sebagai Bapak Pluralisme pun patut disematkan kepada Sang Guru Bangsa. 

“Hemat saya, membela humanisme otomatis memperjuangkan pluralisme. Sebaliknya, memperjuangkan pluralisme tidak otomatis membela humanisme. Saya justru melihat bahwa Gus Dur merupakan sosok ideolog kemanusiaan. Tak berlebihan kiranya jika beliau ingin dipahatkan sebuah tulisan ‘Di Sini Dimakamkan Seorang Humanis’ di atas pusaranya,” tegas santri asal Kudus ini. 

Dalam buku setebal 342 halaman ini, Arif mendedahkan sosok Gus Dur yang ia sebut sebagai “Gus Dur Muda”, yakni Gus Dur berbasis teks yang banyak berkutat dengan buku, majalah, jurnal, dan pemikiran. Hal ini dilakukan mengingat penulisan buku tentang Gus Dur baru menyentuh sosok dan kegiatan sosial keagamaan dan kemasyarakatan khususnya ketika Gus Dur menjabat Ketua Umum PBNU dan Presiden RI. Sangat minim yang mengelaborasi pemikirannya yang sangat brilian pada era 70-an. 

“Dalam buku ini, saya sengaja memilah antara Gus Dur Muda dan Gus Dur Tua. Namun, di buku ini saya membatasi pada ranah Gus Dur Muda yang sangat konsen pada ranah ilmiah. Sejak pertengahan tahun 1970-an hingga akhir 1980-an, Gus Dur mengupayakan keadilan sosial vis-a-vis developmentalisme Orde Baru. Beliau bahkan sempat menjadi pemimpin redaksi jurnal Wawasan yang memuat pemikiran pembangunan alternatif sebagai counter discourse atas pembangunanisme negara,” ujarnya. 

Arif menambahkan, upaya penulisan buku ini hendak membumikan pemikiran Gus Dur yang berbasis teks. Arif hendak memperkenalkan teks Gus Dur ke tengah belantara pemikiran dunia. Menurut dia, ketika Gus Dur hanya dipahami kebijakannya yang kontroversial lantaran keilmuannya yang sangat tinggi, sementara masyarakat tak mampu memahaminya, maka kehadiran buku ini merupakan langkah awal membumikan teks Gus Dur tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *