Satu Islam Untuk Semua

Friday, 16 May 2014

Pengisian “Lampu Darurat” di Alam Kubur


Muslimvillage.

Setelah nyawa dicabut dan ditempatkan di kuburan, iman dan perbuatan baik kita menghasilkan cahaya yang secara otomatis menerangi kegelapan kuburanyang akan memberikan kenyamanan di alam kubursampai Hari Kiamat.

 

Di tempat-tempat di mana ada pemadaman listrik, begitu banyak iklan beredar untuk menawarkan lampu darurat, berupa generator, kompor gas dan apa pun yang menawarkan solusi instan untuk mengatasi pemadaman listrik –yang dapat dipastikan akan merugikan si pengguna listrik, terutama dalam hal materi.

Di mana pun pemadaman listrik begitu dirasakan sangat mengganggu segala aktivitas. Listrik, kini sudah menjadi kebutuhan pokok manusia. Bukan hanya individu, tapi juga segala sektor kehidupan, termasuk bisnis dan industri—yang tentunya menghasilkan lembaran rupiah. Manusia begitu tergantung pada listrik. Karenanya, mereka berani membayar mahal untuk suatu alat yang kiranya bisa mengatasi masalah ini.

Berbagai keluhan dilontarkan, dan dimuat di berbagai media guna menunjukkan betapa sabar dan tolerannya mereka menghadapi pemadaman listrik yang sedang berlangsung. Mesi mereka mengeluh akibat terlalu banyak ketidaknyamanan yang dialami, kehilangan jam kerja, kerugian dalam bisnis, namun semua orang, mau tidak mau akhirnya menerima, bahkan beberapa jam tanpa listrik.

Sebagai solusi, ketika terjadi pemadaman listrik, secara otomastis lampu darurat akan mengambil alih tanggungjawab untuk memberikan cahaya. Dan, generator lah yang akan mengambil alih untuk memberikan listrik.

Lampu darurat yang kita beli harus dicolokkan dulu ke pusat listrik untuk mengisi baterai, sehingga ketika kita mengalami kegagalan atau pemadaman listrik, secara otomatis mereka aktif dan memberikan cahaya. Bagi kondisi darurat ini, lampu darurat sangat bermanfaat untuk penerangan dalam waktu cukup lama.

Sementara itu, kita tidak melihat apa pun yang terjadi ketika baterai sedang diisi. Yang kita tahu bahwa sesuatu yang sangat penting sedang kita beri asupan energi listrik—yang kelak akan memberikan manfaat ketika ada kegelapan. Kita memiliki jaminan bahwa saat pemadaman terjadi, ada kekuatan—lampu darurat yang akan segera aktif. Namun jika tidak terpasang dengan baik, sampai kapan pun penerangan pun tidak akan kita dapatkan. Kita akan tetap dalam kegelapan ketika ada pemadaman listrik.

Begitu pun dengan pemadaman yang terjadi pada kehidupan manusia kelak di alam kubur—yang sudah pasti akan dialami setiap makhluk yang bernyawa.

Ketika “lampu hidup” kita dimatikan, ketika kita mendapat jatah dari Sang Pencipta berupa kematian, sebanyak dokter ahli dihadirkan, tentu tidak akan bisa memberikan sedikit pun pengobatan yang menyembuhkan, atau penerangan untuk sekadar menemani mereka ketika di alam kubur—yang begitu gelap—tertutup tanah, kembali pada pangkuan Sang pemberi Kehidupan, Allah Swt.

Lantas, sudahkah kita bertanya pada diri sendiri, “Apa yang sudah kita persiapkan untuk penerangan alam kubur, ketika terjadi pemadaman listrik (nyawa dicabut)? Apa yang akan terjadi ketika hidup kita dimatikan secara permanen dan kita harus memasuki kegelapan kubur?

Di sini, dalam kehidupan dunia ini, kita memiliki lampu darurat dan generator. Tapi hal yang sama tidak akan menjadi bantuan kepada yang lain dalam kubur. Tidak ada yang akan mengambil lampu darurat untuk menerangi kuburnya.

Jadi ketika kita tidak bisa mentolerir beberapa jam kegelapan, bagaimana kita akan dapat mentolerir kegelapan kubur?

Ketika kita tidak bisa menerima kerugian materi akibat pemadaman listrik (yang bisa jadi hanya sementara), bagaimana kita dapat menerima kerugian spiritual terus-menerus akibat pemadaman cahaya iman dalam hati kita, karena mengumbar dosa; yang konsekuensinya sangat merugikan dan merusak kehidupan dunia kita dan lebih dari itu, kehidupan kita setelah kematian?

Pelajaran yang kita ambil dari lampu darurat dan generator, ini sejatinya sedang dituntut untuk suatu tujuan, yakni memberikan penerangan penting—terutama saat amat sangat dibutuhkan ketika berada dalam kondisi gelap. Untuk mendapatkan alat ini, kita perlu biaya yang tidak murah, dan juga perlu kesabaran yang tidak sebentar untuk menghasilkan dan menyimpan energi listrik di dalamnya.

Demikian juga, dengan manusia kelak di alam kubur. Kita perlu ‘biaya’ untuk memberikan cahaya alam kubur. Sayangnya, cahaya ini tidak bisa kita beli dengan setumpuk uang atau ditukar dengan tingginya jabatan. Tapi, hanya bisa “ditukar” secara rohani, yakni dengan amal saleh selama kita masih diberi kesempatan berbuat amal, selama nyawa kita belum dicabut. Imbalan ini akan jelas terlihat ketika cahaya hidup kita dimatikan, sekali dan untuk semua.

Hati kita mengandung “iman” sebagai pembangkit atau baterai yang perlu dihubungkan ke “colokan” ilmu dan dikenakan (biaya), sementara ‘lampu darurat’ dibebankan dengan berbagai jenis amal saleh, seperti shalat, zakat, puasa, dzikir, tilawah, akhlak yang baik, dan sebagainya.

Setelah nyawa dicabut dan ditempatkan di kuburan, iman dan perbuatan baik kita menghasilkan cahaya yang secara otomatis menerangi kegelapan kuburanyang akan memberikan kenyamanan di alam kubur—sampai Hari Kiamat. Jika kita memiliki “iman” sebagai baterai yang benar (tidak rusak), bisa digunakan sebagai ‘lampu darurat’ dengan perbuatan mulia. Namun jika kita menghabiskan hidup dalam kegelapan dosa, kubur akan menjadi tempat berkumpulnya aib, dan kita pun mau tidak mau pasti akan menerima konsekuensinya berupa ruangan kubur yang gelap.

Sebelum listrik mengalir ke rumah-rumah atau tempat-tempat para penghuninya, tentunya membutuhkan pembangkit listrik. Kemudian disalurkan melalui jalur transmisi ke sub-stasiun dan tiang listrik. Setelah itu, melalui ‘jalur distribusi’, listrik baru bisa memasuki rumah kita.

Begitu pun dengan “jalur listrik” seseorang guna mencapai penerangan alam kubur. Allah mengutus Rasul-nya sebagai pembimbing, dilanjutkan dengan para Sahabat, Tabiin, Tabiin-Tabiaat, dan ulama, yang kemudian melakukan pekerjaan ‘mendistribusikan’ cinta dan ilmu Allah Ta’ala ke dalam hati orang-orang supaya mereka tetap dalam koridor “listrik” yang benar, sehingga tidak konslet.

Melalui bimbingan mereka, niscaya kita akan dengan mudah mengisi diri kita sendiri secara rohani. Mereka membimbing kita untuk berbuat baik, beramal saleh, dan sesuai tuntunan Ilahi dan Rasul-Nya.

Menariknya, untuk mendapatkan bimbingan rohani, untuk mendapatkan “lampu darurat” ini, tak jarang, para ulama itu tidak membebankannya dengan unsur materi. Dengan kata lain kita bisa memperolehnya secara gratis.

Dengan upaya ini—di mana kita memelihara iman dan mengisi diri kita dengan perbuatan baik, kematian menjadi “hadiah” bagi orang percaya seperti yang dijelaskan dalam hadits. Sudah selayaknya, umat Islam tidak memiliki rasa takut pada kematian. Sebab, ketika mati, kita membawa generator dari Iman dan cinta untuk menjumpai Allah Swt. dan Rasul –Nya, serta “lampu darurat ” dari amal saleh.

Bukankah dengan tabungan “generator listrik” itu, berarti kita memiliki harapan dan jaminan, yang kelak (Insya Allah) akan menyala terang ketika kita memasukinya?

Wallahu A’lam Bishowab.

 

Sumber: Muslimvillage.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *